Rabu, 12 November 2008

Menangkap Rindu


Alamku sepi. Kerajaan sunyi melingkupiku. Aku berkata-kata dengan jiwaku. Aku berbagi rasa dengan aku. Yang hanya aku dan alam yang luas. Aku raja baginya.

Di suatu titik alam itu, kudengar suara deru angin memanggil aku. Dan, ia menyanyi, menari, dan melenguh. Aku terpana. Pada suatu titik itu, aku tersenyum penuh kedamaian dan menyapu jiwaku yang lekat rekat suram. Yang ada hanya kedamaian. Aku menemukan hakekatku.

Langkahku ringan dan bagaikan terbang. Tanpa berat. Kutelusuri alam ketenangan dan ketenteraman. Tanpa bising. Jiwaku menangkap rindu yang telah lama terpenjara oleh angkara dan nafsu. Nyala kehidupan dan cinta menyembur sempurna. Tiada peperangan. Tiada kebencian, apalagi permusuhan. Tiada kemelaratan. Jiwaku memeluk rindu alam rahmat yang melayang-layang di alam perdamaian. Aku menguliti baju pembunuhan, dendam, cemburu, nafsu, kemelaratan, kerakusan. Peluhku peluh jiwa yang menyanyikan lagu kerinduan persahabatan dan persaudaraan.

Pada saat bersamaa, alam itu menangis menyakitkan. Peluh darah merah mengalir ke dataran, daratan, dan lautan. Terasa panas. Sungguh panas. Alam pun sepi dan kering dari semuanya. Terdengar sayup-sayup suara dari tengah belantara, ”Tolong beri aku segelas cinta.”

Aku tiada punya apa pun selain aku. Kukatakan padanya, ”Ini aku.”


Mei 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Tidak ada komentar: