Selasa, 01 Desember 2009

Mereka Tak Lagi Baru


Ingatanku sedang melayang pada pengalamanku. Rasanya, baru kemarin aku menginjakkan kaki di Tanah Kayong ini. Ternyata, bulan ini sudah memasuki bulan keenam. Itu sama dengan setengah tahun aku meninggalkan Tanah Jawa.

Kemudian, aku ingat wajah anak-anak didikku yang enam bulan lalu tampak culun dan polos. Saat itu, mereka masih memakai seragam Masa Orientasi Siswa Baru. Harus nurut disuruh kakak kelasnya. Harus bekerja ketika diminta membuat pekerjaan rumah. Harus...harus...ini dan itu!

Namun kini, semuanya telah berubah. Tak ada lagi sebuah perbedaan. Papan nama dari karton yang dulu disandang di dada mereka, telah lama hilang! Rambut mereka pun jauh lebih bergaya! Tak ada lagi kesan culun dan polos! Tak ada lagi segi pembatas antara kakak tingkat dan adik tingkat! Segalanya telah berubah. Mereka tak lagi tampak sebagai anak baru!

Tak ada yang abadi! Bahkan status sebagai siswa baru pun telah lama ditanggalkan! Kini, ketika ada kegiatan sekolah yang harus diikuti, semuanya terlibat. Tak lagi harus kakak tingkat yang unjuk gigi. Adik tingkat yang memang mampu pun akan terlibat. Bahkan, dalam kepengurusan OSIS pun, anak-anak yang enam bulan lalu masih menjadi "bulan-bulanan" kakak-kakaknya, kini telah turut ambil bagian!

Satu langkah seseorang akan mengawali seribu langkah seseorang. Satu detik di pagi hari akan membuka jutaan detik hari demi harinya. Satu hembusan nafas akan mengantar kehidupan dari satu helaan ke helaan berikutnya.

Anak-anak itu (lantas, apakah mereka masih pantas disebut anak-anak lagi sekarang?) telah menapaki masa baru dengan seragam putih abu-abunya. Setengah tahun, setahun, dua tahun, tiga tahun lagi mereka akan menjadi siswa senior di sekolah ini. Tak mencapai genap satu tahun, mereka harus menyiapkan diri untuk lulus dari sekolah ini. Akhirnya, seragam putih abu-abu itu mereka tanggalkan. Seragam itu itu tinggal kenangan. Sekolah ini hanyalah bagian dari masa ketika mereka menjajaki dunia baru. Sekolah ini hanya setitik dasar dari bekal hidup mereka selanjutnya.

Memang, tak ada yang abadi! Mereka itu, yang sering mereka sebut sebagai anak-anak remaja itu, tak lagi baru! Mereka telah menjadi bagian dari komunitas putih abu-abu. Apa pun yang terjadi, itu adalah satu langkah dari sekian langkah mereka untuk menjajaki dunia!

Jika saat istirahat tiba dan aku sesekali berdiri di ujung halaman sembali menatap riuhnya mereka di lorong sekolah dan sudut taman sekolah, aku hanya bisa menarik nafas! Segalanya berubah! Tak ada yang tetap!

Sabtu, 28 November 2009

Belajar Mengajar


Aku hanya menatap lembaran yang ada di tanganku. Lembaran pembagian tugas! Mengampu pelajaran Bahasa Indonesia kelas X! Seluruh kelas! Sebanyak 28 jam tatap muka!Mati!

Bukan hendak menolak! Bukan begitu! Hanya aku agak kaget saja! Masalahnya begini: sejak lulus kuliah tahun 2004 lalu, baru tahun 2009 ini aku masuk sekolah! Sebagai guru! Bagaimana akan memulai mengajar itu, sementara di masa-masa lalu, sudah banyak perubahan di dunia sekolah! Yang jelas kutahu dan sering sekali menjadi bahan perbincangan adalah kurikulum, termasuk di dalamnya KBK dan KTSP) dan segala macamnya!

Aku mulai dari mana? Aku hanya manggut-manggut ketika rekan baru yang mengampu pelajaran itu tahun lalu kemudian menunjukkan beberapa buku referensi yang harus aku gunakan. Setelah itu, aku harus menyiapkan silabus! Paling tidak menyusun ulang silabus tahun lalu yang sudah pernah dibuat oleh kawan guruku itu.

Ya, itulah! Mulai dari situ saja!Menyiapkan bahan dari buku! Mengenal siswa dan kemudian menyampaikan materi! Selesai!

Masalahnya, materi yang sebenarnya harus bisa disampaikan pada jam tatap muka tertentu itu ternyata melebihi target yang ada! Mati kedua lagi!Bagaimana ini? Ini terjadi karen aku terpaksa mengulang beberapa kali materi tertentu di hadapan anak-anak di kelas tertentu. Yaaaa....bagaimana tidak harus kuulang, ketika terjadi tanya jawab saja mereka hanya memandang bengong!Ini aku yang tidak bisa mengajar ataukah anak-anak itu yang tak memperhatikan penjelasanku?



Aku sempat duduk diam di kantor guru. Mendengarkan guru-guru senior memperbincangkan bahan yang hampir selesai atau bahkan sudah selesai! Gagal sudah! Baru mulai, materi yang mesti kusampaikan tak terkejar!

Ini perjalanan memang baru kumulai! Aku masih belum tahu, kendala apalagi yang hendak kutemui!

Senin, 12 Oktober 2009

Puisi Saya Untuk Dia...

Saya punya puisi. Puisi ini saya buat sejak saya mempunyai kawan di dunia maya. Sebelumnya, saya jarang sekali membuat puisi. Hal barangkali karena saya lebih suka menyampaikan maksud yang ada di dalam hati saya dengan segala keterusterangan tanpa harus dimanis-maniskan. Nah, sejak saya akrab dengan internet yang memberi fasilitas chating, blog, fesbuk, dan emel, saya tiba-tiba saja menjadi suka sekali beromantis ria! Berlebihan? Ah, tidak juga! Masalahnya, jika saya menyampaikan sesuatu kepada kawan saya dengan bahasa harian saya, tentu akan ditangkap dengan biasa pula. Padahal, ada kalanya saya ingin menyampaikan perasaan saya secara lebih mendalam. Dalam arti, agar kawan saya memahami benar bahwa kedekatan kami ini benar-benar ikhlas! Melalui tulisan inilah saya berusaha untuk membagi perasaan saya kepada kawan-kawan saya.

Satu pengalaman pernah saya alami. Dalam suatu masa, kawan di fesbuk saya itu menghilang. Dia tidak bilang ke mana perginya. Padahal sebelumnya, dia merupakan kawan saya berbincang tentang apa saja. Sering saya menikmati kebersamaan ini. Meski perjumpaan saya ini hanya difasilitas internet, namun saya bisa merasakan kesungguhan setiap berbincangan kami.

Saya menunggu! Lama! Tak ada juga kontak darinya. Maka, saya pun membuat puisi untuk mengungkapkan kerinduan saya kepadanya. Saya berharap, jika memang saya tak dapat berkontak lagi, masih ada kenangan atas perasaan yang pernah saya alami.

Inilah puisi itu!
Ketika di sebuah senja,
aku bertanya pada sekawanan burung bangau
yang terbang rendah di dahan pohon dekat rumahku.

"Burung, pernahkah kalian bertemu dengan kekasihku yang menghilang?"

Mereka tak memberi jawaban!

Ketika aku bertanya pada arak-arakan awan yang melayang di atap rumahku.

"Awan, pernahkah kau berjumpa dengan kekasihku yang menghilang?"

Mereka tak memberi anggukan

Sekarang...
Aku bertanya kepadamu!

Masih bisakah kau dengar bisikan angin dari tebing tinggi?
Bahwa aku menunggumu!
Bahwa aku merinduimu!

Ini salah
puisi yang pernah saya buat untuk salah seorang kawan saya. Dari pengalaman ini, saya bisa belajar untuk mengungkapkan perasaan saya. Saya tidak bermaksud menghambur-hamburkan romantisme picisan yang tampak pasaran. Bukan! Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan saya dan membagikan kepada kawan saya. Melalui ungkapan itu, saya belajar untuk jujur pada diri saya. Saya berusaha jujur bahwa setiap pribadi memperkaya saya dan memberikan andil dalam kehidupan saya. Entah dengan cara bagaimana, pribadi-pribadi itu turut mengembangkan diri saya dan memupuk hati saya. Hati agar bisa lebih peka akan arti kehadiran sesama dalam segi kehidupan ini.***

Sabtu, 03 Oktober 2009

Tak Pernah Ada Yang Tetap!


Sejak Juli 2009 yang lalu, aku mesti angkat koper dari Semarang. Surat keputusan yang kuterima dari pimpinan menetapkan agar aku bertugas di tempat baru dengan tugas yang baru pula. Sekolah dan sebagai guru! Meski tak tahu apa yang harus kupersiapkan, aku pun berangkat dengan barang-barang yang bisa kubawa.


Pergi dan datang pada sebuah tempat yang belum pernah hinggap dalam bayangan! Tak masalah! Yang penting, ada kesempatan untuk dapat melihat tempat itu. Apa yang musti kuperbuat? Tak perlu dipikirkan sulit-sulit! Datang, lihat, dan perbuatlah! Mungkin ini yang lebih baik! Meski, seolah-olah aku bagai datang tanpa membawa amunisi!

Berangkat dari Semarang hari Selasa malam (7 Juli) dengan travel menuju ke Jakarta. Mau menikmati pengalaman naik travel, sekaligus nanti hari Kamis pagi (9 Juli) akan menikmati udara dari Jakarta ke Pontianak! Yaa.....karena tak setiap saat akan mendapatkan perjalanan seperti itu!

Di Jakarta, aku transit sehari semalam sekedar menunggu waktu keberangkatan ke Pontianak. Tak ada kegiatan yang banyak kulakukan, kecuali pergi ke toko dan...potong rambut! Ha...ha...ha...! Habis sudah rambut setahun, dipangkas gunting dalam seperempat jam!



Kamis pagi, aku benar-benar meninggalkan Jawa menuju ke tanah Borneo! Perjalanan hanya memerlukan waktu satu jam. Aku dan Tri transit sebentar di Bandara Supadio Pontianak, kemudian melanjutkan perjalanan dengan pesawat yang lebih kecil ke Bandara Rahadi Usman Ketapang!



Pukul 09.30, pesawat mendarat dan saudara-saudaraku sudah menjemput. Inilah tanah baru! Inilah tempat tugas baru! Inlah dunia baruku!

Segala sesuatu itu memang tak pernah tetap. Akan selalu berubah di saat manusia tak pernah dapat menebak kapan akan berubah. Temapt tugasku telah berubah. Tugasku telah berubah. Penampilanku pun harus berubah. Yaaa, meski tah harus mengubah total, namun inilah sebubah perubahan dalam perjalanan hidup! Perjalanan itu taka akan pernah bisa berhenti di suatu tempat. Jika harus berhenti, tempat perhentian itu hanyalah tempat singgah yang sebentar lagi akan ditinggalkan. 

Perjalanan ini adalah peziarahan! Peziarahan itu sellau mengarah pada tujuan akhir yang tak akan pernah tahu ujungnya. Jika suatu saat aku berada di tempat ini, aku tak tahu sampai kapan. AKu tak akan pernah tahu dan tak perlu aku meraba-raba sampai kapan. Jika memang sudah sampai pada masanya, masa itu akan menunjukkan saat aku harus pergi! Tak pernah tetap! Suatu saat panjang dan suatu saat pendek. Seperti rambutku!!! Huaaaa.....!

Ketapang, 28 September 09

Jumat, 05 Juni 2009

Dentingan Selembut Sutra

Ada pengalaman menarik saat aku pulang dari peliputan acara 50 tahun Sendang Ratu Kenya di Giriwoyo hari Minggu (24/5) yang lalu. Aku nebeng kendaraan saudaraku yang rumahnya Klaten. Rencananya, aku akan menginap di sana, agar perjalanan ke Semarang lebih dekat ketimbang aku masih bercokol di Giriwoyo. Meski, masih ada wayangan semalam suntuk. Ah, tak apalah untuk tidak nonton wayang kulit kali ini!

”Kalau gitu, nanti pulangnya lewat Solo Baru,” kata Mas Step. Akhirnya, karena akan melewati Solo Baru, perjalanan tentu membelah jantung kota Wonogiri. Perjalanan siang yang lumayan jauh dengan udara panas. Maklumlah, mobil sewaan murah, jadi tanpa pendingin udara. Panas plus lapar! Jadilan ngantuk! Penumpang lain seperti Mas Har, Mas Jito, Dik Djoko, termasuk aku, segera terbuai!

Selepas kota Wonogiri, tepatnya ketika melaju di Jalan RM. Said, aku memelekkan mata. Dik Djoko pun ternyata sudah bangun. Mas Step berceletuk, ”Mau mbakso, gak?” Tentu saja tawaran menggiurkan ini tak kulewatkan. “Mau! Kapan lagi kalau tidak sekarang,” jawabku cepat.

Beberapa saat, mendekat jalan pertigaan yang membagi arah antara terminal, arah Solo, dan kota Wonogiri, mas sopir membelokkan kendaraan ke sebuah warung. Hmm...warung bakso! Lewat Wonogiri, serasa tak lengkap tanpa masuk dan mencicipi bakso! Jamak! Di mana-mana, sering bertemu penjual bakso dari Wonogiri. Jika lewat Wonogiri tak langsung mencicipi, betapa ruginya! Itu menurutku.

Begitu mobil diparkir, aku segera keluar dan melihat warung bakso itu. Bakso Raksasa! Wah! Apa baksonya segede-gede gigi raksasa? Ato apa yang raksasa? Tak tahulah! Aku juga baru sekali itu diajak mampir!

Inilah pengalaman menarik itu! Bukan masalah bakso dan warungnya ternyata! Namun, ada adegan yang benar-benar berbeda! Di pintu masuk warung, yang terbagi dua ruangan, satu ruang lesehan dan satunya ruang meja kursi, duduk dua orang kakek-nenek. Mereka bukan pengemis! Sang Kakek berpeci. Jemarinya asyik bermain-main di atas benda yang kutahu itu sebuah alat musik. Sebuah siter, alat musik Jawa! Jempol dan jari-jemari lainnya dengan lincah memetik-metik dawai siter itu, sehingga mendentingkan nada-nada lembut nan menggoda telinga. Merayu kaki untuk segera masuk dan berleseh di hamparan karpet. Seakan menarik kepala untuk disenderkan di dinding warung sambil menunggu pesanan datang.

Di sebelahnya, duduk sang Nenek sambil melantunkan tembang-tembang Jawa. Raut tuanya tak menggoreskan lagu fals! Nada-nadanya pas dan indah, seiring dengan petikan dawai siter itu. Terdengar kompak, serasi!



Saat aku menikmati bakso pesanan dan minuman dingin, kudengar ”senggakan” dari sang Kakek. Beberapa saat, ketika dentingan berhenti sementara, suara sang Nenek pun terdengar lembut, merdu. Tembang Caping Gunung mengalun dari mulut keriputnya.

Ah, paduan nuansa yang tak pernah kubayangkan akan kutemui di tempat ini!

”Kurang lebihnya tiga tahun saya di sini,” jawab Mbah Soyo, sang pemetik siter itu saat kuajak berbincang sejenak. Sementara, sang Nenek, Mbah Siti Suwarni, menimpali dengan sebuah senyuman tipis.

Menurut Mbah Soyo, kebiasaan menghibur para pembeli itu tak hanya di Warung Bakso Raksasa. Mereka juga menghibur pembeli di Warung Pecel Bu Sum, sebuah warung nasi pecel yang letaknya tak begitu jauh dari Warung Bakso Raksasa ini.

”Gantian harinya,” tambahnya sambil menghentikan permainan jemarinya di sela-sela barisan dawai siter dan menyambut uluran tanganku. Mbah Soyo kemudian menjelaskan hari-hari kapan dia berada di Warung Bakso Raksasa dan hari-hari kapan di Warung Pecel Bu Sum. Kuanggukkan kepala dengan timpalan sepotong-potong kata.

Aku hanya bisa menjabat tangan mereka dan hanya bisa menjatuhkan selembar uang seribuan di kotak yang ada di depan mereka. Sebenarnyalah, itu sungguh-sungguh bukan upah yang setimpal. Aku hanya bisa menambah dengan jabat tanganku.

Panas terik. Akan tetapi, dentingan siter itu serasa mengirimkan berlaksa angin segar dari puncak bukit hijau di punggung Pegunungan Seribu! Masih sampai kapan, Mbah Soyo dan Mbah Siti Suwarni bertahan untuk mendentingkan nada-nada jiwa selembut sutra itu? ***


Mei, 2009

Jumat, 29 Mei 2009

Sepinya Seorang Kawanku!


Seorang kawanku menuliskan demikian, ”mataku masih sembab”. Kemudian, dibalaslah ungkapan yang ditulis di dindingnya itu oleh beberapa kawan-kawannya dengan berbagai ungkapan.
”Cup, cup! Jangan nangis!”
”Wualah..! Gak usah ditangisi to, Mbak! Aku gak apa-apa koq...! Tuh, jadi sembab kan?”
”Wah, jangan-jangan, gara-gara dengar lagunya Olga yang berjudul ’Hancur hatiku’! Ya ta? He...he!”
”Jangan nangis mulu, ah! Udah gede juga!”
”Ini kok nangis melulu, to?”
Kemudian, kawanku itu membalas.
”Aku udah gak nangis kok, hanya kenapa mataku masih sembab.”
”Saat sepi ada dalam kalbu dan tak ada siapa pun yang bisa membuat sepi itu jadi ramai, yang terjadi hanya sebuah tetesan air mengalir. Miss u so much girl!”
”Aku kangen sama kamu! Ketemuan, yuk!”
”Entahlah...! Sepi atau ramai, perasaan ini sama saja. Hanya mukjizat yang mampu membuat semuanya menjadi indah, sehingga aku tak akan pernah menangis lagi!”
”Thanks for your care for me. GBU.”
Didera dan ditelikung kesepian itu benar-benar menyiksa. Ada keramaian di sekitarku, namun aku tak mampu larut dalam keramaian itu. Aku seperti tersingkir dalam arus deras keramaian. Tersingkir, tersisih, namun tak terasa jauh! Ketika mendengar suara tawa dari orang lain, yang muncul justru perasaan tertusuk pedih. Mengapa mereka dapat tertawa, sedangkan aku tak bisa?

Itulah sebabnya, aku begitu mudah lari dari kesepian ke keramaian. Meski, jik aku kembali berada dalam kesendirian, kesepian itu menyergap lagi. Apakah kesepian itu musti dihindari? Apakah kesepian itu musti hilang dari muka bumi ini?

Menurutku tidak, Kawan! Kesepian itu ada karena manusia telah mengalami sebuah perasaan yang akhirnya diberi nama kesepian. Kenyataan ini, mau tidak mau harus tetap diterima. Dari pengalaman, muncullah pernyataan bahwa seseorang yang mengalami “sesuatu seperti dicabut dari segala yang serba ramai” adalah kesepian!

Lainnya, kesepian memang tak harus hengkang karena dari situlah manusia bisa menyelam ke dalam dirinya. Manusia bisa benar-benar mengerti bahwa dirinya adalah makhluk yang seperti ini, ciptaan seperti itu, dan pribadi yang menjadi begini.

Terakhir, dengan kesepian, manusia bisa menerima kehadiran sesamanya. Thanks for your care! Perhatian! Sebuah perhatian akan begitu terasa berharga manakala manusia sedang disergap kesepian dan sesamanya mau peduli!

Kapan mukjizat itu bisa terjadi? Entah, Kawan! Aku tak pernah mengharapkan sebuah mukjizat, karena di setiap hariku, selalu ada banyak peristiwa yang pada akhirnya menggiringku untuk memahami bahwa itu semua ada mukjizat!***

Mei, 2009

Selasa, 12 Mei 2009

Rindu.... Seperti Apakah?


Selama aku masih bisa bernafas
Masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tau lagi
Engkau ada di mana
Dengarkan aku, ku merindukanmu

Merindukanmu? Rasanya asing sekali kata itu hinggap di dalam hatiku. Merindukanmu? Bagaimana aku bisa merindukanmu? Sedang aku masih saja selalu sangsi apakah aku bisa mempunyai perasaan cinta? Kadang aku bertanya pada diri sendiri: Cinta yang seperti apa yang sebenarnya aku rindukan? Cinta yang senyata apa yang ingin aku rasakan?

Aku masih bernafas! Aku masih sanggup berjalan! Aku pun masih selalu memujamu. Memuja kelebihanmu! Memuja kekuatanmu! Memuja kepintaranmu! Meski aku tahu keberadaanmu! Meski aku tahu bahwa engkau berdiri di sana! Meski aku tahu engkau berjuang di sana! Namun...

Mengapa aku tak bisa merindukanmu?
Sering aku bercanda dengan malam. Hai malam, mengapa engkau selalu berwarna hitam? Malam hanya akan tertawa mendengar kata-kataku. Mungkin dia membatin: bodoh sekali pertanyaan itu! Kadang aku mengganggu goyangan dedaunan. Kubertanya: hai daun hijau, apakah kau rindu hujan? Daun itu hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin dia membatin: bodoh sekali pertanyaan itu!

Aku ingin merasakan rindu. Aku ingin merindukanmu! Namun..., rindu seperti apa yang yang sebenarnya aku rindukan?

Akan tetapi, aku benar-benar ingin tahu, rindu itu seperti apa? Mengapa aku tak bisa merasakan kerinduan itu?



Semarang, 12 Mei 2009 (titip rindu buat dia....)

Kamis, 30 April 2009

Kehilangan


Daun rontok dan meninggalkan ranting yang dulu erat menggenggamnya. Jatuh melayang. Berserakan di atas tanah. Kemudian, lambat laun akan menghilang di dalam tanah. Hilang!

Berjalan mengayuh langkah di bawah bayang-bayang pepohonan. Menari di antara perdu-perdu ilalang. Melompat di antara bebatuan terjal! Jika memang sudah saatnya kaki menapak, entah di atas lumpur atau di atas tanah, kaki akan menapak! Bisa membekas dan ataupun hilang. Jika kaki itu menapak di atas tanah basah, maka akan membekas! Akan tetapi, jika hinggap di atas aliran air, maka jejak itu akan sirna. Hilang!

Kehilangan itu terasa menyakitkan. Namun, kehilangan itu akan bisa berarti bila kau pernah merasa memilikinya. Jika kau ingin menggenggamnya selamanya, maka kehilangan itu semakin kuat untuk meninggalkanmu. Kamu tidak percaya? Aku tidak ingin memaksa! Berapa di antaramu yang sudah terlalu banyak kehilangan? Tak akan terhitung!

Jika kau pernah mengalami kehilangan, aku pun pernah. Jika kau pernah mengalami kehilangan, mereka pun pernah. Apakah jika aku dan kau mengalami kehilangan, kehidupan akan hilang pula! Tak akan! Yaa...hidupnya yang barangkali terasa hampa! Sepi! Kosong! Akan tetapi, apakah hidupmu akan terus kau korbankan hanya demi kehilangan itu? Sementara, kehilangan itu akan terus melayang dan terbang di antara manusia demi manusia untuk menebarkan racun-racun keputusasaan!

Aku mengertimu ketika kau mengatakan bahwa dia meninggalkanmu. Aku mendengarkanmu ketika kau mengatakan bahwa dia memutuskan dirimu. Aku memahamimu ketika kau mengatakan bahwa dia lebih memilih hati lain daripada hatimu. Dan kau akan merasa terlempar ke sudut kebinasaan! Tenggelam dalam rasa kehampaan yang sulit diisi oleh rasa berpengharapan yang baru.

Namun, setelah sekian detik kau bergulat dengan racun kehilangan itu, bisakah kau mengatakan, ”Aku ingin memiliki kehilangan itu!” Aku ingin memiliki rasa kehilangan itu sebagai bagian dari kehidupanku? Beranikah dirimu untuk menggandengnya dalam setiap langkahmu? Pasalnya, kehilangan ini tak akan pernah bisa melepasmu. Meski kau berusaha untuk menghindarinya. Karena, jika kau berkesan menghindarinya, dia akan bersorak gembira dan memenangkan pertempuran! Akan tetapi, jika kau berani menariknya mendekat, menggenggamnya, dan mendekat erat di dalam hatimu, dia akan menjadi bagian hidupmu dan tak akan menyakiti hatimu lagi. Karena di balik kehilangan itu ada rasa baru yang tumbuh dan memberimu kekuatan baru. ”Pernahkah kau mengira kalau dia akan sirna. Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa. Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memiliknya.”

Jika kau membuka matamu, kau akan melihat seorang malaikat kecil menyongsongmu di tengah padang bunga bakung. Dia berlari dan memeluk pinggangmu dengan erat. Ketika kau pandang bola matanya yang bening, kau akan melihat isi hatinya. Dia akan berkata kepadamu dengan jiwa penuh nyanyian.

”Aku ingin mendekapmu karena kuingin memberimu kekuatan yang tak sanggup kuucapkan dengan kata-kata. Aku ingin mendekapmu karena kuingin memberimu semangat di saat dan dan pikiranmu sedang galau. Aku ingin mendekapmu karena kau sungguh berarti. Jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk satu cinta yang tak pasti!”***

Untuk jiwa-jiwa yang telah terbang!
Pemuatan ulang dari tulisan yang sama pada blog yang lain.

Kamis, 16 April 2009

Ungkapan Nov


Seperti biasa, jika aku sedang browsing, kusempatkan untuk melihat halaman friendster-ku (ato facebook-ku). Barangkali, ada pesan atau komentar yang datang dari teman-temanku. Kulihat ada tulisan yang baru saja diposting dari Nov. Demikian dia menuliskannya:

Saat itu aku tak tahu apa itu cinta. Yang aku tahu, cinta itu, kita suka sama cowok yang kita kagumi. Tak terhitung berapa cowok yang pernah kusukai, tapi tak perah kumiliki karena rasa takut akan kata ”tolak”. Pada akhirnya, rasa suka itu terbalas dengan satu cowok yang sangat aku kagumi. Di situ, aku mulai kehidupan cintaku (020503).

Dia mengajari aku arti kesatuan. Walaupun di antara kami banyak perbedaan, tetapi dari perbedaan itu kami bisa menjadi satu. Dia mengajari aku apa arti sayang. Kehidupanku sangat indah yang selalu dipenuhi rasa kangen akan kehadirannya. Apakah ini yang disebut cinta pertama? Dia juga mengajari aku apa arti cinta. Cinta di mana kuterima dia apa adanya. Walaupun aku mencoba untuk mengubahnya, tetapi aku juga harus ingat kalau cinta tak harus mengubah dia menjadi apa yang kuinginkan.

Dia juga mengajari ku rasa sakit hati. Dia tak pernah melukaiku. Tetapi kadang pada suatu hubungan itu pasti ada bertengkarnya. Dia mengajari aku arti kejujuran. Saat kami menjalin hubungan, kata ”jujur” itu menjadi sangat penting. Tak pernah sedikit pun aku bohong kepadanya.

Dia juga mengajari aku arti perpisahan. Di mana ada pertemuan, di situ pula ada perpisahan. Susah untuk menerima semua itu. Walaupun aku menjalin hubungan dengannya sangat singkat, tapi bagiku itu adalah seumur hidup. Dan pada akhirnya aku tahu kalau cinta itu tak harus memiliki (190904).

Akan tetapi, ada satu hal yang dia tidak tahu. Aku menduakan cintanya. Aku menodai cinta kami yang suci itu. So, sorry...

Aku sejenak membaca. Memaknai atas apa yang ditulis Nov. Mataku terpaku pada satu kalimatnya. "Saat kami menjalin hubungan, kata 'jujur' itu menjadi sangat penting. Tak pernah sedikit pun aku bohong kepadanya. "

Dalam situasi apa pun, sikap jujur itu tetap perlu dipertahankan. Bukan hanya karena demi cinta, sikap jujur tetap harus diperjuangkan. Apalagi cinta, untuk bekerja saja, seorang pimpinan selalu menekankan sikap jujur pada bawahannya. Jika sikap jujur itu sudah tak dihidupi oleh pimpinan, bagaimana bawahan mau mencontoh atau meneladan?

Kejujuran adalah bintang. Dia berada di awang-awang dan tak dapat diraih. Akan tetapi, taburannya yang berlaksa-laksa dan sinarnya yang berkerlap-kerlip, memberikan mozaik indah yang tak pernah bisa dilukis manusia.

Bisakah seseorang berkata jujur jika pada kenyataannya kejujuran itu seperti bintang? Seperti kata Nov sendiri, pada saat dia menjalin hubungan, kata jujur itu sangat penting dan dia tak pernah sedikit pun berbohong pada kekasihnya. Akan tetapi, di tempat lain, Nov pun mengakui bahwa dia tak pernah bisa berkata sebenarnya tentang satu hal. Nov bilang, ”Aku menduakan cintanya. Aku menodai cinta kami yang suci itu”. Kejujuran itu menyakitkan.
Apakah aku sudah bisa mengedepankan kata jujur? Bisakah aku mengatakan kepada kekasihku, ”Meski aku berjalan bersamamu, jujur kuakui bahwa aku pun menduakan dirimu dengan orang lain.” Ah, siapa yang bisa mengatakan ini? Ah, siapa yang tahan akan rasa sakit hati. Siapa yang mau mendengar kata ”khianat, jahat, menodai” dan kata-kata lain yang akhirnya mengantar pada kata, ”selamat tinggal, selamat berpisah, selamat jalan, aku pergi”.

Kejujuran adalah landasan dalam hidup. Meski berat untuk meletakkan sebagai landasan sendi-sendi hati, namun manusia harus tetap memperjuangkannya. Nov tidak salah! Karena Nov, seperti aku juga, adalah manusia yang masih selalu berjuang untuk menebarkan kejujuran itu di hamparan permadai kehidupan.

Nov, jika kamu menyampaikan isi hatimu ini, kuanggap bahwa aku pun berkesempatan membawa ungkapanmu ini dalam perjalanan hidupku. Kuharap kamu masih tetap berjuang demi cinta dan kejujuran. ***


Semarang, 6 April 2009

Senin, 06 April 2009

Kejahatan Itu....


Sebuah email dikirim dalam milis yang kuikuti. Pengalaman bentuk kejahatan yang berbeda lagi. Inilah bunyi email itu!

Guyzzzzzzzzzzzzzz! Gw mo sharing kejadian yg gw alami sendiri kemarin malam. Semoga ga ada lagi yg jadi korban kejahatan ala TISSUE BASAH yg hampir menimpa gw.

Jadi, jam 21.30 gw naek bus dr UKI ke arah Blok M. Gw naek P 45 yang busnya mirip bus Jepang. Naaahh, waktu itu bus memang dlm keadaan agak sepi. Hanya beberapa orang saja di dalamnya, termasuk gw. Waktu bus sedang ngetem, naik seorang bapak dan dia sempat melihat keadaan sekeliling bus. Lalu dia duduk di samping gw. Di situ gw mulai curiga. Coz, sebenernya masih banyak tempat duduk kosong, tp yaahh gw no hard feeling lahhh.Awalnya emang ga ada apa-apa. Saat bus mulai jalan, dia mengeluarkan tissue basah merk yg lumayan terkenal. Dia gosok-gosokkan tissue itu ke telapak tangan dan lengannya, seolah mengelap keringat. Di situ gw mulai mencium bau agak aneh. Apalagi untuk gw yg memang sering pake tissue bassah merek itu. Baunya berbeda seperti bau aseton plus spritus bakar. Gw mulai mual. Pada saat itu emang posisi gw deket kaca dan kaca terbuka lebar. Lalu dia berkata,”Mbak, maaf kacanya boleh ditutup dikit, ya? Anginnya kenceng banget.” Lalu dia menutup kaca itu dan lengannya otomatis melewati hidung gw. Saat itu, bau aseton plus spritusnya makin menyengat hidung gw. Gw bener-bener pusing mendadak. Ketika dia melihat gw mual dan pucat, dia menawarkan tissue basah yg tadi digunakan. Langsung dia menyodorkan tissue itu di depan hidung gw dalam posisi setengah terbuka. Baunya langsung bikin mata gw kunang-kunang.Saat itu Tuhan masih baik sama gw. Seolah-olah otak gw sedikit disadarkan untuk segera turun dari bus itu. Dia berusaha mencegah dengan berpura-pura baik. ”Mbak gpp? Kok pucat?” Langsung gw tepis tangannya. Gw langsung berlari ke pintu keluar dan gw turun persis di depan patung Pancoran. Saat gw turun, gw bener-bener mual dan ga ngeliat tangga. Untung ditolong sama kondektur serta beberapa pengamen di situ. Saat itu gw dah pasrah karena gw dikerubutin pengamen-pengamen yg khawatir sama gw. Bahkan, salah satu dari mereka berpostur preman. Tapiii... dont judge a book from the cover. Gw malah ditolong sama mereka. Gw dikasih minyak angin sampe gw bener-bener muntah dan diberi air putih. Saat gw mulai baikan, gw cerita sama mereka. Mereka bilang itu memang kerap terjadi di bus P 45 jurusan Cililitan – Blok M. Biasanya incaran mereka adalah wanita yg duduk sendiri di dekat jendela. Sudah banyak yg jadi korban perampokan ala tissue basah dan memang benar dugaan gw tissue basah itu dicampur sama aseton dan alkohol 85%.

Dari situ, gw baru dicariin taksi Bluebird. Para pengamen itu bahkan sempat mencatat nomor taksi dan nama si pengemudi untuk memastikan gw aman. Gw sempet mo ngasih duit buat mereka, tapi mereka nolak. Mereka cuma kasian sama gw dan ikhlas bantu gw.
Jakarta oh Jakartaaaaaa! Kita bener-bener ga bisa nebak orang berdasarkan fisik. Orang yg keliatannya bejat malah mereka yg baik sama kita. So be carefull, girls! Itu bener-bener kejadian. Gw ngalamin sendiri. Selesai!

Masihkan aku harus memberi pendapat akan pengalaman ini?



Semarang, 7 April 2009

Sabtu, 04 April 2009

Goresan Buat ”Kak S”


Goresan Satu
Sepasang mata bening

Menatap penuh tanya
Pada sesosok wajah teduh
Yang berjongkok di depannya dengan senyum selapis menggurat tipis di bibir hitamnya

Sepasang mata bulat bening tak lepaskan tatapan
"Ayah, kenapa namaku pendek?"
"Ah, namamu itu sebuah nama yang cantik, Cah Ayu."
"Secantik apa?"
"Secantik bintang-bintang yang bertaburan di hamparan karpet biru negeri Italia..."

"Ah, Ayah..."
"Ya, Cah Ayu."
"Benarkah aku cantik?"
"Iya tentu saja."
"Tapi kenapa namaku pendek, Yah? Kenapa?"

Sepasang mata bening bulat tak lepaskan tatapannya
Sepasang mata tua meredup tak lepaskan selarit senyuman

"Nak, namamu pendek. Tetapi, jika kau bisa memberi cinta pada selaksa makhluk, kau akan menerima keharuman nama yang tak akan pernah lekang. Suatu saat, kau akan mengerti, mengapa aku beri kau nama yang pendek.

"Gadis kecil tertunduk kelu
Dengan desakan tanya penuh talu
Gadis kecil berlari ke kaki cakrawala...

Lelaki separuh baya tak pernah lepas dari harap dalam sanubarinya...
"Jadikan bumi penuh kecantikan, Cah Ayu"

Bisiknya pada angin, pada awan, pada pucuk-pucuk kamboja!


Goresan Dua
Sepasang tangan mungil

Menggenggam jemari rapuh
Yang terbaring lemah di bibir dipan

"Ayah..."
Raut wajah tua kelelahan. Terdiam dalam haribaan

"Ini aku ayah. Mengapa Ayah diam saja?"

Seutas senyum terjulur di bibir pucat tua
Seakan berkata penuh kasih sayang
"Aku selalu mendengarmu, Cah Ayu! Bicaralah!"

Seraut wajah mungil bersaput mendung
Sepasang mata bening bersaput telaga hijau
Hampir sudah bendungan rasa mendedah dada
Tak kuasa jiwa menahan gejolak
Hampir pecah kalbu menahan tangisan

"Ayah...Sampai kapan rasa ini terhimpit batu? Sementara Ayah terdiam tenang di peraduan abadi?"


Sepasang cicak bergerak perlahan. Tak ingin mendengar keluh kesah dari bibir mungkil kepucatan. Di angkasa, sepasang bangau terbang melintas dengan sunyi. Di ufuk barat, sebutir matamalam melayang pelan.


Semarang, 5 April 2009
(Perarakan Maut)

Kamis, 02 April 2009

Upik Kecil


Lebaran tahun 2008 lalu, aku datang ke tempatmu. Sambil menyusuri jalanan beraspal kasar, ingatanku melayang ke masa sebelas tahun silam. Masa ketika aku tinggal di rumahmu untuk bisa berbaur dengan warga masyarakat karena sebuah tugas. Ah, suasana dusun yang selalu menyebarkan aroma alam: ladang, singkong, cabai, bebatuan, ternak, rumput!

Begitu aku tiba di depan rumahmu, suasana tampak sepi. Sejenak aku menunggu. Apakah kamu dan keluargamu sedang pergi? Aku mengetuk pintu, lalu kutunggu. Ketika aku hendak memutari rumahmu, barangkali ada anggota keluargamu yang berada di belakang rumah, pintu depan terbuka. Bapak! Ya! Ayahmu membuka pintu. Dengan tawa riang, ayahmu menyambutku dengan penuh kegembiraan. Tanganku disambutnya dengan erat. Jabatannya terasa kuat di jari-jemariku. Sesaat kemudian, ayahmu masuk dan mengundang ibumu. Ternyata, ibumu ketiduran di depan televisi. Dengan masih menahan malu, Emak (kebiasaan memanggil ibumu) menyambutku. Ah, pertemuan yang terasa menyenangkan dan menghangatkan.

Siapakah yang berbaring di depan televisi itu? Yang pasti tubuhnya adalah seorang gadis remaja. Namun siapa? Genduk, kakakmu? Namun, ayahmu yang kemudian menemaniku duduk bercerita bahwa kakakmu pada lebaran ini tidak pulang. Setelah sesaat berbincang-bincang, barulah aku tahu bahwa sosok yang tidur di depan televisi itu adalah dirimu. Upik!

Ah, Upik! Sudah besar rupanya! Beberapa tahun lalu, ketika aku tinggal di rumahmu, usiamu belum memasuki masa taman kanak-kanak. Dengan gerak badanmu yang menggemaskan, potongan poni rambutmu, dan kadang masih ada ingus yang meleleh di hidungmu, dirimu tak pernah bisa kudekati. Lari ke pelukan Emak dengan wajah memerah malu! Aku hanya bisa mengulurkan sebungkus permen kepadamu. Itupun kamu menerimanya dengan cepat dan segera bersembunyi.

”Eh, bilang terima kasih dulu,” tegur ibumu. Kamu hanya menatapku dengan mata jernihmu dan segera pula menyembunyikan wajahmu di punggung Emak. Tanpa kupikir panjang, kupanggil dirimu dengan ”Upik”. Nama tokoh dari sebuah film boneka lama yang dulu pernah diputar di salah satu stasiun televisi.

”Sejak itu, dia dipanggil Upik oleh semua orang,” kata Bapak dan Emak. Oh ya? Tidak akan terlintas dalam pikiranku bahwa panggilan spontan itu kemudian akan selamanya tersandang dalam dirimu. Ah, Upik, Upik!

Kini, kamu sudah remaja. Tak ada lagi sisa-sisa ingatan masa lalu tentang dirimu. Meski, rasa malu-malu itu masih ada, namun dirimu telah berubah. Tentu secara fisik adalah yang paling tampak. Upik, jika aku bertanya kepadamu, ingatan apakah yang muncul dalam dirimu tentang diriku? Aku tak akan pernah tahu. Akan tetapi bagiku adalah aku pernah menjadi bagian dari keluargamu. Aku pernah hidup di antara kamu, kakak-kakakmu, dan kedua orang tuamu. Aku pernah menikmati guyuran hujan tatkala pulang dari ladang bersama ayahmu. Aku pernah menikmati nafas ngos-ngosan ketika harus membawa rumput dan naik di tebing-tebing bukit. Aku pernah duduk mengitari meja makan bersama keluargamu. Bersenda gurau, berdoa bersama, berbincang bersama keluargamu. Ah, namun waktu itu kamu masih sangat kecil, Upik!

Seiring dengan beranjaknya waktu, kamu semakin besar dan aku telah lama meninggalkan desamu. Jika aku mengingatmu, aku hanya ingat bahwa kamu masih seorang anak kecil yang polos dan pemalu. Kini Upik kecil itu telah beranjak menjadi seorang remaja yang mulai menata perjalanan barunya. Berkelana dengan sebuah sepeda motor di jalanan terjal. Setiap hari menyusuri aspalan pecah menuju ke sebuah sekolah lanjutan tingkat pertama. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih bahwa nama ”Upik” itu masih tetap kamu sandang sampai hari ini. Ah, Upik, Upik!***


Semarang, 2 April 2009

Rabu, 01 April 2009

Dua Email

Aku gak tau lagi gimana caranya menghubungimu. Aku kirim email, gak ada balasan. Aku ke tempatmu, gak ada. Aku telpon, kamu pergi. Apa aku benar-benar sudah kehilangan seseorang yang pernah dekat dengan aku. Yang selalu panggil aku ”Teteh...” Aku memang pernah meninggalkanmu waktu aku ke B dulu. Aku berharap tidak ada yang berubah meski aku jauh (saat itu). Tapi ternyata harapanku hanya tinggal harapan. Aku gak tau apa ini hanya perasaanku saja, tapi yang jelas aku merasa kamu semakin jauh. Dulu aku yang pergi jauh, tapi hati kita dekat. Sekarang jarak kita sudah dekat, tapi kenapa justru ada rasa yang jauuuh banget. Sekali lagi, apa aku benar-benar sudah kehilangan seorang sahabat, seorang yang pernah dekat di hati? Maafkan, kalau aku sudah mengganggu ketenanganmu.

Dear my beloved Bro. Your email make me love you more. I will love you always. I knew now, how much you hate me. I'm so sorry. Membaca tulisan Bro membuatku tersentak. Aku tersadar atas semua kekhilafanku. Entah kenapa, aku benar-benar tak bisa menahan emosi jiwa saat itu. Apa yang Bro tulis sangat aku butuhkan. Selama ini aku belum pernah bisa untuk mengaca. Aku selalu egois. Selalu memikirkan diriku sendiri. Once again, thank you. I love you more...

Dua email itu aku terima dalam waktu yang berbeda. Jaraknya pun sangat berjauhan. Kedua-duanya aku dapatkan dari dua temanku. Mereka pun dua teman yang kukenal berbeda waktu dan berbeda tempat. Akan tetapi, pertemuan dengan mereka itu bener-benar memberi bekas bagi diriku. Bekas yang mendalam. Ah, ah!

Pribadi yang menulis pertama itu, ketika aku membaca emailnya, jujur saja aku terkejut. Mengapa bisa memiliki dugaan seperti itu? Selama ini, aku tidak pernah memiliki pemikiran yang terlalu jauh tentang kedekatan ini. Dulu memang, ketika masih dalam masa kebersamaan, ada saat-saat menyenangkan bersamanya. Aku masih ingat persis, perhatiannya banyak banget. Lebih-lebih kalau saat makan. Apa saja disiapkan, ditanya mau makan apa, minum apa. Semua diambilkan. Wah, dimanja banget. Ya..., senang juga sih! Lambat laun, cerita demi cerita pun mengalir. Akhirnya kami begitu dekat. Setelah acara kebersamaan itu, beberapa waktu memang masih ada kontak, namun juga tidak terlalu sering. Hingga suatu saat, dia pindah ke B. Selama dia di B itu, kontak juga jarang. Sempat juga menghubunginya ketika dia ulang tahun. Tidak lama dia di B, balik lagi. Meski sudah satu kota lagi, kontak pun jarang.

Sedangkan pribadi yang satu lagi, itu baru saja aku kenal. Mengikuti sebuah training yang akhirnya mengharuskan menjadi satu kelompok dengan dia. Justru ketika satu kelompok itu, kedekatan selama proses training dan latihan jarang terjadi. Hanya pada saat-saat tertentu saja, aku berkontak dengan dia. Masalahnya, di akhir training, ketika mendekati selesai, ada tugas yang harus diselesaikan bersama, dirinya terlalu memikirkan perasaannya. Ada hal yang jauh lebih indah, sehingga banyak waktu yang dihabiskan diluar kelompok. Untuk hal ini pun, aku tidak terlalu menyalahkan karena aku sendiri belum tentu benar. Rasa kecewaku sebagai penanggung jawab tugas dalam kelompok itu dirasakan. Memang kecewa! Karena pada saat selesai training, aku pergi di hadapannya dengan rasa dingin. Dirasakan itu!

Beberapa hari, dia kemudian mengontakku. Aku sendiri masih menyimpan perasaan tidak nyaman. Jengkel yang belum longgar. Kesempatan itulah yang kugunakan untuk menyampaikan beban yang ada dalam pikiranku. Segalanya kusampaikan dengan terbuka, termasuk penilaianku atau perasaanku pada dirinya selamat proses pembuatan tugas terakhir training itu. Barangkali, karena keterusteranganku atau apa, dia kemudian membalas dengan email pendek seperti itu. Aku juga tidak menyangka bahwa dia bisa menanggapi sedemikian dalam.

Mengenal banyak orang itu mudah. Begitu aku mau membuka mulut untuk menyapa, akan hadir di depanku orang yang mau berkawan. Akan tetapi, mengenal hati orang yang mau berkawan denganku itu tidak mudah. Tidak setiap orang yang menjadi kawan, akan memiliki perasaan untuk mampu membuka hati di hadapanku. Mengapa aku harus menyia-nyiakan hati yang sudah terbuka untuk berbagi denganku? Mengapa anugerah pribadi yang unik ini tidak aku pupuk sebagai kekayaan di dalam membentuk persaudaran dengan orang lain? Terkadang, dengan bersembunyi pada kesibukan, aku telah melalaikan hati yang telah terbuka itu. Padahal, jika hati itu terluka, tak akan mudah untuk sembuh dan menerima kehadiranku lagi.***


Semarang, 28 Maret 2009

Selasa, 31 Maret 2009

Surat Tak Sampai

Tahun 2003, saat aku masih kuliah, ada program KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang harus kuikuti. Dalam KKN itu, aku bergabung dengan kawan-kawan dari berbagai jurusan. Jadilah satu kelompok dengan kawan baru. Yang lebih beruntung jika dalam kelompok itu, ada kawan yang memang sudah dikenal, meski berbeda jurusan. Namun bagiku tidak demikian. Aku sendirian dari jurusanku. Namun, begitu bisa gabung, aku pun dapat menemukan berbagai pengalaman yang memperkaya aku. Berbagai kegiatan dapat kulakukan dan kuselesaikan dengan kawan-kawan baru ini.

Di saat perjumpaan terakhir dan pembubaran kelompok, aku dan kawan-kawan sempat makan bersama-sama di sebuah rumah makan. Saat itulah, kuberikan ungkapan-ungkapanku kepada kawan-kawanku dalam bentuk tulisan. Sayang sekali, seorang kawan berhalangan hadir, sehingga dia tak sempat menerima coretan tanganku. Namanya biasa dipanggil Ani.

Sayangnya, aku tak pernah tahu kemana dirinya melanjutkan kariernya, setelah kami sama-sama lulus tahun 2004. Jika dia menemukan tulisanku ini, semoga dia bisa mengerti apa yang hendak kusampaikan. Jika tidak, tulisan yang telah kupindah dalam blog ini, semoga tidak hilang.


Buat Ani

Salam hangat penuh persahabatan,
Rasanya tidak mungkin aku mengungkapkan kesanku kepadamu hanya dalam jangka waktu yang sedikit dan terbatas. Maka aku sempatkan untuk memberikan ungkapan kesan dan terima kasihku kepadamu melalui tulisan ini. Sebelumnya, aku minta maaf jika nanti ada kesan pribadiku yang ternyata tidak berkenan di hati.

Waa..., ini dia temanku yang paling seger penuh tawa! Gimana, masih sanggup untuk tertawa panjang lagi sampe ujung barat dan timur mendengar, Dik? Ha...ha...ha...! Masih kuat ngisi TTS? Atau masih mau main kartu? Yah, mudah-mudahan semuanya masih menjadi hobi yang mengasyikkan di samping tugas-tugas lain, ya?

Ada beberapa hal yang dapat kutimba selama aku bergaul dengan dirimu selama KKN. Barangkali bagi kamu tidak, namun bagiku, ya! Aku pikir, pada waktu pertemuan pertama di kampus, kamu orangnya tidak banyak ketawa. Eh, tak tahunya? Ngakakmu itu nggak ada yang menandingi. Bahkan Bu Muji aja sempat terheran-heran. Kamu tahu tidak, apa kata teman-teman jika kamu sudah mulai bicara? ”Waa..., Gunung Merapi nih, mulai mengeluarkan semburannya!” Gitu mereka bilang! Ha...ha...ha...! Sorry, nggak nyinggung, kan?

Itulah keistimewaanmu yang dapat kutangkap selama kita kenal sebagai teman baru di Dusun Surodadi. Kupikir, ini anak kok enak banget segala sesuatu dianggap santai, ringan, tanpa beban. Ketawa-ketiwi tanpa henti! Namun, setelah sekain lama aku mengenal sisi itu, aku jadi tersadarkan bahwa aku memang mesti menerima pribadi lain yang hadir di sekelilingku dengan apa adanya. Itulah pribadimu yang kutangkap tampak santai, ringan, penuh tawa, dan enjoy saat bergaul dengan orang lain. Sikap dan sifatmu itu telah menunjukkan kepadaku bahwa ada kalanya segala sesuatu yang dihadapi itu harus dirasakan dengan ringan, dengan tawa! Hal ini yang sebenarnya berat, namun dapat saja dibawa dengan ringan, sehingga justru cepat selesai. Itulah yang kutangkap dari pribadimu. Santai! Penuh tawa!

Memang, aku juga menyadari bahwa selama kita bergaul, tidak banyak hal yang sering kita bicarakan secara mendalam. Tidak mengapa! Itu semua juga kamu sadari bahwa tidak setiap orang dapat cocok untuk berakrab-akrab ria. Bahkan aku pernah mengungkapkan suatu ganjalan kepadamu pada waktu kita melakukan evaluasi dan berbagi pengalaman. Kamu dapat menerima dan menyadari itu dengan baik! Benar-benar aku menghargai sifatmu itu. Mungkin, latar belakang kehidupanmu yang berbeda dengan latar belakang kehidupanku atau teman lain, sedikit mengganjal pada saat harus hidup bersama. Mungkin, bagi dirimu tidak memengaruhi, namun bagiku atau teman lain memengaruhi. Nah, dalam situasi seperti ini, jika ada teman yang menegurmu, kamu mampu untuk menerimanya. Kamu tetap enjoy, tanpa tersinggung, dan kamu berusaha untuk memahami serta memperbaiki.

Barangkali kamu menilai bahwa hidup seseorang memang harus dijalani dengan keriangan. Ya, kalau memang itu yang kamu perjuangkan atau yang menjadi salah satu prinsip, itu pun aku hargai. Yang pasti, selama menjalin pertemanan dengan dirimu, aku belajar banyak hal. Belajar akan pentingnya sebuah relaksasi; belajar akan baiknya membawa sesuatu ke dalam keceriaan, dan pentingya menjalin hubungan yang baik dengan orang yang sekiranya akan membantu dalam meniti masa depan.

Ani, terima kasih ya, atas kehadiranmu dalam kelompok kita. Aku menyadari sekarang bahwa pribadi sepertimu juga memberikan andil pada diriku. Aku semakin tahu bahwa tidak selamanya orang yang sedang memiliki tanggung jawab dan tugas harus diselesaikan dengan muka masam atau cemberut. Orang dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas dengan ringan dan muka cerah. Bukankah ini lebih menguntungkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain?

Mudah-mudahan apa yang kusampaikan ini tidak membikin kamu bingung! Inilah yang dapat kusampaikan, setelah nanti kita tidak bertemu lagi. Dari tujuh teman, kamulah yang paling jauh tempat tinggalnya. Kalau kamu sudah selesai dari Yogya, kembali ke Kalimantan, apakah mungkin dapat bersua kembali? Ya, akhirnya hanya doa yang dapat kusampaikan. Sukses ya, kamu menjalani hidup dan meraih masa depan! Baik-baiklah untuk berusaha! Akhirnya, selamat meniti karier yang cerah!

O, ya yang pasti tak akan pernah aku lupa bahwa ’lip balm-mu’ itu merupakan ingatan bagi diriku! Ha...ha...ha...! Nggak dapat barangnya, malah dapat pengalaman lucu! Aku minta maaf atas segala kesalahan, kekilafan, dan kekurangan yang membuatmu kecewa sebagai teman di Kelompok 57.

Sekali lagi terima kasih atas semua yang telah kamu bagikan kepadaku. Panggilan namaku yang sudah akrab sebagai anggota Kelompok 57, pertahankan dan pakailah itu saat kapan saja jika masih sempat bertemu denganku. Kuanggap ini sebagai kenanngan.


Yogyakarta, Februari 2003
Doa dan dukunganku,


Hanya jejak-jejak inilah yang bisa kusampaikan. Entah, mungkin dia telah menggapai suatu cita yang dulu pernah diidamkannya. Aku tak pernah tahu...

Semarang, 30 Maret 2009

Kangen!

"Aku jadi kangen waktu kulihat foto-foto itu. Nggak tahu, kapan aku ketemu kamu dan bagamana kalau ketemu? Aku masih lama di Flp, karena masih harus lanjut S2. Harapanku sih, kau datang ke Flp. Aku capek banget! Nggak tahu, mau gimana menorehkan perasaanku. Dulu aku bisa berlembar-lembar nulis ke kamu. Sekarang? Aku jarang nulis! Yang jelas, aku kangen ketemu kamu. Pengin ditemani nangis di depan pohon kita dulu. Meski aku yakin, situasi itu berubah. Ada hal yang aku rasa perlahan beranjak dari aku. Kenapa, ya? Aku masih bersikap manja dan sentimentil? Aku kangen kamu. Kangen hari-hari kita dulu. Nih lihat, air mataku jadi keluar, deh. Udah ya, nanti aku bisa nangis heboh lagi. Bye...."

Ah, bagaimana bisa seperti itu? Jika pertanyaan ini kulandasi dengan nalar, tentulah bisa dijawab. Karena dia kangen. Titik. Itu saja. Namun, jika dikejar, mengapa masih kangen? Karena dia masih cinta kepadaku. Mengapa masih cinta? Karena aku sangat berkesan di hatinya. Mengapa berkesan? Karena.........

Aduuuuh........, bukan seperti itu kan memahami perasaan orang lain, terlebih seseorang yang pernah merasa dekat di hati? Memahami perasaannya, tidak perlu mencari alasan-alasan mengapa bisa seperti itu. Yang pasti, dia kangen kepadaku. Itu saja. Titik!

Ketika dia menuliskan ungkapan itu kepadaku, jujur saja, aku merasa bingung. Bingung karena yaitu tadi. Masih saja mencari banyak alasan mengapa dia masih kangen kepadaku. Padahal, aku sudah bilang kepadanya berkali-kali, konsentrasilah pada tugas. Jangan menghiraukan aku lagi. Namun....., hik, hik, hik! Memang, dia masih menyimpan perasaan itu, mau bagaimana? Ya....kangen kan?

Hati memang memiliki lemari rahasia yang sulit sekali dibuka. Banyak hal yang bisa tersimpan rapat dan rapi di dalamnya, termasuk perasaan. Perasaan apapun bisa disimpan di dalam hati. Bisa saja malu, kecewa, senang, bahagia, sedih, takut, kangen, dan juga cinta. Ah, tidak harus memaksa seorang tukang kunci untuk membuka lemari rahasia hati orang lain. Karena, jika sudah tiba saatnya, lemari itu akan dibuka dengan sendirinya. Dengan demikian, akan tahu perasaan apa yang tersimpan di dalamnya.

Jika aku tahu dia masih kangen kepadaku, berarti dia memang masih menyimpan perasaannya kepadaku. Perasaan apa? Ya....macam-macam! Yang jelas ya....kangen itu! Ah, tidak perlu diperpanjang. Sudahlah, dia memang kangen kepadaku.

Kemudian, jika dia kangen kepadaku, apa sekarang aku harus melarangnya? Perasaan itu kan miliknya? Bener kan? Dia bebas mengekspresikan segala perasaannya itu. Sementara, apa rugiku jika dia kangen kepadaku? Tidak ada! Justru sebenarnya, aku tersanjung dan bersyukur masih ada seseorang yang bilang kangen kepadaku. Itu artinya, diriku memiliki arti, minimal bagi dirinya.

Aku tidak mengagung-agungkan diri kok! Aku hanya ingin jujur. Apapun yang ditampakkan olehnya kepadaku, adalah nyata-nyata perasaan yang ada di dalam hatinya. Meskipun aku harus mengakui bahwa aku tidak kangen kepadanya, namun aku masih ingin menghargai perasaannya itu kepadaku.

Jika aku menatap puncak bukit di seberang kota S, di sana akan tampak sebatang pohon randu alas yang masih berdiri tegak. Ya..., pohon itu pula menjadi salah satu kenangan bersamanya. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan, karena jika aku mendekat, pohon itu masih tetap di sana dan aku juga sendirian. Aku tidak lagi bersamanya. Sama seperti dirinya yang sekarang jauh dariku. ***


September 2008

Minggu, 29 Maret 2009

Tiba-Tiba Saja Menangis!

Saat aku sedang browsing -cari lagu-lagu yang kusuka- aku temukan lagu Dewa 19 berjudul “Selimut Hati”. Aku pernah mendengar lagu ini. Easy listening sih! Maka, kucari saja video klipnya. Aku masih bisa menyaksikan video klip itu dengan personil Dewa 19 (Tyo, Drummer-nya masih juga ikut) dan beberapa talent seperti Maia, Mulan, DJ Chatty. Spontan saja, sambil melihat itu, aku langsung saja mewek! Wee........kenapa ini?
Ah, ya ingat akan kenyataan sekarang ini. Antara video klip dengan situasi yang ada saat ini. Dalam video klip itu, tampak betapa kemesraan dan perhatian itu tergambar. Sekarang? Semuanya itu telah lenyap. Dhani berseteru dengan Maia. Mulan keluar dari Ratu. Tyo sudah tidak gabung lagi di Dewa 19. Siapa yang akan mengira bahwa kesuksesan dalam mendapatkan aplaus itu juga akan diikuti dengan kesuksesan dalam menjalani biduk rumah tangga? Tak ada yang bisa memperkirakan. Mungkin hanya peramal saja. Namun, ah, kali ini janganlah membicarakan peramal.

Ya, itulah! Suatu perasaan sepertinya bisa saja berubah hanya dalam jangka waktu ketukan jari! Kemarin benci, sekarang sudah cinta. Kemarin cinta, esok sudah musuhan! Apakah hanya sebatas itu sebuah perasaan itu bisa bertahan?

Aku selalu sadar bahwa menjalani hidup dengan sempurna itu tak mudah. Justru, kesempurnaan itu bisa nyata ketika segala hal terjadi. Seseorang bisa sempurna menjalani kehidupan, manakala dirinya berhasil. Namun, jika terus berhasil, itu bukanlah kesempurnaan hidup. Seseorang pun perlu juga merasakan kegagalan. Karena kegagalan adalah bagian dari kehidupan. Tidaklah mungkin, seseorang mengejar keberhasilan terus-menerus. Jika toh ada orang lain menganggap sesama berhasil, itu pun belum tentu benar. Karena yang bersangkutan bisa merasa berbeda dari pandangan orang lain.

Kegagalan dalam mempertahankan hidup rumah tangga adalah kesempurnaan dalam menjalani kehidupan. Namun, apakah setiap orang harus selalu mengalami kegagalan yang sama? Tentu saja tidak! Terkadang, kegagalan orang lain bisa dijadikan cermin agar kegagalan dirinya tidak separah orang lain. Belajar dari pengalaman orang lain!

Semudah itukah? Nyatanya memang tidak mudah! Sedang seseorang yang berhasil menjalani kehidupan dan mendapatkan hal-hal yang penuh, ternyata bisa saja terperosok dalam kegagalan. Ya...paling tidak contoh yang kusampaikan di atas tadi.

Dalam ungkapan ini, aku tidak sedang mengomentari keadaan mereka itu. Aku hanya ingin melihat dan belajar dari kehidupan mereka itu. Tidak lebih dari itu. Meski mereka gagal, mereka pun memiliki keberhasilan. Antara keberhasilan dan kegagalan, sering berjalan seiring. Jika manusia tidak waspada, salah satunya bisa menjadi jalan tenggelamnya jiwa dalam keputusasaan. Apakah keberhasilan juga bisa menenggelamkan jiwa? Tentu saja bisa! Jika kegagalan itu mengantar pada sikap tidak rendah hati. Apakah kegagalan juga bisa menenggelamkan jiwa? Jelas! Karena kalau tidak segera bangkit, dirinya akan selalu terpuruk dan putus asa!

Tiba-tiba aku menangis! Namun, tangisan ini adalah tangisan bela rasa! Berbela dan berasa atas apa yang hendak kulihat dalam diriku sendiri!***


September 2008

Sabtu, 28 Maret 2009

Telepon dari Seberang

Saudaraku tiba-tiba bilang kalau aku diminta untuk menelepon Liani. Liani? Ah, mengapa harus nelpon? Sudah lama aku tidak berkontak dengannya. Tetapi mengapa aku harus meneleponya? ”Mungkin dia masih menyimpan masalah sama kamu,” kata saudaraku itu sambil tertawa. Sialan, kataku.

Liani itu kawan lama. Dia kukenal kira-kira empat tahun yang lalu di kota S. Waktu itu, ada sebuah kegiatan yang membuat aku bisa berjumpa dengan dirinya. Nah, yang membikin hal mengesan bukan Liani, melainkan diriku yang bergulat dengan masa laluku. Kok Liani bisa terlibat? Ceritanya, waktu mengikuti kegiatan itu, acapkali berjumpa dengan Liani, aku selalu tidak bisa saling berkomunikasi. Diam-diaman. Jika berpapasan dengannya tak ada sapaan hangat. Padahal, dia kawan baru, mestinya aku memberi sapa yang hangat. Namun itu tidak kulakukan. Aku juga heran dengan diriku ini. Ada apa sebenarnya?

Selang satu bulan (kegiatan itu dilakukan selama dua bulan dengan tinggal di asrama), aku mulai menemukan akar persoalan. Akar persoalan itu ternyata ada dalam dirku sendiri. Sosok Liani itu ternyata mirip dengan seseorang di masa laluku yang membikin aku sakit hati. Oh, itu yang membuat komunikasiku dengan Liani terhambat. Menyadari itu, aku berusaha untuk menyelesaikan. Ternyata tidak mudah! Aku mencoba mendekati untuk menyampaikan segala ganjalan yang ada.

Suatu siang, selesai makan siang, aku mengajaknya untuk berbicara. Kepadanya kuungkapkan bahwa aku meminta maaf jika ada perilakuku yang membuatnya tidak nyaman. Kusampaikan apa adanya tentang alam bawah sadarku yang membenci seseorang namun tersalurkan pada sosok dirinya. Liani bisa mengerti. Aku berusaha untuk mengolah luka ini.

Lambat namun pasti, aku mulai mampu untuk berkomunikasi dengan Liani. Meski masih sulit, aku tetap berusaha berkontak dengan Liani. Saat-saat lain, jika bertemu, aku menyapanya. Bahkan, aku berusaha untuk duduk sebangku di ruang pertemuan. Hingga pada akhirnya, segala kebekuan itu mencair. Obrolan sudah terjalin dan senda gurau pun tercipta. Di saat-saat pertemuan di kelas, aku tukar bolpointku dengan milik Liani.

Ah, tiba-tiba saja sekarang dia memberi tahu saudaraku agar aku meneleponnya. Benarkah ada sesuatu masalah masa lalu yang belum selesai? Ah, mungkin bukan! Karena yang memiliki masalah adalah diriku, sementara Liani tidak ada masalah apa pun. Semuanya sudah berlalu!

Jam 20.45, aku hubungi Liani. Agak lama juga tersambung ke ponselnya. Sempat terputus. Ketika bisa tersambung, dengan ringan kusapa Liani.

”Haloo...met malam, met jumpa.”

”Hei! Pa kabar? Lama tidak kontak.”

”Ya begitulah....”

Obrolan pun terjalin. Ternyata benar! Bukan suatu masalah. Nyatanya, sampai 30 menit obrolan itu, segalanya berjalan dengan baik. Apa yang ingin disampaikan kepadaku? Sebuah undangan. Dia mengundangku untuk datang tanggal 8 September. Ada peristiwa yang sedang dirayakannya.

”Aduh, sori, aku tidak bisa kalau mendadak begini,” jawabku.

”Habisnya...., kamu tidak pernah berkirim kabar sama aku,” sahutnya.

”Iya maaf. Tapi nanti aku hubungi jika perayaan itu sudah selesai.”

”Bener lho! Aku tunggu.”

”Tapi aku tidak janji....”

”Lho, gimana sih? Pokoknya aku tunggu tanggal 8 malam telepon aku. Awas kalau tidak!” kata Liani.

Begitulah percakapan malam itu. Meski hanya bertukar kabar, perjumpaan dengan Liani lewat udara ini telah memberiku suatu pengalaman bahwa ada masa-masa ketika seseorang itu ternyata masih saling memerlukan. Paling tidak, saling menyapa. ***


September 2008

Jumat, 27 Maret 2009

My Rumiyin!!!!!!!!!!!!!

Heran aku! Kai selalu memanggilku dengan kata-kata itu. Apa sih yang membuatnya selalu memanggilku dengan ”My Rumiyin, My Rumiyin” itu? Kalau diterjemahkan sesuai kata aslinya, bener-bener tak bakalan menjadi jelas, bahkan membingungkan. Apa coba, dengan maksud ”dulu-ku, dahulu-ku”.

”Apaan sih, my rumiyin, my rumiyin....,” tanyaku waktu itu.

”Lhah..., kan Bro emang my rumiyin. Piye toh?” jawabnya sekenanya.

”Kamu tahu artinya rumiyin?” lanjutku.

”Artinya: dulu, kan?” sahutnya dan lantas berlalu dari hadapanku.

Begitulah Kai. Penjelasan tentang ”My Rumiyin” itu tak pernah dia sampaikan kepadaku. Jika ngomong soal Kai, aku lalu ingat pertemuannya beberapa waktu lalu. Awal mulanya hanya karena persamaan tujuan untuk mengikuti suatu kegiatan di pinggiran kota Y. Bahkan ketika kegiatan itu aku jalani bersama teman baru lain, termasuk Kai, segalanya berjalan dengan lancar. Segalanya bisa terjadi dengan baik, dan hasil kegiatan itu pun dapat kubawa pulang dengan baik pula. Sampai pada penghujung kegiatan, Kai membuat pengakuan di hadapanku.

Apa sih yang salah tentang Kai? Jika ingat pengakuannya, aku sebenarnya tidak ingin menyudutkan bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah kesalahannya. Sebagai manusia, siapa yang tidak salah langkah karena kelemahan? Tak seorang pun bisa lepas dari kekeliruan.

Melihatnya bisa bergembira di pagi hari, bagiku sudah cukup untuk bisa memberinya kesejukan. Tak ada yang ingin kuminta banyak darinya. Jika dengan sentuhan udara dingin, basahnya tetesan embun, dan hangatnya sinar matahari pagi, Kai sudah bisa menikmati satu hari itu saja, itu adalah anugerah yang sangat besar bagiku. Meski aku hanya bisa mengajaknya menyusuri jalan-jalan setapak atau pematang-pematang sawah atau pinggiran sungai, itu adalah kesempatan yang sudah lebih dari cukup bagiku.

Sayangnya, aku begitu terganggu. Mengapa aku sulit untuk menerimanya? Apakah karena di dalam hatiku ada tuntutan agar dia tampil sebagai seorang Kai yang sempurna? Atau karena aku sendiri yang masih menipu diriku atas rasa cukup yang selama ini kupertahankan dalam diriku? Semestinya, ketika Kai berterus terang kepadaku atas segala tindakan yang menurutnya bodoh itu dilakukan, aku tak harus menyudutkannya.

”Waktu itu, entahlah. Aku gak tau...! Masih ingat sih perasaan aku saat itu. Amburadul banget! Ga tau aku juga kenapa...” katanya memulai percakapan.

”Trus ngapain harus ngajak ngomong aku dan akhirnya malah gak jadi?” tanyaku.

”Ah, Bro...! Aku juga ga tau...! Mungkin karena takut pisah sama Bro? Gak tau juga... Biasanya ada yang jagain aku... Terus sekarang gak ada! Gak tau...! Aku ngerasa salah sama kelompok karena gak ngapa-ngapain. Ngerasa.... ah...,” Kai terdiam.

Aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya. Ini penting karena aku perlu mengerti apa yang sebenarnya yang ingin dia sampaikan kepadaku. Itu semata-mata, agar aku bisa makin mengerti apa yang hidup dalam diri Kai saat itu. Kudengar, pelan Kai melanjutkan kata-katanya.

”Mungkin juga belum rela ninggalin acara jalan pagi yang begitu berarti untuk aku. Entahlah... Mungkin karena baru saat itu aku bisa bebas lepas, lepas berekspresi. Aku emang cengeng. Aku gak tau sebenernya aku kenapa? Kenapa? Makanya aku tanya Bro. Rasanya Bro udah kenal aku lebih dari aku sendiri. Aku ngerasa aman sama Bro karena yakin Bro gak akan suka orang lain ngapa-ngapain aku. I really need friend untuk ngobrol.”

Kai terisak. Berupaya untuk memahami gejolak perasaan Kai, bagiku adalah usaha yang tidak mudah. Bagaimana aku harus memahaminya, sedang dalam diriku bergejolak perasaan tidak suka atas apa yang dilakukan. Akan tetapi, mengapa aku tak menyukainya, jika dia di hadapanku berterus terang atas segala kesalahan yang telah dia lakukan?

”Seingat aku, ”lanjut Kai, ”waktu itu aku masih panik, sedikit bingung. Aku ngerasa bersalah banget karena aku suka sama En dan rasa sukaku itu ganggu kerja kelompokku. Kerjaanku jadi gak karuan. Semuanya amburadul. Aku menyadarinya dan aku harus menyudahinya. Memang semestinya aku gak usah tarik tangan Bro saat itu. Karena gak penting banget Bro ikutan urusanku. Tapi aku ngerasa cuma punya temen Bro aja. Aku mau ceritanya ke Bro. Karena Bro ketua kelompok yang aku bikin acakadul. Yang lebih bikin aku nyaman, Bro gak akan pernah suka sama aku. Itu yang bikin aku comfortable untuk bicara sama Bro, walau akhirnya gak ada yang keluar. Tuh kan bener? Gak ada yang penting, makanya waktu itu gak ada yang keluar. Masa, masalah kayak gitu aku gak bisa atasi sendiri? Tapi nyatanya emang aku gak bisa ngatasi hal sepele macam itu. I really need you, Bro. Untuk nampar aku, untuk mengguncang bahuku, untuk menunjukkan semua kelakuanku. Susah banget melihat dari sudut pandang orang lain ke diri sendiri. Aku belum pernah merasa nyaman sama cowok, selain sama Bro. Maksudnya untuk berusaha berbicara, walau akhirnya gak jadi.”

Susah payah Kai menyelesaikan kata-katanya. Aku menghela nafas. Terus mau apa sekarang? Jika Kai memanggilku, ”My Rumiyin......!” apakah aku juga harus tetap memalingkan wajahku ke arah lain dan meninggalkan cibiran kepadanya? Haruskah sebesar itu aku menghukum Kai, sementara dia telah membuat pengakuan di hadapanku?

Menghadapi Kai, bagiku adalah menghadapi pengalaman masa laluku. Aku harus berani mengakui dan menerima apa yang telah terjadi pada masa laluku. Kai bukanlah masa laluku. Dia adalah masa kini yang sedang memberiku sandungan-sandungan kecil pada ujung jari-jemari kaki dalam kancah jalan kehidupan ini. Ah, Kai. Kesalahan itu bukan hanya milikmu. Kesalahan itu tetap saja ada pada diriku. Bukan saja dirimu dan diriku, melainkan orang lain juga memilikinya.

Di ujung malam, aku hanya bisa membisikkan pada Kai, menyampaikan rasa salah dan maafku, karena sikap penyudutanku kepadanya. Seandainya dia bisa sedekat angin malam ini, akan kurengkuh dan kubisikan kata itu di dekat telinganya. Jangan pernah menyerah untuk berubah. Mari berupaya bersama aku. Aku selalu mendukungmu. Aku selalu menyayangimu.***



Agustus 2008

Enam Pertanyaan

Seorang kawan mengirimkan email kepadaku. Ketika kubuka, email itu berisi tentang suatu cerita. Demikian cerita lengkap itu.

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan. Pertanyaan pertama demikian, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"Murid-muridnya ada yang menjawab, "Orang tua", guru, teman, dan kerabatnya."Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian". Sebab kematian adalah PASTI adanya.


Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"Murid-muridnya ada yang menjawab, "Negara Cina", bulan, matahari, dan bintang-bintang."Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita TIDAK bisa kembali ke masa lalu. Sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang.

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?"Murid-muridnya ada yang menjawab "gunung", "bumi", dan "matahari."
”Semua jawaban itu benar.” kata Sang Guru, ”tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu". Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu duniawi. Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini. Jangan sampainafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat).


Pertanyaan keempat, "Apa yang paling berat di dunia ini?"Di antara muridnya ada yang menjawab, "Baja", besi, dan gajah.""Semua jawaban hampir benar," kata Sang Guru, ”tapi yang paling berat adalah "memegang amanah".

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini...???"Ada yang menjawab "kapas", "angin", "debu", dan "daun-daunan" ..."Semua itu benar...", kata Sang Guru...tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "meninggalkan ibadah".

Lalu pertanyaan keenam, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "PEDANG!""Hampir benar," kata Sang Guru, ”tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan KEMATIAN...senantiasa belajar dari MASA LALU...dan tidak memperturutkan NAFSU...???

Sudahkah kita mampu MENGEMBAN AMANAH sekecil apapun...dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH....serta senantiasa MENJAGA LIDAH kita...???

Kamis, 26 Maret 2009

Bermain-main!

Asyiknya anak-anak! Bisa bermain sesukanya! Dari pagi sampai sore! Di sekolah, bermain! Di rumah, bermain! Barulah ketika bunda mereka datang dan mengajaknya untuk segera mandi, mereka menghentikan permainan yang seru itu. Bubar! Kemudian pulang ke rumah masing-masing! Asyiknya anak-anak yang bermain!

Ah, itu kan anak-anak yang bermain-main. Namun pernahkah ada permainan yang benar-benar tidak menyenangkan? Ada ya? Ada! Ya, tentu saja ada. Aku ingin bilang padamu bahwa permainan yang tidak menyenangkan ini biasanya yang melakukan adalah kita, orang yang sudah mengaku besar, gede, dewasa! Disadari atau tidak, permainan ini selalu ada, ada, dan ada! Apa yang ingin kusampaikan? Ya permainan yang tidak menyenangkan itu! Apa ya?

Main hati! Wa? Iya! Hati kok diajak main-main! Tapi ada yang mengalami lho! Coba aja simak!

...........
Tak pernah sebelumnya
Tak pernah kuduga

Kuakui ku main hati
Kutak bisa tuk memungkiri
Ku main hati
.........................................

Tahu, kan? Itu syair, aku ambil dari lagunya Andra & The Backbone berjudul “Ku Main hati” Tidak usah menunjuk-nunjuk, main hati itu nyatanya selalu berkait dengan hati, hati, hati, dan hati! Yang penting, diakui sajalah! Gitu.....

Pernahkah kita benar-benar masuk ke dalam permainan “hati” itu? Tidak ada yang bisa mengakui, apakah dirinya pernah bisa benar-benar masuk. Alasannya, sekedar sedikit main-main saja, lebih sering terasa tidak menyenankannya. Apalagi kalau masuk dalam permainan itu? Bisa-bisa hangus kebakar oleh hati itu sendiri! Wa....ha....ha...!

Sayangnya, permainan ini akan selalu ditemui dalam kehidupan. Karena, setiap dari kita masih memiliki hati. Hati inilah yang tak pernah bisa kita ajak untuk mengikuti pikiran kita. Hati memang ingin merasa senang, bahagia, gembira, puas! Karena hati yang tidak merasakan itu semua, lambat laun akan menjadi menciut dan bisa beku sendiri. Hati yang ingin merasa senang, bahagia, gembira, dan puas itu biasanya selalu mencari banyak cara. Salah satunya adalah bermain itu tadi!

Apakah salah untuk sekedar bermain? Tidak ada sih! Bahkan kita yang mengaku sudah besar, dewasa, gede pun tetap ingin melakukan permainan. Masalahnya, karena kita merasa seperti itu, antara permainan dan hati dijadikan satu dan bener-bener disrempet-srempetkan! Alhasil, permainan yang menyentuh hati, bisa membikin dua sisi. Bahagia dan sedih! Gembira dan susah! Puas dan kecewa! Itulah manusia dewasa!

Jika sudah demikian, seperti aku katakan di atas, permainan menjadi tidak menyenangkan. Permainan bisa menjadi licik, diam-diaman, tidak jujur, dan sebagainya! Hati siapa yang ingin merasa dikecewakan? Karena tak ingin kecewa, maka perlu diselubungi kelicikan dan ketidakjujuran! Alhasil, jika semua ini terbongkar, hancurlah semuanya! Permainan yang ingin dipakai sebagai pembuat rasa gembira, senang, bahagia, puas itu malah justru membuat sedih, kecewa, dan bisa saja patah! Iya, patah! Patah hati! Woooo.........!

Tapi, siapakah yang benar-benar mau masuk dalam permainan yang menggunakan ”hati” ini? Tak ada yang mengaku! Namun, namun, namun.........kita selalu saja bersinggungan dengan itu. Diakui atau tidak! Disadari atau tidak! ***


Semaranga, 26 Maret 2009 (di hari Raya Nyepi)

Selasa, 24 Maret 2009

Barisan Kata-kata

”Sorry aku baru ke kamar lagi. Tadi komputer kutinggalkan on karena ada mahasiswa yang curhat. Maaf beribu maaf, mungkin besok malam kita bisa curhat. Maaf, ya!” (3/27/2008)

Awalnya, malam itu aku hanya ingin melihat apakah dia sedang on line atau tidak. Maka, kubuka sarana chatting-ku dan kulihat dia sedang on line. Aku pun segera menuliskan satu baris ucapan padanya. Kubiarkan sebentar sambil aku browsing di internet. Beluma ada dua menit, tiba-tiba dia meninggalkan pesan padaku. Intinya, dia memang agak jarang untuk on line karena merasa tidak nyaman jika sedang on line ada beberapa sapaan lain yang masuk dan ini membuatnya ruwet. Kemudian ditinggalkannya pesan untuk lain kali menghubunginya.

Tiba-tiba saja, hatiku disergap rasa tersinggung. Rasa tersinggung yang tidak terlalu besar, namun cukup membuatku untuk segera mungkin memutuskan koneksi chatting-ku itu. Sepertinya, ketika aku on line, kehadiranku hanyalah menjadi salah satu dari pengganggu itu baginya. Mengapa bisa demikian? Aku tidak tahu.

Keesokan harinya, ketika aku iseng untuk melihat sarana chatting-ku lagi, kulihat beberapa baris pesan yang ditinggalkan kepadaku. Itulah pesan yang tertulis di atas!

Rasa tersinggungku belum sirna. Ada desakan dari dalam diriku untuk tidak mengacuhkannya. Meski dia mengajak untuk berbagi di lain waktu, aku tak ingin menanggapinya. Biar saja!

Di dalam hatiku, muncul dua kubu yang berperang. Satu kubu ingin mempertahankan perasaan tersinggungku. Satu kubu ingin memahami situasinya. Tak mudah. Perasaanku benar-benar terluka. Jujur saja, setelah lama aku tak berkontak dengannya, baru malam itu aku mencoba untuk menghubunginya. Itu pun tidak aku paksakan. Artinya, saat itu aku hanya menyampaikan sedikit ucapan. Terasa sekali, betapa tak diharapkannya sapaan dan kehadiranku baginya. Betapa tak berartinya kehadiranku malam itu baginya.

Sementara di sisi lain, setelah aku mengerti alasannya, aku berusaha untuk mengerti akan keberadaannya saat itu. Malam itu dia memang sedang diperlukan oleh sesama yang barangkali jauh lebih memerlukan dirinya. Itu artinya dia memiliki arti bagi sesama di sekitarnya.

Akan tetapi, entah mengapa aku masih sulit untuk bisa menerima itu. Mungkin pada saat kutuliskan ungkapan ini, perasaanku sedang larut dengan suasana ketiadaan arti dalam diriku sendiri. Barangkali aku masih dilingkupi rasa kecil karena memang tak mampu untuk hadir bagi sesama. Barangkali aku masih terkungkung dengan rasa iri akan talenta orang lain.

Dengan rendah hati, aku sungguh meminta maaf jika ungkapanku ini kemudian membuatnya merasa bersalah. Aku hanya ingin bersikap jujur atas perasaan yang tiba-tiba saja muncul.***


Semarang, 25 Maret 2009