Senin, 17 November 2008

Demi Hidupmu, Lawanlah!



Hujan deras. Jatuh air hujan menjadi musik alam yang monoton. Dingin. Aku menganggur atas diriku. Sepi. Aku menghadapi diriku. Sungguh tak sedap dan tak enak.

Tahukah kau, aku rindu untuk bersamamu. Sungguh aku rindu. Rasanya, hujan di sore ini cocok untuk cengkrama kita. Mengusir sepi, sendirian, dan dingin. Hanya aku tidak tahu apakah kau seperasaan denganku. Aku tak mau bertepuk sebelah tangan. Pikiranku mencari pekerjaan.

Temanku, aku membuat keputusan untuk diriku: kutuliskan peristiwa di sore ini. Biarlah, peristiwa sore ini menjadi temanku, menjadi sahabatku. Aku menulis tentang aku.

Tak paham. Aku tidak mengerti untuk siapakah tulisanku. Apakah aku hanya mengadu dengan tulisanku atas rasa diri di sore ini? Pikirku ia untuk kertas, ballpoint, meja, kamarku, dan hujan. Cukuplah! la untuk alamku dan duniaku. Maksudku untuk diriku.

Temanku kekasih, tidakkah kamu tahu, mengalami peristiwa hidup ini menuntut diri untuk teguh, mawas diri, dan kuat? Asal kamu tahu, aku tak ingin hidupku sia-sia karena kelalaianku atas pengalaman hidup yang tidak dimaknai. Aku tidak mau jatuh ke dalam jurang kehancuran karena diriku sendiri. Untuk itulah, mawas diri, teguh, kuat, dan bijaksana diperlukan untuk mengambil langkah yang tepat, baik, dan benar demi diri dan hidupnya. Ini bukan egois dan bukan kesombongan. Kamu nanti akan tahu inilah yang disebut proses untuk menemukan diri dalam kerendahatian. Sebab akan kamu mengerti jika langkah dan atau keputusan yang tepat, benar, dan baik kauambil untuk dirimu akankah engkau mengambil keputusan dan atau langkah yang salah untuk sesamamu dan Tuhan? Aku yakin jika kebenaran ada dalam dirimu engkau akan bertindak benar juga di hadapan sesama dan Tuhan.

Baiklah aku akan kembali pada situasiku di sore ini. Aku jenuh, bosan, dan kesepian. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Mondar-mandir. Akankah aku melarikan diri atas kenyataan hidupku ini? Siapakah yang mau menelan pil jenuh, bosan, dan sepi? Apakah ini akibat kelalaianku saja? Atau ini akibat kebodohanku?

Aku mengendapkan peristiwa hidupku. Aku berproses untuk mengenal diriku. Biarlah ini kukatakan kepadamu. Aku mau jujur saja. Orang yang mau mengalami dirinya akan menjadi dewasa, matang, teguh, dan semakin menjadi manusia sebenarnya. Orang itu berkembang dalam hidup, batin, dan rohani secara mendalam. Orang itu akan mengenal dirinya, sesama, lingkungan, dan Tuhannya. Orang itu dapat dipercaya dan diandalkan karena ia jujur terhadap dirinya. Jika ia jujur terhadap dirinya, apakah ia akan menipu orang lain? Tidak! Orang itu bukan hanya mengenal diri, sesama, lingkungan, dan Tuhannya, tetapi akan menemukan diri, sesama, lingkungan, dan Tuhannya. Orang itu berjalan dalam terang dan membawa terang. Terang itu bukan hanya miliknya, tetapi menjadi milik banyak orang. la menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia milik dirinya, tetapi ia tahu lingkungan juga memilikinya. Terang itu menjadi milik semua orang.

Temanku kekasih, berjuang melawan kemauan yang tak teratur, kemalasan, dan tantangan yang melumpuh diri adalah berjuang melawan diri sendiri. Melawan diri sendiri adalah perjuangan yang sangat berat yang dialami setiap manusia. Tidak semua orang sudi melawan dirinya. Ini menyakitkan! Tetapi benarkah orang harus melawan diri sendiri? Menurutku, kita mesti menjadi raja atas diri kita. Bagaimana aku dapat meraja atas hal yang lain, jika aku tidak dapat meraja atas diri sendiri? Bagaimana aku dapat memimpin, jika aku tidak dapat memimpin istanaku yaitu diriku sendiri?

Aku tidak bermaksud untuk mengatakan kepadamu bahwa kita ini terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Ada kerajaan pikiran, hati, dan perasaan. Tidak begitu maksudku. Akan tetapi, akan terjadi bahwa pikiranmu berjalan ke utara hatimu berjalan ke selatan. Ini namanya tidak serasi. Mungkin kamu akan stres, tidak dapat konsentrasi, dan akhirnya kamu tidak utuh. Dirimu terpecah-belah atas dirimu sendiri. Ini berbahaya! Nah, inilah maksudku kamu harus menjadi raja atas dirimu.

Sore ini masih hujan. Aku menemukan hujan, menemukan sepi, menemukan bosan, menemukan lingkungan, dan pada akhirnya, aku menemukan aku. Aku tidak lari ke mana pun. Aku mau setia bersama diriku meskipun bosan, jenuh, dan kesepian. Bagaimana aku dapat setia terhadap hal lain, jika aku tidak dapat setia terhadap diriku? Bagaimana aku dapat tekun berjuang jika aku tidak tekun dan setia terhadap diriku? Bukankah ketekunan dan kesetiaan akan menghasilkan buah yang melimpah?

Pikirku aku telah menjadi pahlawan bagi hidupku. Aku mencintai diriku. Tidak! Tuhanlah yang mencintai aku untuk mencinta diriku, sesama, dan Dia. Teman, tiada yang lebih indah selain aku menyadari rahmat-Nya atas segala kejadian dan pengalaman yang dianugerahkan kepadaku. Aku yakin Dia berbicara dengan diriku melalui pengalaman dan kejadian itu. Untuk itulah sudah sepantasnya aku bersyukur kepada-Nya.


02 Maret 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Tidak ada komentar: