Minggu, 23 November 2008

Anggur dan Gelasnya


Kemarilah dan lihatlah! Ayo, kemarilah mendekat! Kita duduk sekursi. Mendekat dan dekaplah aku! Atau aku mendekat dan mendekapmu. Kita saling mendekat dan mendekap. Aku ingin mengusir dingin malam ini. Tetapi mungkinkah kau mendekap tanpa menyentuh aku? Atau aku mendekapmu tanpa menyentuhmu? Mari kita bercerita bersama, tentang hidup kita. Kita berbagi atas hidup kita. Ini milik kita. Antara aku dan kamu. Sungguh ini antara kita. Kita satukan kita. Ya, kita satukan yang tak mungkin persis satu. Jika persis pun yang menjadi satu itu adalah a, b, c, padaku dan b, c, d padamu. Ini demi masa depan. Masa depan yang harus dibangun mulai saat ini. Pembangunan kita memerlukan a, b, c dariku dan b, c, d darimu. Ini yang harus disatukan, bukan dipisahkan. Nah, mari kita mulai kebersamaan kita di malam dingin ini. Buatlah dirimu sehangat mungkin, senyaman mungkin, sedamai mungkin, setenteram mungkin, dan segembira mungkin. Marilah mendekat dan kita berbagi membangun masa depan. Biarkan dunia tertawa dan bergembira karena kita. Biarkan dunia bernyanyi suka-cita dan bersorak kegirangan. Ini masa depan yang harus kita bangun.

Ayo, kemari dan suguhkan anggurmu! Apa arti kita sekursi tanpa kau hidangkan anggurmu? Malam sungguh dingin. Kita harus menghangatkan tubuh kita. Anggurmu sudah tua dan tuangkan untukku. Ini gelas anggur dariku. Gelas ini untukmu dan untukku. Aku mempunyai gelas dan kamu mempunyai anggur. Mari kita minum bersama anggur ini. Anggur ini darimu dan gelas ini dariku pasti serasa. Ya, serasa. Bagaimana kita dapat berkata-kata yang benar jika anggur darimu dan gelas dariku berasa beda? Bagaimana kita dapat berbagi rasa membangun masa depan jika anggur darimu dan gelas dariku berasa a bagimu dan berasa b bagiku? Jika berbeda pun, mari kita satukan. Kita cari perbedaannya dan kita serasikan. Sungguh, anggurmu semanis bibirmu dan sehangat tubuhmu yang mungil nan ramping. Tambahkanlah padaku. Dan, ini untuk kita.

Sungguh apa artinya anggur tanpa gelas. Dan, apa artinya gelas anggur tanpa anggur. Sungguh bagai rumah tanpa atap jika anggur tanpa gelasnya. Mari tuangkan anggurmu pada gelasku. Ini milik kita. Anggur yang membangkitkan gairah di malam dingin ini. Bintang-bintang semakin terang. Mulutku dan mulutmu tiada henti mencecap. Sungguh nikmat. Hari ini hari kita, suatu hari yang kita mulai suatu saat yang tepat untuk aku dan kamu duduk mendekat dan mendekap; merasakan anggur bersama dan mencecap anggur yang sama. Kita sama rasa, bela rasa demi masa depan yang telah kita mulai.

Lihat di timur sana! Mentari telah bangun. Kita songsong dia! Persiapkan diri kita untuk hangat mentari di pagi ini. cahaya itu cahaya kita. Cahaya itu terang segala terang. Jangan tinggalkan! Kita ikutsertakan!


14 Juni 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Saudara Kerajaan Allah


(teruntuk bro Alo)

Kisah itu luas sehamparan cakrawala
Bayi merah amis lahir sabda pandita ratu
Pada suatu titik kepastian kini yang tak terukur oleh eksak
Kubertanya pada tongkatmu: ini kaki atau kompas,
Mata atau telinga, teman atau abdi, sahabat atau kekasih,
Atau sepotong kayu yang kau ambil dan kau pakai,
Kau pegang dan kau bawa berjalan,
Atau ini hidup?

Pada langkahmu di waktu senja
Menunjuk saat antara pasti dan kosong
Menekuni langkah yagn tak terhitung pada 57 tahun
Menunduk pasrah bertelud sujud
Menyatakan sembah yang dalam
Merengkuh adamu sabda pandita ratu
Lahir dari kedamaian dan kesunyian, ketenangan dan ketenteraman rahim ibu
Oek...ooeeek...aku lahir
Merah darah dan amis
Aku: saudara kerajaan Allah


13 Juni 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Kepada Teman


Pagi itu menyapa selembut angin menamparku
Selembut senyum merekah mentari pagi yang cerah
Melati di pojok rumahku milik tetangga
berayun salam seharum wangimu: aku haus

Pada peluh terakhir di setiap pagi yang meletih
putih melati menantang langit
Pada langkah demi langkah di pagi setiap hari
berlalu sampai nyawamu di ujung angin
Salammu seharum wangimu tiada pernah selepas itu
Antara teman dan kebutuhanmu kau katakan: keseimbangan


12 Juni 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Katakan: Tuhan Masih Ada


Di kisah yang panjang gubuk ini istana kami
Pada tanah leluhur yang loh jinawi
Dan, pada cerita pendek istanaku tak berbentuk
Tinggal kenangan yang menyayat
Mimpi yang membunuh
Seng, karton, papan, genting, piring menyatu berserakan tak dapat dieja

Di kisah yang pendek dan pada suatu titik
Meremukkan jumpa yang tertinggal di antara peluh dan asa
Melumatkan kisah hari ini, ini nasi tanpa laut
Termangu pada bahtera Nuh
Mungkin hari ini tak pernah baru, air menggenang di sepanjang zaman

Hari ini sisa
Mungkin hidup dan mungkin mati
Katakan: Tuhan masih ada
Tanpa mengeja karton, seng, tanah, piring
Pada kedamaian akhir tak terbedakan
Ini suci

Namun,
Kau pastikan dirimu menabur benih di kawasan tanpa nama
Yang kau sebut milik yang punya nama
Pada buku dan meterai namamu tak tertulis, tercatat pun tidak
Engkau orang asing
Dan, beranilah
Pastikan padaku: Tuhan masih ada


10 Juni 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Kamis, 20 November 2008

Bias


Jangan biarkan,
Genggamlah selagi dapat
Kebenaran dimisalkan dalam andaikan
Andaikan diumpamakan dalam remang-remang
Senja menanjak malam
Gelap
Kosong,
Tanganmu mendusta diri.

Jangan biarkan
Jeruji besi melingkari kebebasan
Mencampakkan kebenaran pada kekayaan
Menyerahkan hukum pada ketok palu yang tanpa nurani
Pada keadilan untumu yang mengerti rumahku reyot
Walau hukum, kebenaran, dan keadilan bias padamu.

Jangan,
Jangan gadaikan nurani demi mamon
Yang tanpan daya membangkitkanmu dari kubur
Anak cucumu remuk redam oleh warisan leluhur
Bias hukum, kebenaran, dan keadilan.
Tak terdefinisikan, satu pun tidak.

Cukupkan,
Ini untuk hari ini.
Hari esok ada waktunya sendiri.

16 Mei 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

RIP


Nyawa menggantung di pucuk nafas
tersengal-sengal mendaki bukit gersang
menggelepar kemarau gurun sahara
sekat ada dan tiada tanpa batas
mungkin di antara detik dan menit.

Merindu hidup di tepi asa
mengharap sekarat segera bangun
merangkak raih buih-buih nafas
menatang nyawa penuh sembah
di antara menyatu dan terpisah
tanpa bentuk dan nama

Meregang daya antara upaya dan tanpa
menyerah pasrah di pelukmu pertiwi
di susu ibu muasal kejadian
lahir putra benih sembahyang
laku suci tersurat dalam kitab:
”Kala Aku haus, kau beri minum.”
”Kala Aku lapar, kau beri makan.”


15 Mei 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Merindukan Mimpi


: Ella

Dadaku yang berkata di antara detak jam pada detik dan menit,
pada gelisah yang menyayat: di pagi, di siang, di petang, di malam,
pada asa nirbatas.
Kapan mimpiku lahir?

Pada lalu dan sekarang tak berupa,
tersket pun tidak.

Detik berjuta
walau menulis puisi, mengerjakan PR, menyelesaikan tugas:
matamu bulat bola hitam
menggelinding indah di puisi-puisi Gibran,
bersinar surya di pagi dan di senja.
Alismu lebat hitam legam bersinar
menggantung di langit-langit matamu
beraura lembut menawan, bibirmu merah pucat bergetar arah
menyapa gairah yang berkelana.

Bergetaran
perasaan b
erhamburan, berkejaran.

Aku: Ella.
Siapa kau?
Lelaki?
Siapa lelaki?
Tenang.

Mimpiku belum lahir.


03 Mei 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Sepuluh Ribu Rupiah


Siapa pun tangkap dia!
Perintah samar dan bayang-bayang
Mungkin provokator, kejengkelan, kemarahan,
pelampiasan, ketakberdayaan, ketakpercayaan,
keadilan dan kebenaran,
mungkin...

Kejar dan tangkap dia!
Tangan-tangan kita kuat dan bukan tangan-tangan mereka.

Kau? Berdiri di tepi kemegahan pembangunan dan perencanaan tata kota,
beratapkan program kesejahteraan dan kemakmuran.
Kau? Pagi-pagi yang sangat pagi ketika subuh keringat dan peluh bau rongsokan.
Siang: keringat dan kelaparan bau rongsokan.
Malam yang sangat malam uang dan makan rongsokan.
Tidur dan mimpi rongsokan.

Kejar dan tangkap dia!
Hukum harus ditegakkan.
Keadilan dan kebenaran harus dijunjung tinggi.
Harganya sepuluh ribu rupiah.
Ini minyak tanah, bensin, dan korek api.

Sunyi senyap: mulut-mulut ternganga, hati dan pikiran beku.
Ini rakyat. Kekuasaan di rakyat.
Rakyat bukan raja. Rakyat adalah suara bulat.

Upacara koran, majalah, tabloid.
Pencopet sepuluh ribu dibunuh dan dibakar.

Abu bertebaran ke mana-mana, di mana-mana abu berserakan.
Tanpa tempat. Terasing.
Aku sepuluh ribu rupiah bukan milyar bukan triliun.

Hukum tak terkejar.
Keadilan liar. Kebenaran tak tertangkap.


25 April 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Karena Dirimu


Karena dirimu, engkau tersenyum, engkau tertawa,
engkau bersenda gurau, engkau menyapa.

Karena dirimu, engkau cemberut,
engkau menakutkan, engkau marah.

Karena dirimu, engkau bahagia, engkau bergembira,
engkau bersuka-ria, engkau damai sejahtera.

Karena dirimu, engkau benci,
engkau dendam, engkau menderita.

Karena dirimu, engkau bersorak-sorai, engkau murah hati,
engkau mencinta, engkau berbelas kasih, engkau penuh kasih.

Karena dirimu, engkau bermuram durja, engkau cemburu.

Karena dirimu, engkau bercahaya, engkau bersuka cita.

16 April 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)


Puisiku Lahir


(untuk kakakku Sukalis)

Lahir di pagi hari seperti pagi kemarin,
di kamar tua dan tidak menarik.
Tembok, cat, meja, kursi, bed, dan tanah saksi.
Aku telah lahir.

Kepada bukumu, aku bertanya, ”Sudah berapa kali kau diperkosa?”
Baumu tak sedap dan pucat. Mandilah dengan lulur.
Kau tak memuaskan. Nilaimu d.
Di tetangga sebelah, kudapatkan yang montok dan kenes.
Aku baru lahir.

Kepada kursimu, aku bertanya, ”Kau masih senang dengan bokong hitamku?”
Aaaah..., sedetik saja kuangkat, kau sekarat.
Katamu, ”Jangan kau angkat, lengketkan saja!”
Ngos....ngoosss...
Tanpa daging, tinggal tulang.
Nilaimu c.
Di sudut gardu, kutemukan yang berdaging dan kenyal, perawan dan kencang.
Aku baru lahir.

Kepada tempat tidurmu, aku bertanya, ”Nikmatikah semalaman bersamaku?”
Nafsu besar, kau mengerang dan menjerit,
merintih dan mendesah.
Kreeket...kreeket...kreekeeeet...
Berhentilah bergoyang dan berhentilah berkreket.
Tak enak. Keras.
Punggungku sakit. Mimpiku jelek.
Tiada kepuasan bersamamu.
Nilaimu harus a.
Aku baru lahir

6 April pagi, seperti pagi kemarin,
seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibu. Merah darah. Amis.
Oeeekk...ooooeekk...
Aku telah lahir. Namaku Sukalis.

Di pagi hari seperti pagi kemarin.
Aku telah lahir.


6 April 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Menangkap Rasa


Suatu petang datang
menanyakan anak-anak manusia
Lihatlah dirimu!

Terdiam
menekuri jiwa yang hambar, remang dan kosong
Di langit dan di bumi
jauh amat jauh

Suatu petang menyapa suasan
me-Rohi anak-anak manusia
sedih tidak dan gembira pun tidak
ini mesti diselesaikan

Masa prapaska

Malam
teka-teki anak manusia melukis
angin dan menjaring cahaya
ini isyarat

Paska bukan menanti asa
Paska menangkap rasa.

12 Maret 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Senin, 17 November 2008

Demi Hidupmu, Lawanlah!



Hujan deras. Jatuh air hujan menjadi musik alam yang monoton. Dingin. Aku menganggur atas diriku. Sepi. Aku menghadapi diriku. Sungguh tak sedap dan tak enak.

Tahukah kau, aku rindu untuk bersamamu. Sungguh aku rindu. Rasanya, hujan di sore ini cocok untuk cengkrama kita. Mengusir sepi, sendirian, dan dingin. Hanya aku tidak tahu apakah kau seperasaan denganku. Aku tak mau bertepuk sebelah tangan. Pikiranku mencari pekerjaan.

Temanku, aku membuat keputusan untuk diriku: kutuliskan peristiwa di sore ini. Biarlah, peristiwa sore ini menjadi temanku, menjadi sahabatku. Aku menulis tentang aku.

Tak paham. Aku tidak mengerti untuk siapakah tulisanku. Apakah aku hanya mengadu dengan tulisanku atas rasa diri di sore ini? Pikirku ia untuk kertas, ballpoint, meja, kamarku, dan hujan. Cukuplah! la untuk alamku dan duniaku. Maksudku untuk diriku.

Temanku kekasih, tidakkah kamu tahu, mengalami peristiwa hidup ini menuntut diri untuk teguh, mawas diri, dan kuat? Asal kamu tahu, aku tak ingin hidupku sia-sia karena kelalaianku atas pengalaman hidup yang tidak dimaknai. Aku tidak mau jatuh ke dalam jurang kehancuran karena diriku sendiri. Untuk itulah, mawas diri, teguh, kuat, dan bijaksana diperlukan untuk mengambil langkah yang tepat, baik, dan benar demi diri dan hidupnya. Ini bukan egois dan bukan kesombongan. Kamu nanti akan tahu inilah yang disebut proses untuk menemukan diri dalam kerendahatian. Sebab akan kamu mengerti jika langkah dan atau keputusan yang tepat, benar, dan baik kauambil untuk dirimu akankah engkau mengambil keputusan dan atau langkah yang salah untuk sesamamu dan Tuhan? Aku yakin jika kebenaran ada dalam dirimu engkau akan bertindak benar juga di hadapan sesama dan Tuhan.

Baiklah aku akan kembali pada situasiku di sore ini. Aku jenuh, bosan, dan kesepian. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Mondar-mandir. Akankah aku melarikan diri atas kenyataan hidupku ini? Siapakah yang mau menelan pil jenuh, bosan, dan sepi? Apakah ini akibat kelalaianku saja? Atau ini akibat kebodohanku?

Aku mengendapkan peristiwa hidupku. Aku berproses untuk mengenal diriku. Biarlah ini kukatakan kepadamu. Aku mau jujur saja. Orang yang mau mengalami dirinya akan menjadi dewasa, matang, teguh, dan semakin menjadi manusia sebenarnya. Orang itu berkembang dalam hidup, batin, dan rohani secara mendalam. Orang itu akan mengenal dirinya, sesama, lingkungan, dan Tuhannya. Orang itu dapat dipercaya dan diandalkan karena ia jujur terhadap dirinya. Jika ia jujur terhadap dirinya, apakah ia akan menipu orang lain? Tidak! Orang itu bukan hanya mengenal diri, sesama, lingkungan, dan Tuhannya, tetapi akan menemukan diri, sesama, lingkungan, dan Tuhannya. Orang itu berjalan dalam terang dan membawa terang. Terang itu bukan hanya miliknya, tetapi menjadi milik banyak orang. la menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia milik dirinya, tetapi ia tahu lingkungan juga memilikinya. Terang itu menjadi milik semua orang.

Temanku kekasih, berjuang melawan kemauan yang tak teratur, kemalasan, dan tantangan yang melumpuh diri adalah berjuang melawan diri sendiri. Melawan diri sendiri adalah perjuangan yang sangat berat yang dialami setiap manusia. Tidak semua orang sudi melawan dirinya. Ini menyakitkan! Tetapi benarkah orang harus melawan diri sendiri? Menurutku, kita mesti menjadi raja atas diri kita. Bagaimana aku dapat meraja atas hal yang lain, jika aku tidak dapat meraja atas diri sendiri? Bagaimana aku dapat memimpin, jika aku tidak dapat memimpin istanaku yaitu diriku sendiri?

Aku tidak bermaksud untuk mengatakan kepadamu bahwa kita ini terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berdiri sendiri. Ada kerajaan pikiran, hati, dan perasaan. Tidak begitu maksudku. Akan tetapi, akan terjadi bahwa pikiranmu berjalan ke utara hatimu berjalan ke selatan. Ini namanya tidak serasi. Mungkin kamu akan stres, tidak dapat konsentrasi, dan akhirnya kamu tidak utuh. Dirimu terpecah-belah atas dirimu sendiri. Ini berbahaya! Nah, inilah maksudku kamu harus menjadi raja atas dirimu.

Sore ini masih hujan. Aku menemukan hujan, menemukan sepi, menemukan bosan, menemukan lingkungan, dan pada akhirnya, aku menemukan aku. Aku tidak lari ke mana pun. Aku mau setia bersama diriku meskipun bosan, jenuh, dan kesepian. Bagaimana aku dapat setia terhadap hal lain, jika aku tidak dapat setia terhadap diriku? Bagaimana aku dapat tekun berjuang jika aku tidak tekun dan setia terhadap diriku? Bukankah ketekunan dan kesetiaan akan menghasilkan buah yang melimpah?

Pikirku aku telah menjadi pahlawan bagi hidupku. Aku mencintai diriku. Tidak! Tuhanlah yang mencintai aku untuk mencinta diriku, sesama, dan Dia. Teman, tiada yang lebih indah selain aku menyadari rahmat-Nya atas segala kejadian dan pengalaman yang dianugerahkan kepadaku. Aku yakin Dia berbicara dengan diriku melalui pengalaman dan kejadian itu. Untuk itulah sudah sepantasnya aku bersyukur kepada-Nya.


02 Maret 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Sabtu, 15 November 2008

Kisah Sang Guru Dan Murid



ilmu dan sesama

Dengarlah kisahku:
Pada suatu waktu yang telah berlalu, aku dididik dan dibimbing oleh sang Mpu Ilmu. Wejangan dan tempaan terus-menerus mengisi aku yang hidup pasrah atas kehendak Yang Maha Atas, bekerja keras, dan berdoa. Kata sang Mpu, ”Nak, ilmu tersedia di alam bebas. Ilmu mengalir bersama dan dalam air mengalir. Ilmu berhembus bersama dan dalam angin. Kematianlah yang menghentikan belajarmu.” Aku menaruh hormat pada sang Mpu. la bijak laksana Salomo dan kusebut suci.

Dalam kisah, aku murid yang dulu merangkak, berdiri tertatih-tatih, kini berdiri dan duduk, bersila dan bersujud bersama sang Mpu. Sang Mpu membuka hati, budi, roh, dan badanku yang sekarang lebih perkasa dari Sang Mpu yang telah bungkuk. Aku minta tolong dengan segala hormat dan rendah hati. Pada saat itu, aku mulai mengulum bibirku yang kering, pahit, manis, kecut, dan masam. Pundakku terasa berat dan jalanku tertatih-tatih sempoyongan. Ototku mekar. Sang Mpu membantu membentuk aku. Pada saat itulah aku merasakan adanya perubahan.

Pagi, siang, petang, dan malam Sang Mpu seperti tak mengenal lelah mewejangku. Suaranya berat. Tertunduk menantang bumi. Alam sebagaimana aku selalu rindu mendengarkan ajarannya yang bijak penuh cinta. Kini Sang Mpu telah sangat tua. Suaranya sangat serak dan parau. Tidak jelas. Berdiri tak mampu. Bergerak pun serasa enggan. Aku sang murid mati-matian membahasakan serak suaranya dan geraknya yang lambat dan halus. Aku tak ingin kehilangan ilmu darinya. Suatu saat pertentangan batin telah semi bersama keringat yang terus mengucur semakin deras, ladang-ladang hati yang haus dan kering. Berseminya bibit manusiawi sang murid terasa tumbuh.

Tahukah engkau tentang bibit-bibit itu? Bibit itu adalah sabda Sang Mpu yang kurenung dan kuselami ketika kitab Sang Mpu dibacakan dan sang murid menerjemahkan ke dalam bahasa bumi yang jujur dan polos. Mengapa? Sang Mpu mengajar dalam bahasa para malaikat dan bertindak dalam ilusi sang nabi. Kata sang Mpu, ”Nak, tiada sekat di antara kita. Nak, tua dan muda adalah ukuran yang kita kenakan. Nak, Sang Mpu dan murid itu sebutan kita saja. Semua adalah sesama. Inilah inti hidup kita. Karena kita berasal dari satu sang pencipta yaitu Sang Hyang Wasa.”

Sang murid berkata, ”Mpu, lihatlah di sana! Itu bos. Itu bawahan. Itu pemimpin. Itu anak buah. Itu majikan. Itu buruh. Itu rakyat. Itu kere. Sementara itu, Mpu mengatakan bahwa kita sesama. Kita satu ciptaan. Kita tanpa sekat. Ini struktur apa, Mpu?” Kata Mpu, ”Nak, Sang Yang Jagad Suci memberikan ciptaan-Nya kepada semua. Semua menjadi pengelola. Atas kemauan manusia, manusia menciptakan tatanan dunia manusia. Aku ingin mengajakmu untuk kembali berpikir atas pikiran Sang Pencipta. Kau akan kembali kepada sang Pencipta, bukan kepada manusia. Di dalam Sang Pencipta, engkau menemukan hakekat ciptaan dan sesama ciptaan. Di sana akan kau temukan arti hidupmu yang bebas dan menemukan inti kebebasanmu. Karena kamu menemukan inti kebebasanmu kamu juga akan menemukan sesamamu yangjuga bebas. Dalam kebebasan itu, manusia merdeka terhadap hidupnya, atas kehidupan yaitu hidup di hadirat Pencipta. Hidup di hadirat Pencipta berarti hidup di dalam sinar dan terang Pencipta. Jika demikian, hidup dalam kebebasan, terang dan sinar sang Pencipta adalah hakekat kebebasan ciptaan yang hidup di hadirat-Nya. Nak, kecerdasanmu menangkap ilmu Mpu membebaskan engkau dari kepicikan. Kamu katakan: ini bos, ini bawahan. Jika ini suatu keserasian hidup untuk berkembang bersama dalam hadirat-Nya perlakuan sebagai bos dan bawahan bukanlah perlakuan dunia yang terjadi tetapi perlakuan sebagai sesama ciptaan yang bakal terjadi. Nak, sebutan kere dan rakyat, kaya-miskin tidak ada jika mereka memandang dan hidup dalam terang Sang Pencipta. Karena Sang Pencipta adalah sang adil, tentram, damai, dan sejahtera. Keserasian dan keseimbangan adalah Dia.

Dan, hal ilmu aku ingin menyampaikan pesan untuk kamu olah. Adakah harta yang tidak akan binasa? Harta yang tidak binasa itu harus kamu temukan dalam hidupmu, bukan dalam hidupku. Harta itu tidak terpendam dan tidak tersembunyi, tetapi ada di setiap kamu berada. Masalahnya adalah apakah matamu melihat atau tidak, tanganmu dapat menggenggam atau tidak, hati-budi-rasamu dapat menangkap atau tidak. Ini hal biasa dan bisa menjadi tidak biasa. Akankah kamu berpikir aku akan bermimpi dan dalam mimpiku aku berhasil menangkap inti sejati cinta? Itu dalam mimpi. Nak, inilah ilmu yang tidak akan musna yang Mpu punya. Tapi ingat Mpu sesamamu yang lebih dulu hidup saja.”

Sang Mpu telah tiada. Di atas makamnya tumbuh bunga melati dan mawar yang setiap saat mekar. Murid berziarah atas hidupnya. Sang murid adalah murid dari murid-Nya. Kini murid itu tumbuh dewasa di setiap tempat. Murid itu adalah aku dan kamu.


Februari 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Melatiku



Ketika langkahku sampai di ujung taman bunga, angin lembut membawa bau harum melati yang menyampaikan salam atas langkahku yang pasti. Kutelusuri. Kucari di manakah melati yang salamnya sampai padaku. Melati, kau sepertinya tersenyum merayuku yang rindu pada kekasihku. Kau mengingatkanku pada asmara kami yang tertunda oleh waktu. Aku mengendus baumu atau akankah aku mengendus melati yang semilir oleh angin rindu?

Kutemukan kau, melati. Aku terpana memandangmu. Seakan kau adalah melati dalam mimpiku bulan yang lalu. Persis. Aku tidak mimpi di senja ini, kan?

Senyummu kau tebarkankan di redup senja ini. Matamu menatap lembut menundukkan senja semakin malam. Kini, aku menangkapmu di ujungnya ujung taman tanpa berontak. Pasrah.

Melati, aku hanya tamu yang tanpa sengaja singgah. Aku peziarah yang membaca nuraniku di sepanjang jalan. Dan, angin membawamu padaku. Tidakkah kau tidak menjual dirimu? Lambaian tanganmu menjawabi aku. Melati suci tak pernah dusta diri.

Aku menebar senyumku di setiap waktu. Aku menyapa pada setiap ciptaan. Aku tidak melacurkan diriku. Hanya aku tahu aku bukan untuk diriku sendiri. Aku untuk yang menyirami aku, untuk yang memetik bungaku, untuk yang membuang puntung rokoknya ke rumahku, untuk yang mengumpatku, untuk yang mengejekku, dan untuk yang menamparku. Aku untuk yang kemarin malam diteriaki maling dan untuk yang meneriaki rampok. Akankah aku kau katakan aku ini pelacur?

Tertegun kumemandangmu. Dan dari senyummu, aku tidak menemukan cerita cinta kita saja. Kau milik bagi yang memiliki. Sungguh kau merdeka. Aku menerima apapun yang datang padaku. Aku menjawabi mereka dalam kehendak bebasku yang tulus. Aku hanyalah keterbukaan, termasuk terhadap olokanmu, apalagi cintamu. Datanglah di setiap waktu. Mampirlah di setiap perjalananmu. Nikmatilah di setiap perjumpaan kita.

Melati, aku mencari cintaku, karena aku rindu. Aku ingin bercakap karena aku kekasihnya. Aku ingin selalu berjumpa karena kangen. Aku ingin bersua karena aku membutuhkannya. Sungguh, hari-hariku ingin kulalui bersama cintaku. Tak peduli apakah sedang sakit, sehat, berduka, bergembira, senang, dan menderita. Ternyata, melati yang ayu kau adalah kekasihku.


23 Februari 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Kamis, 13 November 2008

Ayam Jantan Wiring* Kuning



Sore itu, 23 Desember 2001, aku dan bapakku menyaksikan suatu acara dalam TV Indosiar. Bapakku duduk di sebuah kursi dan aku duduk di tikar di depan bapak di samping timur. Ruang kecil tempat rekreasi keluarga kami. Sebuah TV Konka Sharp yang cukup besar berada di ruang itu. Kami bercakap-cakap ke sana-ke mari dengan sesekali menyaksikan acara di Indosiar.

Awal percakapan kami adalah tentang padi. Padi tanaman bapak di sawah belakang dusun. Padi Sari Wangi pemberian Rm. Joko telah ”meteng nom”.
”Rm. Joko itu mempunyai perhatian yang besar kepada umat, terutama petani. Beberapa tokoh umat diberi bibit Sari Wangi, di antaranya bapakmu. Aku tidak tahu, kok diberi. Sekarang yang ditanam itu yang hari Minggu lalu kamu semprot ulatnya. Aku senang. Padi itu bagus dan subur, lebih ’genjah’ dari 64,” kata Bapak.
”Kalau begitu, Rm. Joko disenangi umat, ya Pak!” kataku pada Bapak.
”Ya!,”, jawab Bapak pendek.
Lama kelamaan kami larut dalam percakapan. Ini kangen-kangenan kami. Sharing dan cerita kami. Rasanya semakin hangat dan mesra saja. Maklum sudah cukup lama aku tidak bertemu Bapak sejak tahun 1999 lalu. Kulihat Bapak menerawang jauh di atas TV. Seakan-akan ia mengingat sesuatu di masa lalu. la menghembuskan napas pelan dan memperbaiki posisi duduknya. Aku memandanginya dalam-dalam. Bapak tampak semakin tua, keriput pipinya tampak sekali, kerut dahinya menambah ketuaannya. Namun, rambutnya tetap hitam legam. Katanya, ia mempunyai doa khusus untuk rambut itu. la tetap tegas dan bijak. Penduduk desa segan dan hormat pada Bapak karena kebijaksanaannya.
”Aku ingin bercerita tentang kamu,” kata Bapak memecah keheningan. Aku terbangkitkan dari kekosongan.
”Tentang apa, Pak!,” tanyaku.
”Mengapa kamu dulu tidak boleh masuk tentara. Ini ada sebabnya. Aku ingin menceritakannya. Kamu biar semakin jelas,” kata Bapak mantap.
”Baiklah! Bagaimana ceritanya, Pak!” kataku sambil membenahi posisi dudukku. Aku sungguh tertarik untuk mendengarkannya. Berceritalah bapak kepadaku.
”Dulu sebelum kakak-kakakmu lahir, aku selalu mimpi. Aku mimpi mendapatkan burung. Maryuli burung Perkutut. Narlim burung Jalak. Mimpi itu kurenungkan. Pasti ada maknanya. Burung perkutut itu banyak dipelihara orang karena indah dan merdu suaranya. Ada kekuatan magis pada burung itu, menurut kepercayaan orang Jawa. Begitu pula burung Jalak. Indah, merdu, dan rumahan burung itu. Pastilah anak perempuan yang dikandung ibumu itu. Dan, benarlah demikian. Burung dalam mimpi itu aku tangkap sebagai wahyu. Wahyu yang memberikan tanda bahwa anakku akan lahir perempuan. Gusti Allah berbicara dalam mimpi itu. Wahyu itu juga aku terima ketika ibumu mengandung kamu. Begini ceritanya.” Bapakku memperbaiki posisi duduknya, mendehem dan mengangkat wajahnya.
”Waktu itu, dalam mimpi, aku berjalan di suatu pegunungan. Jalannya menanjak tinggi. Sungguh tinggi. Aku terus berjalan dan pada akhimya aku sampai pada puncak gunung yang tinggi itu. Di puncak itu kulihat sebuah rumah tua dari bambu dan di dalamnya ada seorang kakek tua berjenggot panjang dan berambut putih. Aku dipersilahkan mampir dan masuk. Aku diberinya segelas air. Sungguh segar dan sejuk. Di halaman rumah depan, kulihat seekor ayam jantan muda berwarna wiring kuning dalam kurungan yang terbuat dari bambu. Ayam itu trondol. Bagus dan menarik. Orang seperti begawan itu mengatakan kalau ayam itu untukku. la berkata berupa pesan, ’Peliharalah! Biarlah ia ada dalam kurungan. Jangan kamu lepas. Kalau kamu lepas, nanti liar dan berbahaya. Nanti menjadi besar. Apa kamu sanggup memeliharanya?’ Aku menyanggupi permintaan begawan itu. Aku mengingatnya selalu. Pesan itu tak kulupakan. Ayam jantan muda wiring kuning trondol aku bawa pulang. la aku kurung.”
Bapak terdiam sebentar. la mengingat sesuatu yang akan dikatakannya. la menerawang jauh ke dalam dirinya. Sementara itu sore semakin gelap. Neon kuhidupkan. Cahaya TV dan neon menjadi satu dan terang. Aku mengingat-ingat semua cerita Bapak. Aku mencoba memahaminya.
”Cerita ini ada kaitannya dengan hidupmu,” sambung bapak, ”mimpi itu aku tangkap sebagai wahyu sebagaimana mimpi pada kakak-kakakmu. Ayam jantan wiring kuning trondol, gagah, gede, bagus. Ini tanda bahwa aku akan mendapatkan anak laki-laki. Itu benar! Ibumu melahirkan kamu. Laki-laki. Lahirmu seperti lahirku di Rabu Legi. Kamu semakin besar. Kamu ingin menjadi tentara. Aku ’lelimbang’ bukan tentara bersenjata ’bedil’. Kamu tidak akan menjadi tentara. Aku tidak setuju. Kamu harus dikurung supaya tidak liar dan tidak berbahaya. Aku menangkap makna dikurung: artinya hidup di dalam biara. Dikurung itu artinya hidup membiara. Sebab itulah aku tidak setuju kamu menjadi tentara. Begitu juga ibumu. Aku sadar kamu tidak dapat kupegang sebagai milik pribadi, milik keluarga. Kamu milik banyak orang. Tetapi, aku rela dan bersyukur dapat menepati janjiku. Waktu itu sore hari seperti ini, kamu mengatakan kalau kamu ingin masuk bruder. Aku tidak berpikir banyak, langsung setuju. Aku memberi restu. Ini kulakukan karena wahyu itu. Aku janji ayam wiring kuning itu harus dikurung. Artinya harus dipersembahkan kepada Gusti Allah. Aku tidak berkeberatan.”
Bapak berhenti sejenak dan batuk kecil. la mengusap mulutnya dengan jemari tangan kanannya. Aku larut dalam emosi dan rasa cerita bapak. Aku mulai melihat perjalanan hidupku. Aku mengangguk.
”Mengapa Ibu juga tidak setuju kalau aku jadi tentara?” tanyaku.
”Ibumu trauma. Dulu sering melihat tentara latihan. Lari, merangkak, ditendang, dipukul, perang. Ibumu tidak tega, apalagi kamu anak laki seorang. Ibumu takut kehilangan kamu,” jawab bapak.
”Mengapa aku boleh jadi bruder?” tanyaku lagi.
”Ibumu ikut aku. Selanjutnya, ibumu melihat hidup Bruder Al. Marmo yang baik, sabar, dekat dengan umat, bijaksana, dan suci. la menjadi tidak berkeberatan kalau kamu jadi bruder. Aku selalu berdoa untukmu. Kamu ’ginaris’ sebagai biarawan,” jawab Bapak mantap.
Aku menghela napas panjang. Seluruh perasaanku tertuju pada cerita Bapak, pada diri Bapak, pada diri Ibu, dan pada diriku sendiri. Aku menyelami diriku. Cerita Bapak sungguh aku dengarkan. Aku tak ingin kehilangan cerita ini. Mataku berkaca-kaca.
”Terima kasih, Pak!” kataku dalam hati. Aku telah berziarah bersama cerita Bapak. Bapak menunjukkan cintanya padaku dan menjadi nabi bagiku.


30 Desember 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

*WIRING: Bulu ayam bangkok jantan yang paling populer dan berkelas adalah warna wiring. Corak warna ini adalah terdiri dari warna dasar hitam dengan bulu rawis leher dan rawis ekor berwarna kuning kemerahan. Jika warna rawis yang dominan adalah kuning keemasan, maka disebut sebagai WIRING KUNING. Jika warna rawis cenderung merah tua kecoklatan disebut WIRING GALIH.

Rabu, 12 November 2008

Milikilah Dirimu


(untuk sahabatku, Ane yang mencari jati diri)

Senandung kedamaian kulagukan dalam keheningan alam yang menyelimuti kesendiranku.
Aku bersama diriku. Aku memiliki aku.

Dalam angin yang berlalu dariku, kudengar salam perpisahanmu.
Aku harus pergi walau istana itu telah kubangun sejak lalu.
Harapan harus selalu tumbuh dan harapan itu masa depan.
Aku yakin suatu saat nanti kau akan mengerti ini. Asaku, kita mesti bertemu kembali.

Sahabat, keinginanmu bukan milikku.
Keinginanku bukan milikmu.
Sepenuhnya engkau adalah milikmu.
Yang kumengerti dunia ini tempat kita. Ia tak akan pernah lari.
Sahabat, sejak roh-Nya ada padamu engkau telah memulai dan merangkai kasihmu.
Tidakkah engkau mengenal kisahmu ini? Kini harus sadar, kisah itu milik kita.

Setialah, ya setialah. Aku melihat jalanmu berliku. Luruskanlah!
Tidakkah engkau akan membangun istana baru lagi?
Peganglah keyakinanmu dan berjuanglah! Hidupmu harus disusun di atas harapan dan keyakinan. Kencangkanlah perjuangan tanpa kenal lelah dan minumlah selalu air iman yang tiada pernah kering.
Dan, cintailah dirimu dan diri-Nya. Aku melihat, engkau terpuaskan oleh harapanmu dan harapan-Nya. Percayalah dirimu milikmu, bukan karena aku, tetapi karena Dia dan kamu.

Aku melihat nama kejayaan di setiap bidang dan ruang.
Dan, kini semuanya tergantung padamu.


Juli 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Violin Kekasih


Violin menyanyikan lagu kedamaian dan menari lembut dengan gerakan cinta ilahi. Violin membuka hati lebar-lebar dan menangkap sunyi di alam percintaan. Aku larut lebur bersamanya.

Engkau, sang Violin menerbitkan cinta di antara waktu ke waktu dan alam ke alam; menebarkan ketenteraman dalam dunia yang diliputi peperangan dan kemelaratan, kepedihan dan kegembiraan. Aku setia menantimu.

Gema violin kini tiada. Kerlap-kerlip bintang suram. Aku menggambar violin kekasihku demi kemerdekaan jiwa dan kebebasan anak-anak zaman. Violin, di manakah engkau?

Aku meratap rindu, oh violin. Lihatlah, ayo lihatlah! Tidakkah engkau kangen dengan dendangan nyanyian anak-anak bumi yang hendak terbaring dan tidur? Mereka kin kesepian. Hati mereka pedih. Dan aku hanya menggambarmu dalam angan, oh violin. Ini tidak mengobati mereka. Ini hanya melelapkan mereka di pembaringan. Esok hari tiada yang tahu mungkin perang dan mungkin tidak, mungkin gembira dan mungkin sedih. Harapan semakin kabur. Violinku, kini kau semakin samar.

Violin, kuingat janjimu. Di sepanjang dunia, cinta berhembus di setiap lorong dan makhluk-makhluk merengkuhnya, anak-anak bumi tak akan pernah musnah oleh perang, pembunuhan, dendam, kebencian, tetap kegelapan diubah menjadi terang dan dendam menjadi cinta.

Janjimu, oh violin, tambatan bagi hidup kami.

Mei, 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Menangkap Rindu


Alamku sepi. Kerajaan sunyi melingkupiku. Aku berkata-kata dengan jiwaku. Aku berbagi rasa dengan aku. Yang hanya aku dan alam yang luas. Aku raja baginya.

Di suatu titik alam itu, kudengar suara deru angin memanggil aku. Dan, ia menyanyi, menari, dan melenguh. Aku terpana. Pada suatu titik itu, aku tersenyum penuh kedamaian dan menyapu jiwaku yang lekat rekat suram. Yang ada hanya kedamaian. Aku menemukan hakekatku.

Langkahku ringan dan bagaikan terbang. Tanpa berat. Kutelusuri alam ketenangan dan ketenteraman. Tanpa bising. Jiwaku menangkap rindu yang telah lama terpenjara oleh angkara dan nafsu. Nyala kehidupan dan cinta menyembur sempurna. Tiada peperangan. Tiada kebencian, apalagi permusuhan. Tiada kemelaratan. Jiwaku memeluk rindu alam rahmat yang melayang-layang di alam perdamaian. Aku menguliti baju pembunuhan, dendam, cemburu, nafsu, kemelaratan, kerakusan. Peluhku peluh jiwa yang menyanyikan lagu kerinduan persahabatan dan persaudaraan.

Pada saat bersamaa, alam itu menangis menyakitkan. Peluh darah merah mengalir ke dataran, daratan, dan lautan. Terasa panas. Sungguh panas. Alam pun sepi dan kering dari semuanya. Terdengar sayup-sayup suara dari tengah belantara, ”Tolong beri aku segelas cinta.”

Aku tiada punya apa pun selain aku. Kukatakan padanya, ”Ini aku.”


Mei 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Rindu Sunyi (untuk Ella)


Menantang rindu semakin dalam
Di hati gelisah menyayat raga
menanti hari di pucuk senja
tumbuh asa esok pagi

Walau lalu telah mati
bekas masa tak terkubur
tumbuh seribu di hari-hari
masih berkata-kata sampai kini
mestilah jujur saat nanti
jangan pergi sampai mati

Nanti kunanti
dalam remang kuingin pasti
masih memegang kata tak terpegang
hati selalu berkata
kau ku nanti sampai mati

Dalam kesunyian
Aku menggambar engkau dalam bayang-bayang hati yang rindu
semakin menarik untuk dilirik
semakin kentara ketika kugantung di langit-langit
Duniaku dan duniamu di atas keinginan kita
Kita dalang dan wayang.

Maret 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Kutitipkan Pada-Mu (untuk sahabatku yang berkesusahan)


Nyanyian pujian para Santa Monica heningkan hati yang resah.
Berlutut suasana sembah.
Demi kedamaian.
Terbukalah tabir jiwa yang gundah.

Lesung pipi dan mata teduhmu menyirami hati kosongku
Dalam cinta yang terpendam dalam.
Kini redup dan pudar.
Untukmu saja dirimu kurang.

Nyanyian para Santa Monica mendayu merdu di bilik-bilik jantungmu
Mengalir teratur mengantar sujud di altar
Yesus tergantung menghujam diri
mencekik nurani dalam-dalam
dalam telut sujud merunduk tunduk kepedihan tak tersembunyikan.

Bila kupandang langit-langit gereja
kautulisi berlembar-lembar cerita tentang derita yang panjang.
Hati dan rega terlalu berat kubawa
Kutitipkan pada-Mu yang tergantung di salib
Peliharalah dan rawatlah
Suatu saat nanti kembalikan dan aku menjawab

Sejurus senyum adalah hari ini.
Hari esok kutitipkan
Pada-Mu yang tergantung di salib.


Februari 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Kepalsuan Cinta


Wahai rembulanku
tutur sapa dan lembut lenggokmu,
membakar janjtun hatiku yang lama tiada bersua,
yang berharap penuh rindu kembalimu.

Hembus lembut angin malam,
mengipasiku yang lelah bersandar dalam bayang-bayang ilusi.
Bayang kemesraan,
cinta dan harapan musna dala tangan nuranimu.

Tutur sapa, lembuh lenggok, dan senyum renyahmu
hanyalah mimpi-mimpi dalam keremangan tidur malam
yang tak berupa
tersentuh pun tidak.

Rembulanku
janji, harapan, dan cinta,
hanyalah kata yang teruntai dalam jiwa-jiwa yang tanpa telut sujud pada sang Ilahi.
Kosong dan hampa. Telukis pun tidak.

Rembulan pujaanku siang dan malam,
atas nama cinta
dusta, benci, dan dendam
kau katakan ini surga kita.


Februari 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Dengan Cinta


Senyum dan tawa adalah dunia
Lembah dan gurun pasir
menghijau dan bunga-bunga bermekaran
Musik dan lagu mengalun serasi
angin sepoi-sepoi kasih

Tetes-tetes embun mengalir
di musim kering kerontang
Kerinduan yang dalam berhembus di siang dan malam
Humor renyah dalam penderitaan dan kemelaratan
Pesta dalamt ujh hari tujh malam
Obat mujarab dalam segala
rupa kehidupan

Cahaya ilahi tertebar dalam segala penjuru
Yang tak mungkin
menjadi mungkin

Dan...
bangsa rukun dengan bangsa
masyarakt bangsa adalah satu saudara
bahasa kami adalah cinta dan kasih

Bangsa pun tanpa tentara


Februari 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Tanpa Cinta


Benci
Dendam
Permusuhan
Peperangan
Pembunuhan
Kekacauan
Kehancuran
Kemusnahan
Pilu
Suram
Derita

Februari 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Tanda Tangan Cinta


Kedamaian
Ketenteraman
Kesejahteraan
Kebersatuan
Keserasian
Persaudaraan
Kasih
Suka cita
Dan inilah tanda tangan cinta

Februari 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Selasa, 11 November 2008

Cinta


Jawablah sapaan keringku
Mengerlinglah mata damaimu
Siramilah hati galauku
Terangilah lorong-lorong suram hidupku
Tuntunlah aku di hari akhirku

Cinta...
Jadilah hidupku

Februari 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Pengantar


Aku temukan catatan-catatan milik kawanku ini berserak di antara tumpukan buku dan kertas yang harus kutata. Aku hidup bersamanya. Aku pernah mengenalnya, meski tidak mendalam. Oleh karena itu, aku ingin mengenangnya lewat tulisan-tulisan yang ditinggalkannya. Barangkali, dia tidak akan pernah berpikir bahwa tulisan ini akan kutemukan. Barangkali dia tidak rela jika tulisan ini akan dibaca oleh siapa saja. Dengan segala kerendahan hati, aku hanya ingin meminta maaf jika aku terlalu lancang memuatnya di halaman ini.
Sebagai suatu pengantar, aku ingin memuat pengantar tulisannya di bawah ini.

"Saya yakin bahwa hidup manusia mengalami perkembangan baik meliputi jasmani, rohani, emosi maupun kecerdasan. Arti perkembangan yang saya maksud mengandung dua segi yaitu perkembangan yang positif dan perkembangan yang negatif. Perkembangan yang positif berarti manusia berkembang ke depan, lebih maju, dan lebih baik dari masa lalu. Perkembangan yang negatif dapat diartikan sebagai kemunduran hidup manusia. Namun demikian, saya yakin bahwa pada saat-saat tertentu manusia mengalami keadaan, situasi, dan kejadian hidup yang sulit dan dalam kesadaran yang rendah. Keberadaan manusia yang terkungkung oleh hal di atas menyebabkan manusia berada dalam keadaan kritis, manurun, dan bahkan sekarat akan jasmani, rohani, emosi, dan kecerdasannya. Ini juga saya rasakan pada saat-saat tertentu. Sungguh suatu pengalaman yang tak mengenakkan dan pahit. Apalgi saya hidup bersama dengan orang lain yang membentuk hidup bersama dan berkomunitas.

Tulisan saya dalam buku ini merupakan sejarah hidup saya yang sadar akan keberadaan dan keadaan saya. Saya juga sadar sebagai manusia yang dapat mengalami perkembangan secara positif dan negatif. Kesadaran ini membawa saya pada pengakuan saya pada eksistensi hidup saya dan orang lain. Buku ini merupakan buku pribadi. Katakan saja sebagai buku harian saya. Namun demikian, buku ini saya buat sedemikian rupa, sehingga dapat dibaca oleh banyak orang walaupun tidak dimaksudkan untuk itu. Buku ini merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan harian saya yang saya tulis dalam dua file yang berbeda. Maka, dalam buku ini akan dijumpai tulisan yang berbunyi: disarikan dari file lain. Walaupun demikian, tulisan dari file lain itu tidak mengalami perubahan apa pun.

Oleh karena kasih dan rahmat Allah, buku ini dapat saya selesaikan sebelum Natal dan sebelum ulang tahun saya sebagaimana yang telah saya rencanakan. Catatan harian (buku) ini merupakan buku ketiga yang saya buat seperti tahun lalu. Atas kebaikan-Mu, ya Tuhan, aku bersyukur dan menyembah-Mu. Amin. Yogyakarta, 18 Desember 2002. Supratiknyo."

Selamat menikmati tulisan-tulisan kawan saya ini.