Jumat, 29 Mei 2009

Sepinya Seorang Kawanku!


Seorang kawanku menuliskan demikian, ”mataku masih sembab”. Kemudian, dibalaslah ungkapan yang ditulis di dindingnya itu oleh beberapa kawan-kawannya dengan berbagai ungkapan.
”Cup, cup! Jangan nangis!”
”Wualah..! Gak usah ditangisi to, Mbak! Aku gak apa-apa koq...! Tuh, jadi sembab kan?”
”Wah, jangan-jangan, gara-gara dengar lagunya Olga yang berjudul ’Hancur hatiku’! Ya ta? He...he!”
”Jangan nangis mulu, ah! Udah gede juga!”
”Ini kok nangis melulu, to?”
Kemudian, kawanku itu membalas.
”Aku udah gak nangis kok, hanya kenapa mataku masih sembab.”
”Saat sepi ada dalam kalbu dan tak ada siapa pun yang bisa membuat sepi itu jadi ramai, yang terjadi hanya sebuah tetesan air mengalir. Miss u so much girl!”
”Aku kangen sama kamu! Ketemuan, yuk!”
”Entahlah...! Sepi atau ramai, perasaan ini sama saja. Hanya mukjizat yang mampu membuat semuanya menjadi indah, sehingga aku tak akan pernah menangis lagi!”
”Thanks for your care for me. GBU.”
Didera dan ditelikung kesepian itu benar-benar menyiksa. Ada keramaian di sekitarku, namun aku tak mampu larut dalam keramaian itu. Aku seperti tersingkir dalam arus deras keramaian. Tersingkir, tersisih, namun tak terasa jauh! Ketika mendengar suara tawa dari orang lain, yang muncul justru perasaan tertusuk pedih. Mengapa mereka dapat tertawa, sedangkan aku tak bisa?

Itulah sebabnya, aku begitu mudah lari dari kesepian ke keramaian. Meski, jik aku kembali berada dalam kesendirian, kesepian itu menyergap lagi. Apakah kesepian itu musti dihindari? Apakah kesepian itu musti hilang dari muka bumi ini?

Menurutku tidak, Kawan! Kesepian itu ada karena manusia telah mengalami sebuah perasaan yang akhirnya diberi nama kesepian. Kenyataan ini, mau tidak mau harus tetap diterima. Dari pengalaman, muncullah pernyataan bahwa seseorang yang mengalami “sesuatu seperti dicabut dari segala yang serba ramai” adalah kesepian!

Lainnya, kesepian memang tak harus hengkang karena dari situlah manusia bisa menyelam ke dalam dirinya. Manusia bisa benar-benar mengerti bahwa dirinya adalah makhluk yang seperti ini, ciptaan seperti itu, dan pribadi yang menjadi begini.

Terakhir, dengan kesepian, manusia bisa menerima kehadiran sesamanya. Thanks for your care! Perhatian! Sebuah perhatian akan begitu terasa berharga manakala manusia sedang disergap kesepian dan sesamanya mau peduli!

Kapan mukjizat itu bisa terjadi? Entah, Kawan! Aku tak pernah mengharapkan sebuah mukjizat, karena di setiap hariku, selalu ada banyak peristiwa yang pada akhirnya menggiringku untuk memahami bahwa itu semua ada mukjizat!***

Mei, 2009

Selasa, 12 Mei 2009

Rindu.... Seperti Apakah?


Selama aku masih bisa bernafas
Masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tau lagi
Engkau ada di mana
Dengarkan aku, ku merindukanmu

Merindukanmu? Rasanya asing sekali kata itu hinggap di dalam hatiku. Merindukanmu? Bagaimana aku bisa merindukanmu? Sedang aku masih saja selalu sangsi apakah aku bisa mempunyai perasaan cinta? Kadang aku bertanya pada diri sendiri: Cinta yang seperti apa yang sebenarnya aku rindukan? Cinta yang senyata apa yang ingin aku rasakan?

Aku masih bernafas! Aku masih sanggup berjalan! Aku pun masih selalu memujamu. Memuja kelebihanmu! Memuja kekuatanmu! Memuja kepintaranmu! Meski aku tahu keberadaanmu! Meski aku tahu bahwa engkau berdiri di sana! Meski aku tahu engkau berjuang di sana! Namun...

Mengapa aku tak bisa merindukanmu?
Sering aku bercanda dengan malam. Hai malam, mengapa engkau selalu berwarna hitam? Malam hanya akan tertawa mendengar kata-kataku. Mungkin dia membatin: bodoh sekali pertanyaan itu! Kadang aku mengganggu goyangan dedaunan. Kubertanya: hai daun hijau, apakah kau rindu hujan? Daun itu hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin dia membatin: bodoh sekali pertanyaan itu!

Aku ingin merasakan rindu. Aku ingin merindukanmu! Namun..., rindu seperti apa yang yang sebenarnya aku rindukan?

Akan tetapi, aku benar-benar ingin tahu, rindu itu seperti apa? Mengapa aku tak bisa merasakan kerinduan itu?



Semarang, 12 Mei 2009 (titip rindu buat dia....)