Selasa, 31 Maret 2009

Surat Tak Sampai

Tahun 2003, saat aku masih kuliah, ada program KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang harus kuikuti. Dalam KKN itu, aku bergabung dengan kawan-kawan dari berbagai jurusan. Jadilah satu kelompok dengan kawan baru. Yang lebih beruntung jika dalam kelompok itu, ada kawan yang memang sudah dikenal, meski berbeda jurusan. Namun bagiku tidak demikian. Aku sendirian dari jurusanku. Namun, begitu bisa gabung, aku pun dapat menemukan berbagai pengalaman yang memperkaya aku. Berbagai kegiatan dapat kulakukan dan kuselesaikan dengan kawan-kawan baru ini.

Di saat perjumpaan terakhir dan pembubaran kelompok, aku dan kawan-kawan sempat makan bersama-sama di sebuah rumah makan. Saat itulah, kuberikan ungkapan-ungkapanku kepada kawan-kawanku dalam bentuk tulisan. Sayang sekali, seorang kawan berhalangan hadir, sehingga dia tak sempat menerima coretan tanganku. Namanya biasa dipanggil Ani.

Sayangnya, aku tak pernah tahu kemana dirinya melanjutkan kariernya, setelah kami sama-sama lulus tahun 2004. Jika dia menemukan tulisanku ini, semoga dia bisa mengerti apa yang hendak kusampaikan. Jika tidak, tulisan yang telah kupindah dalam blog ini, semoga tidak hilang.


Buat Ani

Salam hangat penuh persahabatan,
Rasanya tidak mungkin aku mengungkapkan kesanku kepadamu hanya dalam jangka waktu yang sedikit dan terbatas. Maka aku sempatkan untuk memberikan ungkapan kesan dan terima kasihku kepadamu melalui tulisan ini. Sebelumnya, aku minta maaf jika nanti ada kesan pribadiku yang ternyata tidak berkenan di hati.

Waa..., ini dia temanku yang paling seger penuh tawa! Gimana, masih sanggup untuk tertawa panjang lagi sampe ujung barat dan timur mendengar, Dik? Ha...ha...ha...! Masih kuat ngisi TTS? Atau masih mau main kartu? Yah, mudah-mudahan semuanya masih menjadi hobi yang mengasyikkan di samping tugas-tugas lain, ya?

Ada beberapa hal yang dapat kutimba selama aku bergaul dengan dirimu selama KKN. Barangkali bagi kamu tidak, namun bagiku, ya! Aku pikir, pada waktu pertemuan pertama di kampus, kamu orangnya tidak banyak ketawa. Eh, tak tahunya? Ngakakmu itu nggak ada yang menandingi. Bahkan Bu Muji aja sempat terheran-heran. Kamu tahu tidak, apa kata teman-teman jika kamu sudah mulai bicara? ”Waa..., Gunung Merapi nih, mulai mengeluarkan semburannya!” Gitu mereka bilang! Ha...ha...ha...! Sorry, nggak nyinggung, kan?

Itulah keistimewaanmu yang dapat kutangkap selama kita kenal sebagai teman baru di Dusun Surodadi. Kupikir, ini anak kok enak banget segala sesuatu dianggap santai, ringan, tanpa beban. Ketawa-ketiwi tanpa henti! Namun, setelah sekain lama aku mengenal sisi itu, aku jadi tersadarkan bahwa aku memang mesti menerima pribadi lain yang hadir di sekelilingku dengan apa adanya. Itulah pribadimu yang kutangkap tampak santai, ringan, penuh tawa, dan enjoy saat bergaul dengan orang lain. Sikap dan sifatmu itu telah menunjukkan kepadaku bahwa ada kalanya segala sesuatu yang dihadapi itu harus dirasakan dengan ringan, dengan tawa! Hal ini yang sebenarnya berat, namun dapat saja dibawa dengan ringan, sehingga justru cepat selesai. Itulah yang kutangkap dari pribadimu. Santai! Penuh tawa!

Memang, aku juga menyadari bahwa selama kita bergaul, tidak banyak hal yang sering kita bicarakan secara mendalam. Tidak mengapa! Itu semua juga kamu sadari bahwa tidak setiap orang dapat cocok untuk berakrab-akrab ria. Bahkan aku pernah mengungkapkan suatu ganjalan kepadamu pada waktu kita melakukan evaluasi dan berbagi pengalaman. Kamu dapat menerima dan menyadari itu dengan baik! Benar-benar aku menghargai sifatmu itu. Mungkin, latar belakang kehidupanmu yang berbeda dengan latar belakang kehidupanku atau teman lain, sedikit mengganjal pada saat harus hidup bersama. Mungkin, bagi dirimu tidak memengaruhi, namun bagiku atau teman lain memengaruhi. Nah, dalam situasi seperti ini, jika ada teman yang menegurmu, kamu mampu untuk menerimanya. Kamu tetap enjoy, tanpa tersinggung, dan kamu berusaha untuk memahami serta memperbaiki.

Barangkali kamu menilai bahwa hidup seseorang memang harus dijalani dengan keriangan. Ya, kalau memang itu yang kamu perjuangkan atau yang menjadi salah satu prinsip, itu pun aku hargai. Yang pasti, selama menjalin pertemanan dengan dirimu, aku belajar banyak hal. Belajar akan pentingnya sebuah relaksasi; belajar akan baiknya membawa sesuatu ke dalam keceriaan, dan pentingya menjalin hubungan yang baik dengan orang yang sekiranya akan membantu dalam meniti masa depan.

Ani, terima kasih ya, atas kehadiranmu dalam kelompok kita. Aku menyadari sekarang bahwa pribadi sepertimu juga memberikan andil pada diriku. Aku semakin tahu bahwa tidak selamanya orang yang sedang memiliki tanggung jawab dan tugas harus diselesaikan dengan muka masam atau cemberut. Orang dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas dengan ringan dan muka cerah. Bukankah ini lebih menguntungkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain?

Mudah-mudahan apa yang kusampaikan ini tidak membikin kamu bingung! Inilah yang dapat kusampaikan, setelah nanti kita tidak bertemu lagi. Dari tujuh teman, kamulah yang paling jauh tempat tinggalnya. Kalau kamu sudah selesai dari Yogya, kembali ke Kalimantan, apakah mungkin dapat bersua kembali? Ya, akhirnya hanya doa yang dapat kusampaikan. Sukses ya, kamu menjalani hidup dan meraih masa depan! Baik-baiklah untuk berusaha! Akhirnya, selamat meniti karier yang cerah!

O, ya yang pasti tak akan pernah aku lupa bahwa ’lip balm-mu’ itu merupakan ingatan bagi diriku! Ha...ha...ha...! Nggak dapat barangnya, malah dapat pengalaman lucu! Aku minta maaf atas segala kesalahan, kekilafan, dan kekurangan yang membuatmu kecewa sebagai teman di Kelompok 57.

Sekali lagi terima kasih atas semua yang telah kamu bagikan kepadaku. Panggilan namaku yang sudah akrab sebagai anggota Kelompok 57, pertahankan dan pakailah itu saat kapan saja jika masih sempat bertemu denganku. Kuanggap ini sebagai kenanngan.


Yogyakarta, Februari 2003
Doa dan dukunganku,


Hanya jejak-jejak inilah yang bisa kusampaikan. Entah, mungkin dia telah menggapai suatu cita yang dulu pernah diidamkannya. Aku tak pernah tahu...

Semarang, 30 Maret 2009

Kangen!

"Aku jadi kangen waktu kulihat foto-foto itu. Nggak tahu, kapan aku ketemu kamu dan bagamana kalau ketemu? Aku masih lama di Flp, karena masih harus lanjut S2. Harapanku sih, kau datang ke Flp. Aku capek banget! Nggak tahu, mau gimana menorehkan perasaanku. Dulu aku bisa berlembar-lembar nulis ke kamu. Sekarang? Aku jarang nulis! Yang jelas, aku kangen ketemu kamu. Pengin ditemani nangis di depan pohon kita dulu. Meski aku yakin, situasi itu berubah. Ada hal yang aku rasa perlahan beranjak dari aku. Kenapa, ya? Aku masih bersikap manja dan sentimentil? Aku kangen kamu. Kangen hari-hari kita dulu. Nih lihat, air mataku jadi keluar, deh. Udah ya, nanti aku bisa nangis heboh lagi. Bye...."

Ah, bagaimana bisa seperti itu? Jika pertanyaan ini kulandasi dengan nalar, tentulah bisa dijawab. Karena dia kangen. Titik. Itu saja. Namun, jika dikejar, mengapa masih kangen? Karena dia masih cinta kepadaku. Mengapa masih cinta? Karena aku sangat berkesan di hatinya. Mengapa berkesan? Karena.........

Aduuuuh........, bukan seperti itu kan memahami perasaan orang lain, terlebih seseorang yang pernah merasa dekat di hati? Memahami perasaannya, tidak perlu mencari alasan-alasan mengapa bisa seperti itu. Yang pasti, dia kangen kepadaku. Itu saja. Titik!

Ketika dia menuliskan ungkapan itu kepadaku, jujur saja, aku merasa bingung. Bingung karena yaitu tadi. Masih saja mencari banyak alasan mengapa dia masih kangen kepadaku. Padahal, aku sudah bilang kepadanya berkali-kali, konsentrasilah pada tugas. Jangan menghiraukan aku lagi. Namun....., hik, hik, hik! Memang, dia masih menyimpan perasaan itu, mau bagaimana? Ya....kangen kan?

Hati memang memiliki lemari rahasia yang sulit sekali dibuka. Banyak hal yang bisa tersimpan rapat dan rapi di dalamnya, termasuk perasaan. Perasaan apapun bisa disimpan di dalam hati. Bisa saja malu, kecewa, senang, bahagia, sedih, takut, kangen, dan juga cinta. Ah, tidak harus memaksa seorang tukang kunci untuk membuka lemari rahasia hati orang lain. Karena, jika sudah tiba saatnya, lemari itu akan dibuka dengan sendirinya. Dengan demikian, akan tahu perasaan apa yang tersimpan di dalamnya.

Jika aku tahu dia masih kangen kepadaku, berarti dia memang masih menyimpan perasaannya kepadaku. Perasaan apa? Ya....macam-macam! Yang jelas ya....kangen itu! Ah, tidak perlu diperpanjang. Sudahlah, dia memang kangen kepadaku.

Kemudian, jika dia kangen kepadaku, apa sekarang aku harus melarangnya? Perasaan itu kan miliknya? Bener kan? Dia bebas mengekspresikan segala perasaannya itu. Sementara, apa rugiku jika dia kangen kepadaku? Tidak ada! Justru sebenarnya, aku tersanjung dan bersyukur masih ada seseorang yang bilang kangen kepadaku. Itu artinya, diriku memiliki arti, minimal bagi dirinya.

Aku tidak mengagung-agungkan diri kok! Aku hanya ingin jujur. Apapun yang ditampakkan olehnya kepadaku, adalah nyata-nyata perasaan yang ada di dalam hatinya. Meskipun aku harus mengakui bahwa aku tidak kangen kepadanya, namun aku masih ingin menghargai perasaannya itu kepadaku.

Jika aku menatap puncak bukit di seberang kota S, di sana akan tampak sebatang pohon randu alas yang masih berdiri tegak. Ya..., pohon itu pula menjadi salah satu kenangan bersamanya. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan, karena jika aku mendekat, pohon itu masih tetap di sana dan aku juga sendirian. Aku tidak lagi bersamanya. Sama seperti dirinya yang sekarang jauh dariku. ***


September 2008

Minggu, 29 Maret 2009

Tiba-Tiba Saja Menangis!

Saat aku sedang browsing -cari lagu-lagu yang kusuka- aku temukan lagu Dewa 19 berjudul “Selimut Hati”. Aku pernah mendengar lagu ini. Easy listening sih! Maka, kucari saja video klipnya. Aku masih bisa menyaksikan video klip itu dengan personil Dewa 19 (Tyo, Drummer-nya masih juga ikut) dan beberapa talent seperti Maia, Mulan, DJ Chatty. Spontan saja, sambil melihat itu, aku langsung saja mewek! Wee........kenapa ini?
Ah, ya ingat akan kenyataan sekarang ini. Antara video klip dengan situasi yang ada saat ini. Dalam video klip itu, tampak betapa kemesraan dan perhatian itu tergambar. Sekarang? Semuanya itu telah lenyap. Dhani berseteru dengan Maia. Mulan keluar dari Ratu. Tyo sudah tidak gabung lagi di Dewa 19. Siapa yang akan mengira bahwa kesuksesan dalam mendapatkan aplaus itu juga akan diikuti dengan kesuksesan dalam menjalani biduk rumah tangga? Tak ada yang bisa memperkirakan. Mungkin hanya peramal saja. Namun, ah, kali ini janganlah membicarakan peramal.

Ya, itulah! Suatu perasaan sepertinya bisa saja berubah hanya dalam jangka waktu ketukan jari! Kemarin benci, sekarang sudah cinta. Kemarin cinta, esok sudah musuhan! Apakah hanya sebatas itu sebuah perasaan itu bisa bertahan?

Aku selalu sadar bahwa menjalani hidup dengan sempurna itu tak mudah. Justru, kesempurnaan itu bisa nyata ketika segala hal terjadi. Seseorang bisa sempurna menjalani kehidupan, manakala dirinya berhasil. Namun, jika terus berhasil, itu bukanlah kesempurnaan hidup. Seseorang pun perlu juga merasakan kegagalan. Karena kegagalan adalah bagian dari kehidupan. Tidaklah mungkin, seseorang mengejar keberhasilan terus-menerus. Jika toh ada orang lain menganggap sesama berhasil, itu pun belum tentu benar. Karena yang bersangkutan bisa merasa berbeda dari pandangan orang lain.

Kegagalan dalam mempertahankan hidup rumah tangga adalah kesempurnaan dalam menjalani kehidupan. Namun, apakah setiap orang harus selalu mengalami kegagalan yang sama? Tentu saja tidak! Terkadang, kegagalan orang lain bisa dijadikan cermin agar kegagalan dirinya tidak separah orang lain. Belajar dari pengalaman orang lain!

Semudah itukah? Nyatanya memang tidak mudah! Sedang seseorang yang berhasil menjalani kehidupan dan mendapatkan hal-hal yang penuh, ternyata bisa saja terperosok dalam kegagalan. Ya...paling tidak contoh yang kusampaikan di atas tadi.

Dalam ungkapan ini, aku tidak sedang mengomentari keadaan mereka itu. Aku hanya ingin melihat dan belajar dari kehidupan mereka itu. Tidak lebih dari itu. Meski mereka gagal, mereka pun memiliki keberhasilan. Antara keberhasilan dan kegagalan, sering berjalan seiring. Jika manusia tidak waspada, salah satunya bisa menjadi jalan tenggelamnya jiwa dalam keputusasaan. Apakah keberhasilan juga bisa menenggelamkan jiwa? Tentu saja bisa! Jika kegagalan itu mengantar pada sikap tidak rendah hati. Apakah kegagalan juga bisa menenggelamkan jiwa? Jelas! Karena kalau tidak segera bangkit, dirinya akan selalu terpuruk dan putus asa!

Tiba-tiba aku menangis! Namun, tangisan ini adalah tangisan bela rasa! Berbela dan berasa atas apa yang hendak kulihat dalam diriku sendiri!***


September 2008

Sabtu, 28 Maret 2009

Telepon dari Seberang

Saudaraku tiba-tiba bilang kalau aku diminta untuk menelepon Liani. Liani? Ah, mengapa harus nelpon? Sudah lama aku tidak berkontak dengannya. Tetapi mengapa aku harus meneleponya? ”Mungkin dia masih menyimpan masalah sama kamu,” kata saudaraku itu sambil tertawa. Sialan, kataku.

Liani itu kawan lama. Dia kukenal kira-kira empat tahun yang lalu di kota S. Waktu itu, ada sebuah kegiatan yang membuat aku bisa berjumpa dengan dirinya. Nah, yang membikin hal mengesan bukan Liani, melainkan diriku yang bergulat dengan masa laluku. Kok Liani bisa terlibat? Ceritanya, waktu mengikuti kegiatan itu, acapkali berjumpa dengan Liani, aku selalu tidak bisa saling berkomunikasi. Diam-diaman. Jika berpapasan dengannya tak ada sapaan hangat. Padahal, dia kawan baru, mestinya aku memberi sapa yang hangat. Namun itu tidak kulakukan. Aku juga heran dengan diriku ini. Ada apa sebenarnya?

Selang satu bulan (kegiatan itu dilakukan selama dua bulan dengan tinggal di asrama), aku mulai menemukan akar persoalan. Akar persoalan itu ternyata ada dalam dirku sendiri. Sosok Liani itu ternyata mirip dengan seseorang di masa laluku yang membikin aku sakit hati. Oh, itu yang membuat komunikasiku dengan Liani terhambat. Menyadari itu, aku berusaha untuk menyelesaikan. Ternyata tidak mudah! Aku mencoba mendekati untuk menyampaikan segala ganjalan yang ada.

Suatu siang, selesai makan siang, aku mengajaknya untuk berbicara. Kepadanya kuungkapkan bahwa aku meminta maaf jika ada perilakuku yang membuatnya tidak nyaman. Kusampaikan apa adanya tentang alam bawah sadarku yang membenci seseorang namun tersalurkan pada sosok dirinya. Liani bisa mengerti. Aku berusaha untuk mengolah luka ini.

Lambat namun pasti, aku mulai mampu untuk berkomunikasi dengan Liani. Meski masih sulit, aku tetap berusaha berkontak dengan Liani. Saat-saat lain, jika bertemu, aku menyapanya. Bahkan, aku berusaha untuk duduk sebangku di ruang pertemuan. Hingga pada akhirnya, segala kebekuan itu mencair. Obrolan sudah terjalin dan senda gurau pun tercipta. Di saat-saat pertemuan di kelas, aku tukar bolpointku dengan milik Liani.

Ah, tiba-tiba saja sekarang dia memberi tahu saudaraku agar aku meneleponnya. Benarkah ada sesuatu masalah masa lalu yang belum selesai? Ah, mungkin bukan! Karena yang memiliki masalah adalah diriku, sementara Liani tidak ada masalah apa pun. Semuanya sudah berlalu!

Jam 20.45, aku hubungi Liani. Agak lama juga tersambung ke ponselnya. Sempat terputus. Ketika bisa tersambung, dengan ringan kusapa Liani.

”Haloo...met malam, met jumpa.”

”Hei! Pa kabar? Lama tidak kontak.”

”Ya begitulah....”

Obrolan pun terjalin. Ternyata benar! Bukan suatu masalah. Nyatanya, sampai 30 menit obrolan itu, segalanya berjalan dengan baik. Apa yang ingin disampaikan kepadaku? Sebuah undangan. Dia mengundangku untuk datang tanggal 8 September. Ada peristiwa yang sedang dirayakannya.

”Aduh, sori, aku tidak bisa kalau mendadak begini,” jawabku.

”Habisnya...., kamu tidak pernah berkirim kabar sama aku,” sahutnya.

”Iya maaf. Tapi nanti aku hubungi jika perayaan itu sudah selesai.”

”Bener lho! Aku tunggu.”

”Tapi aku tidak janji....”

”Lho, gimana sih? Pokoknya aku tunggu tanggal 8 malam telepon aku. Awas kalau tidak!” kata Liani.

Begitulah percakapan malam itu. Meski hanya bertukar kabar, perjumpaan dengan Liani lewat udara ini telah memberiku suatu pengalaman bahwa ada masa-masa ketika seseorang itu ternyata masih saling memerlukan. Paling tidak, saling menyapa. ***


September 2008

Jumat, 27 Maret 2009

My Rumiyin!!!!!!!!!!!!!

Heran aku! Kai selalu memanggilku dengan kata-kata itu. Apa sih yang membuatnya selalu memanggilku dengan ”My Rumiyin, My Rumiyin” itu? Kalau diterjemahkan sesuai kata aslinya, bener-bener tak bakalan menjadi jelas, bahkan membingungkan. Apa coba, dengan maksud ”dulu-ku, dahulu-ku”.

”Apaan sih, my rumiyin, my rumiyin....,” tanyaku waktu itu.

”Lhah..., kan Bro emang my rumiyin. Piye toh?” jawabnya sekenanya.

”Kamu tahu artinya rumiyin?” lanjutku.

”Artinya: dulu, kan?” sahutnya dan lantas berlalu dari hadapanku.

Begitulah Kai. Penjelasan tentang ”My Rumiyin” itu tak pernah dia sampaikan kepadaku. Jika ngomong soal Kai, aku lalu ingat pertemuannya beberapa waktu lalu. Awal mulanya hanya karena persamaan tujuan untuk mengikuti suatu kegiatan di pinggiran kota Y. Bahkan ketika kegiatan itu aku jalani bersama teman baru lain, termasuk Kai, segalanya berjalan dengan lancar. Segalanya bisa terjadi dengan baik, dan hasil kegiatan itu pun dapat kubawa pulang dengan baik pula. Sampai pada penghujung kegiatan, Kai membuat pengakuan di hadapanku.

Apa sih yang salah tentang Kai? Jika ingat pengakuannya, aku sebenarnya tidak ingin menyudutkan bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah kesalahannya. Sebagai manusia, siapa yang tidak salah langkah karena kelemahan? Tak seorang pun bisa lepas dari kekeliruan.

Melihatnya bisa bergembira di pagi hari, bagiku sudah cukup untuk bisa memberinya kesejukan. Tak ada yang ingin kuminta banyak darinya. Jika dengan sentuhan udara dingin, basahnya tetesan embun, dan hangatnya sinar matahari pagi, Kai sudah bisa menikmati satu hari itu saja, itu adalah anugerah yang sangat besar bagiku. Meski aku hanya bisa mengajaknya menyusuri jalan-jalan setapak atau pematang-pematang sawah atau pinggiran sungai, itu adalah kesempatan yang sudah lebih dari cukup bagiku.

Sayangnya, aku begitu terganggu. Mengapa aku sulit untuk menerimanya? Apakah karena di dalam hatiku ada tuntutan agar dia tampil sebagai seorang Kai yang sempurna? Atau karena aku sendiri yang masih menipu diriku atas rasa cukup yang selama ini kupertahankan dalam diriku? Semestinya, ketika Kai berterus terang kepadaku atas segala tindakan yang menurutnya bodoh itu dilakukan, aku tak harus menyudutkannya.

”Waktu itu, entahlah. Aku gak tau...! Masih ingat sih perasaan aku saat itu. Amburadul banget! Ga tau aku juga kenapa...” katanya memulai percakapan.

”Trus ngapain harus ngajak ngomong aku dan akhirnya malah gak jadi?” tanyaku.

”Ah, Bro...! Aku juga ga tau...! Mungkin karena takut pisah sama Bro? Gak tau juga... Biasanya ada yang jagain aku... Terus sekarang gak ada! Gak tau...! Aku ngerasa salah sama kelompok karena gak ngapa-ngapain. Ngerasa.... ah...,” Kai terdiam.

Aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya. Ini penting karena aku perlu mengerti apa yang sebenarnya yang ingin dia sampaikan kepadaku. Itu semata-mata, agar aku bisa makin mengerti apa yang hidup dalam diri Kai saat itu. Kudengar, pelan Kai melanjutkan kata-katanya.

”Mungkin juga belum rela ninggalin acara jalan pagi yang begitu berarti untuk aku. Entahlah... Mungkin karena baru saat itu aku bisa bebas lepas, lepas berekspresi. Aku emang cengeng. Aku gak tau sebenernya aku kenapa? Kenapa? Makanya aku tanya Bro. Rasanya Bro udah kenal aku lebih dari aku sendiri. Aku ngerasa aman sama Bro karena yakin Bro gak akan suka orang lain ngapa-ngapain aku. I really need friend untuk ngobrol.”

Kai terisak. Berupaya untuk memahami gejolak perasaan Kai, bagiku adalah usaha yang tidak mudah. Bagaimana aku harus memahaminya, sedang dalam diriku bergejolak perasaan tidak suka atas apa yang dilakukan. Akan tetapi, mengapa aku tak menyukainya, jika dia di hadapanku berterus terang atas segala kesalahan yang telah dia lakukan?

”Seingat aku, ”lanjut Kai, ”waktu itu aku masih panik, sedikit bingung. Aku ngerasa bersalah banget karena aku suka sama En dan rasa sukaku itu ganggu kerja kelompokku. Kerjaanku jadi gak karuan. Semuanya amburadul. Aku menyadarinya dan aku harus menyudahinya. Memang semestinya aku gak usah tarik tangan Bro saat itu. Karena gak penting banget Bro ikutan urusanku. Tapi aku ngerasa cuma punya temen Bro aja. Aku mau ceritanya ke Bro. Karena Bro ketua kelompok yang aku bikin acakadul. Yang lebih bikin aku nyaman, Bro gak akan pernah suka sama aku. Itu yang bikin aku comfortable untuk bicara sama Bro, walau akhirnya gak ada yang keluar. Tuh kan bener? Gak ada yang penting, makanya waktu itu gak ada yang keluar. Masa, masalah kayak gitu aku gak bisa atasi sendiri? Tapi nyatanya emang aku gak bisa ngatasi hal sepele macam itu. I really need you, Bro. Untuk nampar aku, untuk mengguncang bahuku, untuk menunjukkan semua kelakuanku. Susah banget melihat dari sudut pandang orang lain ke diri sendiri. Aku belum pernah merasa nyaman sama cowok, selain sama Bro. Maksudnya untuk berusaha berbicara, walau akhirnya gak jadi.”

Susah payah Kai menyelesaikan kata-katanya. Aku menghela nafas. Terus mau apa sekarang? Jika Kai memanggilku, ”My Rumiyin......!” apakah aku juga harus tetap memalingkan wajahku ke arah lain dan meninggalkan cibiran kepadanya? Haruskah sebesar itu aku menghukum Kai, sementara dia telah membuat pengakuan di hadapanku?

Menghadapi Kai, bagiku adalah menghadapi pengalaman masa laluku. Aku harus berani mengakui dan menerima apa yang telah terjadi pada masa laluku. Kai bukanlah masa laluku. Dia adalah masa kini yang sedang memberiku sandungan-sandungan kecil pada ujung jari-jemari kaki dalam kancah jalan kehidupan ini. Ah, Kai. Kesalahan itu bukan hanya milikmu. Kesalahan itu tetap saja ada pada diriku. Bukan saja dirimu dan diriku, melainkan orang lain juga memilikinya.

Di ujung malam, aku hanya bisa membisikkan pada Kai, menyampaikan rasa salah dan maafku, karena sikap penyudutanku kepadanya. Seandainya dia bisa sedekat angin malam ini, akan kurengkuh dan kubisikan kata itu di dekat telinganya. Jangan pernah menyerah untuk berubah. Mari berupaya bersama aku. Aku selalu mendukungmu. Aku selalu menyayangimu.***



Agustus 2008

Enam Pertanyaan

Seorang kawan mengirimkan email kepadaku. Ketika kubuka, email itu berisi tentang suatu cerita. Demikian cerita lengkap itu.

Suatu hari Seorang Guru berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu beliau mengajukan enam pertanyaan. Pertanyaan pertama demikian, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?"Murid-muridnya ada yang menjawab, "Orang tua", guru, teman, dan kerabatnya."Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "kematian". Sebab kematian adalah PASTI adanya.


Lalu Sang Guru meneruskan pertanyaan kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?"Murid-muridnya ada yang menjawab, "Negara Cina", bulan, matahari, dan bintang-bintang."Lalu Sang Guru menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar. Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita TIDAK bisa kembali ke masa lalu. Sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang.

Sang Guru meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?"Murid-muridnya ada yang menjawab "gunung", "bumi", dan "matahari."
”Semua jawaban itu benar.” kata Sang Guru, ”tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu". Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu duniawi. Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini. Jangan sampainafsu membawa kita ke neraka (atau kesengsaraan dunia dan akhirat).


Pertanyaan keempat, "Apa yang paling berat di dunia ini?"Di antara muridnya ada yang menjawab, "Baja", besi, dan gajah.""Semua jawaban hampir benar," kata Sang Guru, ”tapi yang paling berat adalah "memegang amanah".

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini...???"Ada yang menjawab "kapas", "angin", "debu", dan "daun-daunan" ..."Semua itu benar...", kata Sang Guru...tapi yang paling ringan di dunia ini adalah "meninggalkan ibadah".

Lalu pertanyaan keenam, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?"Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "PEDANG!""Hampir benar," kata Sang Guru, ”tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan KEMATIAN...senantiasa belajar dari MASA LALU...dan tidak memperturutkan NAFSU...???

Sudahkah kita mampu MENGEMBAN AMANAH sekecil apapun...dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH....serta senantiasa MENJAGA LIDAH kita...???

Kamis, 26 Maret 2009

Bermain-main!

Asyiknya anak-anak! Bisa bermain sesukanya! Dari pagi sampai sore! Di sekolah, bermain! Di rumah, bermain! Barulah ketika bunda mereka datang dan mengajaknya untuk segera mandi, mereka menghentikan permainan yang seru itu. Bubar! Kemudian pulang ke rumah masing-masing! Asyiknya anak-anak yang bermain!

Ah, itu kan anak-anak yang bermain-main. Namun pernahkah ada permainan yang benar-benar tidak menyenangkan? Ada ya? Ada! Ya, tentu saja ada. Aku ingin bilang padamu bahwa permainan yang tidak menyenangkan ini biasanya yang melakukan adalah kita, orang yang sudah mengaku besar, gede, dewasa! Disadari atau tidak, permainan ini selalu ada, ada, dan ada! Apa yang ingin kusampaikan? Ya permainan yang tidak menyenangkan itu! Apa ya?

Main hati! Wa? Iya! Hati kok diajak main-main! Tapi ada yang mengalami lho! Coba aja simak!

...........
Tak pernah sebelumnya
Tak pernah kuduga

Kuakui ku main hati
Kutak bisa tuk memungkiri
Ku main hati
.........................................

Tahu, kan? Itu syair, aku ambil dari lagunya Andra & The Backbone berjudul “Ku Main hati” Tidak usah menunjuk-nunjuk, main hati itu nyatanya selalu berkait dengan hati, hati, hati, dan hati! Yang penting, diakui sajalah! Gitu.....

Pernahkah kita benar-benar masuk ke dalam permainan “hati” itu? Tidak ada yang bisa mengakui, apakah dirinya pernah bisa benar-benar masuk. Alasannya, sekedar sedikit main-main saja, lebih sering terasa tidak menyenankannya. Apalagi kalau masuk dalam permainan itu? Bisa-bisa hangus kebakar oleh hati itu sendiri! Wa....ha....ha...!

Sayangnya, permainan ini akan selalu ditemui dalam kehidupan. Karena, setiap dari kita masih memiliki hati. Hati inilah yang tak pernah bisa kita ajak untuk mengikuti pikiran kita. Hati memang ingin merasa senang, bahagia, gembira, puas! Karena hati yang tidak merasakan itu semua, lambat laun akan menjadi menciut dan bisa beku sendiri. Hati yang ingin merasa senang, bahagia, gembira, dan puas itu biasanya selalu mencari banyak cara. Salah satunya adalah bermain itu tadi!

Apakah salah untuk sekedar bermain? Tidak ada sih! Bahkan kita yang mengaku sudah besar, dewasa, gede pun tetap ingin melakukan permainan. Masalahnya, karena kita merasa seperti itu, antara permainan dan hati dijadikan satu dan bener-bener disrempet-srempetkan! Alhasil, permainan yang menyentuh hati, bisa membikin dua sisi. Bahagia dan sedih! Gembira dan susah! Puas dan kecewa! Itulah manusia dewasa!

Jika sudah demikian, seperti aku katakan di atas, permainan menjadi tidak menyenangkan. Permainan bisa menjadi licik, diam-diaman, tidak jujur, dan sebagainya! Hati siapa yang ingin merasa dikecewakan? Karena tak ingin kecewa, maka perlu diselubungi kelicikan dan ketidakjujuran! Alhasil, jika semua ini terbongkar, hancurlah semuanya! Permainan yang ingin dipakai sebagai pembuat rasa gembira, senang, bahagia, puas itu malah justru membuat sedih, kecewa, dan bisa saja patah! Iya, patah! Patah hati! Woooo.........!

Tapi, siapakah yang benar-benar mau masuk dalam permainan yang menggunakan ”hati” ini? Tak ada yang mengaku! Namun, namun, namun.........kita selalu saja bersinggungan dengan itu. Diakui atau tidak! Disadari atau tidak! ***


Semaranga, 26 Maret 2009 (di hari Raya Nyepi)

Selasa, 24 Maret 2009

Barisan Kata-kata

”Sorry aku baru ke kamar lagi. Tadi komputer kutinggalkan on karena ada mahasiswa yang curhat. Maaf beribu maaf, mungkin besok malam kita bisa curhat. Maaf, ya!” (3/27/2008)

Awalnya, malam itu aku hanya ingin melihat apakah dia sedang on line atau tidak. Maka, kubuka sarana chatting-ku dan kulihat dia sedang on line. Aku pun segera menuliskan satu baris ucapan padanya. Kubiarkan sebentar sambil aku browsing di internet. Beluma ada dua menit, tiba-tiba dia meninggalkan pesan padaku. Intinya, dia memang agak jarang untuk on line karena merasa tidak nyaman jika sedang on line ada beberapa sapaan lain yang masuk dan ini membuatnya ruwet. Kemudian ditinggalkannya pesan untuk lain kali menghubunginya.

Tiba-tiba saja, hatiku disergap rasa tersinggung. Rasa tersinggung yang tidak terlalu besar, namun cukup membuatku untuk segera mungkin memutuskan koneksi chatting-ku itu. Sepertinya, ketika aku on line, kehadiranku hanyalah menjadi salah satu dari pengganggu itu baginya. Mengapa bisa demikian? Aku tidak tahu.

Keesokan harinya, ketika aku iseng untuk melihat sarana chatting-ku lagi, kulihat beberapa baris pesan yang ditinggalkan kepadaku. Itulah pesan yang tertulis di atas!

Rasa tersinggungku belum sirna. Ada desakan dari dalam diriku untuk tidak mengacuhkannya. Meski dia mengajak untuk berbagi di lain waktu, aku tak ingin menanggapinya. Biar saja!

Di dalam hatiku, muncul dua kubu yang berperang. Satu kubu ingin mempertahankan perasaan tersinggungku. Satu kubu ingin memahami situasinya. Tak mudah. Perasaanku benar-benar terluka. Jujur saja, setelah lama aku tak berkontak dengannya, baru malam itu aku mencoba untuk menghubunginya. Itu pun tidak aku paksakan. Artinya, saat itu aku hanya menyampaikan sedikit ucapan. Terasa sekali, betapa tak diharapkannya sapaan dan kehadiranku baginya. Betapa tak berartinya kehadiranku malam itu baginya.

Sementara di sisi lain, setelah aku mengerti alasannya, aku berusaha untuk mengerti akan keberadaannya saat itu. Malam itu dia memang sedang diperlukan oleh sesama yang barangkali jauh lebih memerlukan dirinya. Itu artinya dia memiliki arti bagi sesama di sekitarnya.

Akan tetapi, entah mengapa aku masih sulit untuk bisa menerima itu. Mungkin pada saat kutuliskan ungkapan ini, perasaanku sedang larut dengan suasana ketiadaan arti dalam diriku sendiri. Barangkali aku masih dilingkupi rasa kecil karena memang tak mampu untuk hadir bagi sesama. Barangkali aku masih terkungkung dengan rasa iri akan talenta orang lain.

Dengan rendah hati, aku sungguh meminta maaf jika ungkapanku ini kemudian membuatnya merasa bersalah. Aku hanya ingin bersikap jujur atas perasaan yang tiba-tiba saja muncul.***


Semarang, 25 Maret 2009

Awan Untuk Denok

Aku berhenti di bibir jurang. Menghela nafas dan membuangnya dengan sekuat tenaga. Kemudian berbalik dan duduk di bawah pohon melinjo. Jurang ini bagian dari ladang milik Mbah Kakung. Berada di tepi sebelah selatan dan sekaligus menjadi batas. Batas segalanya. Batas milik dan juga batas pandangan! Karena di balik jurang itu tak akan ada lagi ladang milik orang lain. Di bawah jurang itu, sudah mengalir sebuah sungai.

Jika aku berada di bibir jurang ini, aku bukan untuk bunuh diri. Aku hanya ingin menyendiri. Menyendiri dan mengenang apa saja sambil berbaring di bawah rindangnya pohon melinjo yang tumbuh tak jauh dari bibir jurang itu. Mataku menatap arak-arakan awan yang seolah saling berkejaran. Awan putih bergelombang, bergulung, dan saling membaur satu sama lain. Kemudian menjadi bentuk yang beraneka ragam. Gumpalan-gumpalan itu bisa berbentuk binatang, pohon, orang. Pokoknya, sesuka mataku dalam memandangnya.
Tiba-tiba saja, segumpalan awan membentuk sosok manusia. Seakan berdiri, berkacak pinggang. Kok gendut ya? Lalu, sekelebat banyangan seraut wajah terlintas di benakku. Seraut wajah itu seakan-akan menempel di gumpalan itu. Wajah Denok!

Ah, mengapa harus wajah Denok yang tiba-tiba nongol di gumpalan awan itu? Mungkin karena Denok itu gendut. Atau mungkin karena aku masih ingat perbincanganku dengannya beberapa waktu lalu.

--00--


”Ada yang ingin aku katakan kepadamu. Beberapa kali aku bertemu teman di sini. Mereka bilang, kita memang bisa terus saling kontak dan berbagi. Namun, waktu dan keadaan bicara lain. Ketika ada kenyataan bahwa setiap orang memiliki kepentingan dan kesibukan beda, pertemuan ini tinggal kenangan. Tak ada sentuhan, tak ada sapaan, tak ada apapun. Maka, aku hanya ingin berkata padamu, meski hari ini kamu berbincang dan bertemu aku, sadarilah bahwa tak akan pernah ada waktu yang sama, yang dapat mempertemukan kita lagi. Seandainya masih ada hari dan waktu, itu adalah keajaiban dari Sang Pemberi Waktu.”

”Apa maksud Mas?” tanyanya.

”Mengapa bingung?” tanya balikku.

”Tidak bingung. Jadi sedih dengernya...! Ya, aku tahu maksud Mas, tapi aku tidak bakalan begitu kok. Selama aku masih bisa....,” jawabnya pelan.

”Aku hanya ingin memaparkan kenyataan kepadamu....,” kataku.

”Mas setiap saat bisa bicara sama aku.”

”Sekarang kamu bisa bilang begitu....”

”Kan, orang harus bermimpi dulu untuk bisa memiliki cita-citanya. Tidak ada salahnya kalau kita optimis.”

”Tapi, cobalah mengerti, kita akan menemukan banyak hal yang sering tidak bisa diatasi....”

”Menurut aku, tidak ada salahnya kita memiliki keyakinan, Mas.”

”Aku bisa terima. Bisa! Sekaligus aku memberi kamu kenyataan-kenyataan yang akan terjadi...”

”Kalaupun kenyataan itu berbicara lain, toh kita sudah maksimal mengusahakan. Atau mungkin Mas yang tidak mau berbicara dengan aku lagi, ya? Menyesal kenal aku yang cerewetnya kayak nenek-nenek?”

”Lho? Kok bilang begitu? Tidak, tidak! Kamu baik kok!”

”Kalau bukan tidak mau, apa alasannya? Aku tidak suka dengan orang yang pesimistis. Hidup harus yakin dan optimis...”

--00--

Arak-arakan awan itu semakin menjauh. Bentuk orang gendut berkacak pinggang itu sudah tercerai-berai dan berubah bentuk bersama arak-arakan awan lain.

Yakin! Optimis! Kuulang kata-kata Denok itu dalam hati! Aku hanya menghela nafas dengan lebih pelan. Bukan aku tidak mempercayai kata-kata Denok, aku hanya ingin menyampaikan kepadanya bahwa betapa tak mudahnya menyembuhkan luka akibat kegagalan demi kegagalan yang pernah kualami.

Aku harus bagaimana? Kekecewaan demi kekecewaan itu masih saja menggores di ujung hatiku. Meninggalkan bekas yang belum bisa disentuh dengan jari-jari pengharapan.

Di ujung senja ini, di bibir jurang ini, sekelebat bayangan wajah Denok mampir kembali. Mungkin, kata-kata yang meluncur dari bibirnya adalah kata-kata pengingat kepadaku. Pengingat bahwa meski kekecewaan itu selalu ada dalam hidup, namun seseorang perlu untuk tetap bertahan dalam pengharapan. Meski untuk bertahan dan menggapai harapan itu, harus mempertaruhkan perasaan-perasaan sakit yang masih ada.

Kuusap ujung mataku. Ingin rasanya dari buliran air mata itu, aku mengusap hatiku yang masih menahan pedih kekecewaan. Ingin rasanya dari sentuhan jari ini, aku mencoba menyembuhkan pedih itu dengan kata-kata Denok. Yakin! Optimis!

Kubangkit dari berbaringku. Dengan masih menatap arak-arakan awan yang berada di bibir jurang, aku ingin berkata pada Denok. Kapan ya, aku bisa menorehkan kata-kata optimis itu agar bisa tetap menghidupi pengharapanku?

Ketika aku berjalan meninggalkan ladang Mbah Kakung, bayangan Denok masih saja mengikuti. Serasa dia berlari dan mengejarku, menangkap lenganku. Rengekan manja begitu saja keluar dari mulutnya. Hidung peseknya yang membuatku gemas itu ingin kucubit!

Di senja ini, meski tak akan bisa aku memapasnya di ujung waktu saat aku bertemu dengannya, aku ingin membawakan sesuatu untuk Denok. Ingin kukirim segumpal awan untuknya. Biarlah Denok menatapnya dari ujung sana; sambil tetap berkacak pinggang dengan roman muka lucu dan konyol yang selalu kurindukan! ***


Semarang, 24 Maret 2009

Sabtu, 21 Maret 2009

Perenang Cilik Itu Menikah!

Di sebuah siang, aku sedang duduk-duduk di ruang baca. Kuambil sebuah majalah dari tebaran di atas meja. Kubuka sampul majalah itu dari belakang. Mataku tertumbuk pada lembaran iklan satu halaman penuh di sampul belakang dalam! Ah, iklan pernikahan sepasang muda-mudi. Iklan full color itu hampir saja tak membuatku terhenti, karena sudah biasa di majalah ini terpasang iklan berbagai macam. Akan tetapi, ketika mataku terpaku pada wajah si mempelai wanita, tiba-tiba sebuah ingatan datang sekejap. Ingatan akan seseorang. Dan....akhirnya aku semakin yakin tatkala aku membaca deretan nama-nama sepasang pengantin itu.

Ya....itulah kamu! Itu namamu! Dan mataku dengan nanar menatap adegan demi adegan yang tercetak di lembaran itu. Aku semakin yakin ketika aku pun membaca nama kedua orang tuamu dan adik perempuanmu. Itulah kamu!

Ingatanku kemudian melayang ke sebelas tahun lalu. Ke masa ketika aku mengenalmu untuk kali pertama dan barangkali untuk kali terakhir.

Di tahun 1997, aku mengenalmu sebagai seorang gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar, tempatku bekerja waktu itu. Lambat laun, aku semakin tahu dirimu dari beberapa rekan kerjaku. Ternyata, kamu adalah salah seorang atlit renang cilik. Beberapa rekan kerjaku mengatakan bahwa dirimu telah berkali-kali menjuarai berbagai ajang kompetisi. Dari tuturan itulah, aku menjadi tahu dirimu yang atlit itu. Tidak hanya dirimu yang kukenal kemudian. Adikmu yang perempuan itu pun lama-lama juga semakin aku kenal, karena kalian berdua memang bersekolah di tempatku.
Hingga suatu saat, aku berkesempatan untuk sekedar tegur sapa dengan dirimu. Kadang hal-hal biasa menjadi bahan obrolan. Kemudian, tentang hobi renangmu pun menjadi bahan obrolan.

Suatu hari, aku memintamu untuk bercerita tentang pengalaman renangmu itu. Untuk apa? Aha, inilah aku! Aku senang menulis sesuatu untuk majalah. Ya, majalah yang sekarang ini memuat berita pernikahanmu itu! Jika kamu memperbolehkan, pengalaman renangmu itu akan kukirim ke majalah itu dan semoga saja dapat dimuat.

Rupanya, kamu tidak berkeberatan. Terkadang, saat-saat istirahat pelajaran, aku sempatkan untuk ngobrol dan bertanya-tanya padamu. Bahkan, kemudian kamu memberiku sederetan prestasimu yang telah kamu ketik rapi di lembaran kertas. Ya ampun! Banyak banget! Waduh....hebat bener, batinku waktu itu. Kau berikan pula dua lembar foto dirimu yang sedang berpose di antara piala dan medali-medali yang seabrek di atas meja. Kamu tahu tidak, satu lembar foto sampai sekarang masih aku simpan di album pribadiku.

Begitulah akhirnya! Lembaran naskah itu pun jadi dan kukirimkan bersama satu lembar fotomu itu. Beberapa waktu kemudian, dengan menunggu penuh harap, majalah itu kemudian memuatmu. Syukur, syukur, syukur!

Bagiku, bukanlah imbalan yang penting kudapat, melainkan naskah itu dapat diterima dan dimuat. Itulah yang utama. Aku sekedar mampu memberimu sesuatu yang sederhana: selembar naskah di salah satu edisi majalah itu.

Aku berterima kasih bahwa aku telah kamu beri kesempatan untuk menuliskan dirimu. Bahkan, aku pun berterima kasih bahwa di suatu hari, Mamamu datang dan mengucapkan terima kasih atas pemuatan naskah itu di majalah. Ah, apa yang hebat? Aku pun hanya mengatakan terima kasih pula diberi kesempatan untuk menuliskan tentang dirimu.

Tahun 1998, kamu lulus dari sekolah dasar. Sejak itu pula, aku tidak lagi berkontak dengan dirimu. Aku masih beberapa kali berkontak dengan adikmu. Bahkan di beberapa waktu, aku masih sempat mendampingi adikmu dalam pendampingan iman anak bersama seorang rekan guruku. Tahun 1999, aku mendapat tugas baru dan harus meninggalkan kotamu. Sejak itu pula, aku sudah tidak ada kontak denganmu. Akan tetapi, aku masih sempat pula mendengar bahwa beberapa waktu kemudian, aku lupa pastinya, engkau melanjutkan pendidikan di luar negeri. Aku pun sempat pula melihat sosok adikmu di majalah itu. Waktu itu, dia mendampingi Didik SSS. Oh, rupanya adikmu itu menjadi murid Didik SSS. Makanya, sebuah saksofon tampak tertiup di mulutnya. Itulah yang kulihat di sebuah edisi.
Jika sekarang ini kamu sudah menikah, itu adalah berita baru bagiku. Aku menjadi sadar bahwa ternyata umur seseorang itu akan semakin berjalan mendekati masa-masa dewasa yang tak akan bisa dicegah. Barangkali, aku masih merasa baru kemarin mengenalmu. Akan tetapi, ternyata beritamu itu menandakan bahwa kita memang pernah berjumpa bertahun-tahun lalu. Bertahun-tahun lalu sampai sekarang yang menandakan bahwa aku pun beranjak pada masa yang tak muda lagi.

Akhirnya, selamat berbahagia untukmu. Semoga keluarga yang akan kamu bangun bersama suamimu itu akan tetap langgeng. Tetaplah enerjik seperti beberapa tahun lalu ketika aku masih menjumpaimu sebagai perenang cilik itu. Tetaplah kuat seperti waktu kamu dengan rasa canda memukul perutku (padahal, sakit sekali, karena tenagamu yang memang di luar anak-anak biasa itu).

Salam dari kejauhan! Aku yang masih mengenangmu sebagai perenang cilik yang andal....***


Semarang, 22 Maret 2009

Jumat, 20 Maret 2009

Rasa Sakit Itu…

Kamu pernah tersayat sembilu? Nanti dulu! Jangan terburu-buru kamu jawab: sudah! Kamu sudah tahu apa itu sembilu? Bagi yang belum tahu, tidak ada kelirunya bila kuberi tahu. Meski aku tidak bermaksud untuk menggurui. Sembilu itu kulit buluh yang dibuat tajam sebagai pisau yang bisa saja dipakai untuk meretas perut ayam, memotong tali pusat, atau membelah usus ayam. Nah, buluh itu sendiri adalah bambu. Sudah tidak terlalu bingung kan?
Lalu apa hubungan pertanyaanku dengan judul tulisanku ini. Ya....pasti kamu sudah paham. Yang kumaksudkan adalah perumpaan. Kita sering mendengar bahwa kalau kita sakit hati, sakitnya bagaikan tersayat sembilu. Sayangnya, aku belum pernah tersayat sembilu. Kamu sudah pernah? Jika kita belum pernah merasakan tersayat sembilu, bagaimana kita merasakan sakit hati yang teramat sakit itu? Apakah kita mesti mengiris kulit tangan kita dengan sembilu hanya untuk membandingkan rasa sakit hati dengan sakit diiris sembilu? Tidak perlu kan?
Kalau sakit hati, tentu kamu sudah pernah merasakan. Aku pun sudah pernah. Tidak perlulah kuberi contoh. Kamu tentu punya pengalaman sendiri. Tapi baik juga jika kamu mengingat petikan lagu milik Ungu berjudul ”Demi Waktu” berikut ini: Maafkan aku/Menduakan cintamu/Berat rasa hatiku/Tinggalkan dirinya/Dan demi waktu/Yang bergulir di sampingmu/Maafkanlah diriku/Sepenuh hatimu/Seandainya bila/Kubisa memilih.
Sekarang, apa yang kamu rasakan jika kekasihmu meminta maaf di hadapanmu karena kedapatan menduakan cintamu? Apakah dengan cepat kamu melupakan? Apa yang kamu rasakan? Bisakah maafmu bergulir kepada kekasihmu itu, sementara kekasihmu terang-terangan bilang berat meninggalkan rivalmu yang dia sayangi juga? Dan pada akhirnya, jika kekasihmu lebih memilih rivalmu itu, perasaan sakit apalagi yang akan kamu tanggung?
Jangan jawab pertanyaan-pertanyaanku ini jika memang kamu tidak mengalaminya. Cukuplah rasakan betapa sakitnya hatimu. Hatimu! Hati yang telah dengan tulus memberikan cinta, namun kekasihmu telah mengkhianatimu.
Sakit bukan? Sakitnya seperti apa? Apakah seperti diiris sembilu? Ya, tidak tahu! Kamu akan merasakan sakitnya seperti perasaanmu. Aku akan merasakan sakitnya seperti perasaanku. Perasaan sakit itu tidak bisa dibandingkan. Sulit rasanya! Sama halnya aku bertanya padamu yang belum pernah dikhianati kekasih hati. Tak akan bisa menjawab.
Dari pelukan malam, kusampaikan selamat merasakan rasa sakit itu. Semoga waktu demi waktu, sang rasa sakit itu memberikan kenikmatan demi mendapatkan rasa tak sakit yang lebih abadi. ***

Smg, 1 Mei 2007

Kamis, 19 Maret 2009

Menempuh Peziarahan Baru, Su...

Selesai sudah aku memuat tulisan-tulisanmu. Semua yang pernah kau bukukan dalam buku itu telah ada di sini. Memang, tidak dapat aku pungkiri bahwa ada tulisan dan ungkapan-ungkapan yang kurasa kurang tepat, sehingga terpaksa harus kusesuaikan.

Su, aku tidak tahu, sekarang ini kau sedang berada di mana dan sibuk dengan pekerjaan apa. Aku hanya mengingat tiga kali perjumpaan terakhir yang sempat aku rekam dalam benakku.

Perjumpaan pertama, ketika kau menginap di tempatku dan hendak berjumpa dengan pimpinan kita. Kita hanya sempat berbincang ringan. Rasanya, aku dan dirimu telah tahu akan situasi kita masing-masing. Aku tak mungkin mendesakmu untuk bercerita. Kau pun tahu bahwa pertemuan dengan pimpinan kita itu adalah titik awal suatu langkah yang hendak kau lalui. Itulah pertemuan terakhir kita dalam kebersamaan ini. Sejak itu, aku tahu bahwa pimpinan kita tak menghendaki dirimu untuk tetap bertahan bersama-sama aku. Kau, Su, akan menempuh peziarahan lagi.

Perjumpaan kedua, ketika kau datang ke tempatku untuk mengambil beberapa berkas penting milikmu. Waktu itu, aku sempat menjamu dirimu dengan makanan ala kadarnya dan minuman dingin air bening semata. Kita sempat bercerita tentang beberapa hal. Kutanyakan kabarmu dan kabar keluargamu. Kau jawab bahwa kau bertahan di Jawa untuk menemani adikmu sambil bekerja di tempat-tempat yang tak kau sebutkan. Kutanya pula keadaan beberapa kawan kita, namun dirimu tak mengetahuinya. Ya sudah! Mungkin memang kita tidak tahu kawan-kawan kita itu.

Begitulah yang bisa kutahu tentang dirimu, Su. Hingga di suatu saat, aku mendengar kabar bahwa kau telah kembali ke tempat asalmu di seberang lautan. Kudengar, kau tinggal di rumah orang tuamu. Beberapa saudaraku pun mengabarkan keberadaanmu itu.

Perjumpaan ketiga, aku sempat datang ke daerahmu. Ada seorang kawan yang mengajakku untuk bersama-sama ke daerahmu. Ajakan yang tak kutolak. Maka, aku pun berangkat. Ketika kawanku itu selesai dengan tugasnya, aku ajak dia untuk menengok rumahmu. Aku belum tahu, seperti apakah rumah dan keadaanmu saat itu. Syukur, kita bisa bertemu, Su! Berjumpa dalam keadaan yang sudah berubah. Rasanya begitu kikuk untuk berbincang-bincang. Apa yang hendak kita perbicangkan? Hanya basa-basi saja yang sempat terlontar. Aku sungguh tak memiliki bahan perbincangan yang banyak, kecuali bertanya tentang keluargamu. Aku hanya bisa mengganti perbincangan itu dengan jepretan-jepretan pada dua keponakanmu, Desta dan David.

Itulah perjumpaan terakhir kita, Su. Setelah itu, kita tak pernah berjumpa lagi. Kau telah menempuh perjalanan dalam peziarahan hidupmu yang baru. Entah, kini jalan mana yang kau lalui, aku tak pernah tahu lagi. Aku hanya ingin mendengar kabarmu yang terbaik. Sayangnya, berjuta kabar burung yang nyasar ke telingaku membawa berita yang selalu saja kurang menyenangkan. Jika kau baca tulisan ini, bisakah kau berkirim kabar akan dirimu yang sesungguhnya?

Semarang, 18 Maret 2009
(berjalan di lautan mega)




Senin, 16 Maret 2009

Karena Cinta, Kita Harus Berpisah? (2)


Aku tercenung ingat pengalaman lama itu. Pikirku, mengapa hal ini harus terjadi padaku dan pada dirinya? Apakah kehendak-Nya? Aku ragu. Aku tahu diri. Aku dan dia telah memilih jalan yang berbeda. Tetapi mengapa harus bertemu di tempat ini? Hujan sudah reda. Malam mulai larut. Situasi pun telah kembali di sini. Di ruang tamu kecil ini.

”Aku yakin kamu masih ingat awal jumpa kita. Baiklah kita saling mencintai sebagaimana awal kita kenal. Aku yakin Tuhan tak menginginkan selain kita saling mencinta dalam keadaan kita sebagai orang yang tak mungkin seterusnya bersama. Aku yakin itu. Sungguh, aku mencintaimu. Aku mendukungmu.”

Keheningan dipecahkan dengan suara lirihnya. ”Aku mencintaimu. Aku tahu hidup kita. Aku manusia!”

Dia memberontak pada dirinya. Tangannya tergenggam erat menahan perasaannya. Matanya memandang tajam kepadaku. Bibirnya bergetar. Tangisnya lirih terdengar olehku. Tiba-tiba, dia mendekapku. Aku tak kuasa menolaknya. Tubuhku terasa hangat. Kedua tangannya mendekap pundakku erat sekali. Dadaku dan dadanya bertemu. Jantungku berdegup kencang. Kencang sekali! Aku gemetar. Pipi halusnya menyapa pipi kiriku. Ini kali pertama aku merasakan.

”Kamu tidak sendirian. Cinta itu ada pada manusia. Manusia memilikinya. Karena memilikinya, manusia dapat memberikannya. Karena ada yang memberi dan menerima, itulah saling cinta. Kita juga begitu, kan? Bagaimana kita dapat berkata-kata tetang cinta dan bagaimana kita dapat mencintai orang-orang yang kita layani kalau kita tidak memiliki cinta. Milikilah cinta itu.”

Dia mengusap pipinya dengan sapu tangan. Matanya berkaca-kaca. Wajah cantiknya tidak layu karena tangis itu. Kini malam kian larut.

Aku dan dia bukan satu-satunya orang yang mempertanyakan dan meragukan hidup. Setidak-tidaknya, aku adalah temannya. Memang ada saat-saat tertentu yang sungguh mempertanyakan hidup ini. Saat cinta dua anak manusia yang mendalam dirasakan sebagai saat yang tepat untuk merencanakan hidup berkeluarga. Ini bisa dimengerti.

”Aku ingat ketika sore itu kita menjenguk pamanmu yang sakit. Dalam perjalanan, kita jatuh. Aku tak dapat menguasai motor sehingga oleng di belokan itu. Motorku remuk. Kita selamat. Luka pun tidak. Sungguh kita selamat. Coba kamu ingat! Lalu lintas sangat padat. Tapi kenpa kita tidak tertabrak kendaraan dari belakang kita? Mengapa kita terlempar ke tepi jalan? Mengapa kita selamat? Ini pertanyaan dari diriku yang selalu aku renungkan. Ternyata Tuhan sungguh mencintai dan mengasihi kita. Tuhan memperhatikan kita. Tuhan tidak menginginkan kita celaka. Kita masih harus hidup untuk mewartakan cinta dan kebaikan Tuhan itu. Inilah yang meyakinkan bahwa aku mencintaimu dalam hidup ini. Kamu masih dapat mendengarkan aku, kan?”

Dia membisu. Dia memandangiku dalam-dalam. Aku tak kuasa menolaknya. Kulihat dia menahan perasaan hatinya yang galau dan mungkin ruwet. Duduknya tak tenang.

”Aku tahu itu. Tuhan sungguh mencintai kita. Aku tidak meragukan-Nya. Peristiwa itu sudah kulupakan. Yang penting kita selamat. Bukankah begitu?” Aku tak menjawab. Aku menarik nafas panjang. Dia tak memahami maksudku.

”Aku harus menentukan pilihan. Doakan aku, ya.” Aku menghela nafas panjang dan menganggukkan kepala. Malam telah larut. Aku minta pamit. Dia mengantarku sampai di pintu gerbang.

Ini bulan Januari. Beberapa kali aku meneleponnya. Tetapi tidak ada tanggapan. Jauh hari yang lalu aku sudah merasa: Dia telah pergi dariku. Sementara itu, di sepanjang bulan Desember, doaku tiada hentinya buatnya. Kini sungguh terasa hambar. Dia terasa hambar di hati dan pikiranku. Rasanya sudah tiada lagi rohnya dalam diriku. Kehambaran itu semakin mendalam ketika kabar sampai di telingaku. Dia benar-benar telah pergi. Kini bukan lagi hambar, tetapi shock berat menimpaku. Kini dia telah pergi. Aku sadar walaupun aku dekat dengannya, ada banyak hal yang tidak aku mengerti pada dirinya. Aku yakin saja, dia telah memilih jalan yang tepat bagi hidupnya. Semoga bukan karena cinta itu, dia memilih pilihan hidupnya yang sekarang ini. Doaku untuknya dan keluarganya. (tamat)


30 Januari 2002

(disarikan dari file lain, 17 Desember 2002)

Jumat, 13 Maret 2009

Karena Cinta, Kita Harus Berpisah? (1)


Aku ingat ketika kami bertemu. ”Inikah diri kita?” tanyanya kepadaku.
”Ya! Ini diri kita saat ini. Selanjutnya dapat berkembang,” jawabku. Dia berpikir keras dan merenung. Berkerutlah dahinya. Dia masih ragu. Sementara, aku melihatnya tak berkedip. Dan dia merasakan pandanganku. Dia menatapku. Kami saling tersenyum. Jarinya menunjuk ke mataku. Aku pun menunjuk ke wajahnya dengan jariku.
”Kamu nakal!” katanya.
”Kamu juga,” sahutku. Kami tertawa.
”Inikah kita?” tanyanya.
”Mungkin,” jawabku. Kami terdiam. Masing-masing menekuri diri sendiri. Sepi.

Ini sore hari. Tampaknya akan turun hujan. Kami duduk di ruang tamu kecil miliknya. Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Bertelepon pun tidak. Entahlah, pagi ini, aku merasa ada sesuatu dengan dirinya. Aku menelepon dan datang ke rumahnya. Kami terlibat dalam pembicaraan serius.

Dia harus membuat keputusan. Ini menyangkut kehidupan berikutnya. Masa depan harus dipikirkan. Aku merasa ikut bertanggung jawab atas masa depannya. Setidak-tidaknya, aku ikut membantu dalam menemukan jalan pemecahan yang lebih tepat. Aku sadar, keputusan sepenuhnya ada padanya. Bila aku merasa ikut bertanggung jawab dan terlibat, itu sebagai kawan akrab saja. Kami sampai pada pertanyaan, ”Siapakah aku ini?” Dari pertanyaan itu, kami berharap dapat menemukan jawaban yang benar dan baik buat dia.

Kilat sesekali menyambar. Hujan turun. Bau tanah menyebar ke ruang tamu. Petir menggelegar dan mengagetkan kami. Kami terbangun dari keterdiaman.
”Hujan,” kataku.
”Ya,” jawabnya pendek.
”Ini November. Sudah mulai musim penghujan,” sambungku yang seakan lebih berbicara pada diriku sendiri.

Dia membetulkan posisi duduk. Dia tampak cantik sekali. Baju warna putih tampak cocok untuknya. Kulitnya sawo matang. Namun, aku malah menyebut kulitnya berwarna putih. Matanya tampak lembut. Selembut bibir dan wajahnya. Dirinya tampak kalem. Pembawaannya tenang dan halus. Namun, semangatnya tinggi dan berkemauan keras. Orang banyak sering menyebutnya ”gadis ayu”. Aku merasa memiliki dirinya. Perasaan, pemikiran, sikap, dan pembawaannya amat cocok denganku. Dia pun mengatakan begitu tentang aku.

Dulu, kami bertemu di dusunnya. Dia sedang liburan kerja dan aku live in di dusunnya. Suatu pertemuan yang luar biasa dan membawaku jatuh cinta serta membuatnya jatuh hati. Pada suatu malam, aku dan teman-teman yang sama-sama live in sedang bermain gamelan di rumah sebelah rumahnya. Tetangga-tetangga dekat berdatangan ingin melihat kebolehan kami. Di antara mereka itu, ada dirinya. Ini untuk kali ketiga aku melihat dia di antara tetangga-tetangga yang biasanya kutemui di dusun ini.

Waktu istirahat pun tiba. Beberapa gelas teh manis aku sikat. Aku tak mengerti kalau dia memperhatikan tingkahku yang serakah itu.

”Tambah lagi,” sapanya halus. Aku terkejut dan malu. Dadaku deg-degan! Aduh, ketahuan kalau aku serakah. Tapi aku sungguh haus. Kutata nafasku dan berusaha menjawabnya.

”Cukup, Mbak. Terima kasih,” kataku. Aku melihat ke arahnya. Kulihat matanya menatapku dengan tajam. Aku dibuat grogi. Aku berpikir keras, apa yang harus kulakukan? Sialan, umpatku dalam hati. Tatapannya luar biasa. Apalagi senyumnya itu. Sungguh luar biasa! Putri kahyangan turun ke bumi dan anjlok di dusun yang jauh dari keramaian ini.

”Namaku N,” katanya sambil memperkenalkan diri. Aku gelagapan tak karuan. Aku semakin grogi saja. Sungguh tak kusangka ini akan terjadi.
”Namaku...e...e...M,” jawabku. Tanganku gemetar menyambut tangannya. Halus. Sungguh halus.
”Yuk, ke rumahku,” ajaknya.
”Ke rumahmu? Eh, latihan ini belum selesai, Mbak,” jawabku kaget dan sekenanya.
”Kita lewat belakang saja,” lanjutnya. Waduh!
”Sebentar lagi, ya Mbak. Eh, eh...sudah akan selesai kok,” jawabku. Kulihat dia mengangguk. Aku sudah tak dapat berkonsentrasi dalam latihan gamelan. Pikiranku kacau. Kok tiba-tiba ada gadis yang begitu saja mengajakku ke rumahnya? Begitu latihan selesai, aku meninggalkan arena latihan. Aku pun pergi ke rumahnya tanpa harus lewat pintu belakang. Ah, duhhh....!

Aku duduk berhadapan dengan dia! Beberapa saat, kawan-kawanku pun datang ke rumahnya. Mungkin, mereka mencarinya. Tapi nasib baik jatuh padaku. Aku masih tak mengerti, apa maksudnya untuk mengajakku ke rumahnya, padahal ini pukul 21. 45.

”Rasanya kita sudah pernah bertemu,” katanya, ”tapi di mana, ya?” Aku berpikir keras untuk mencari kata yang tepat.
”Mungkin di dalam mimpi, Mbak,” sahutku beberapa saat. Dia hanya tersenyum.
”Kamu mirip teman karibku di kota M sana. Sungguh mirip. Kita bisa berteman, kan?” tanyanya. Aku tak paham dengan apa yang dikatakan olehnya.
”Temanmu? Mirip?” tanyaku menegaskan.
”Ya!” tegasnya. Aku terhenyak. Wajahku terasa panas.
”Kamu kaget, ya?” sahutnya. Mati aku! Dia tahu perubahan wajahku.
”Jadi, bisa kan kita bersahabat?” ulangnya.
”Mbak, aku bukan teman Mbak itu. Aku orang baru bagi Mbak. Jika Mbak menganggapku orang baru, aku tak keberatan,” kataku. Ah, aku telah menemukan diriku. Cerdas! Dia sesekali menatapku tajam. Dia lalu bercerita tentang temannya di kota M itu.

”Namanya Sxxxx. Kami akrab. Tetapi sekarang dia sudah menikah,” katanya. Kulihat dia menarik nafas dalam-dalam. Ada kenangan yang diingatnya.
”Menikah dengan siapa, Mbak?” tanyaku ingin tahu.
”Kekasihnya.”
”Lah....terus...Mbak ini?”
”Aku hanya teman biasa. Ia dinikahkan dengan pilihan orang tuanya.”
Oh, begitu! Aku melihat dalam-dalam ke wajahnya. Dia memang ayu. Aku menikmatinya. Tampaknya, dia berusaha melupakan kenangan dengan teman biasanya itu.

”Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kita bisa bersahabat, kan?”
”Saya kira, kita bisa bersahabat dengan siapa saja, Mbak. Tapi aku takut kalau Mbak menyamakan aku dengan teman Mbak itu. Nanti Mbak bisa kecewa. Aku yakin aku bukan dia. Aku orang baru bagi Mbak. Begitu pun Mbak bagiku.”
”Baiklah. Aku berjanji. Kamu orang baru bagiku. Kita bisa memulainya, kan?”
”Ya! Kita bisa berteman. Atau kita...eh...em...,” kata-kataku tak bisa kulanjutkan. Takut menyinggung perasaannya.
”Kita apa, hayo? Pacaran! Begitu?” sahutnya cepat sambil tertawa kecil
”Begitu juga kan maksudmu?” tanyaku tak ingin kalah.
”Mungkin....”
”Kok mungkin?
”Hei! Serius ya? Kamu kok ngejar?” sahutnya lagi. Aku malah menjadi penasaran. Aku tersipu malu. Tapi aku yakin, ini keinginannya yang sesungguhnya. Aku dibuatnya gelagapan. Penasaran! Ini rencananya! Ini skenarionya! Dia luar biasa cerdasnya!

(bersambung)

Kamis, 12 Maret 2009

Karena Cinta, Kita Harus Berpisah?

Sekedar Pengantar

Inilah catatan terakhir yang bisa aku muat dalam blog ini. Tulisan ini, rupanya adalah sebuah cerita pendek yang dibuat oleh Supratiknya. Inilah satu-satunya tulisannya yang berbentuk cerita pendek. Sebelum dan sesudahnya, Pratik tak pernah menulis cerita. Dia lebih banyak menuangkan ide dan perasaannya dalam bentuk puisi. Cerita ini lahir berdasarkan kisah nyata Pratik ketika menjalani suatu live in (semacam KKN) di Dusun Gempal, Borobudur, Magelang. Di situlah Pratik berjumpa dengan seorang gadis yang mampu menorehkan suatu perasaan di hatinya. Aku sungguh-sungguh tidak menyangka bahwa ”batu karang” seperti Pratik dapat luluh di mata seorang gadis yang baru saja dikenalnya. Begitulah perasaan! Tak akan pernah bisa ditebak. Seperti juga awan yang berarak di langit. Tak bisa ditebak kapan muncul dan kapan akan pecah berpendaran karena terpaan angin. Aku membenahi beberapa kata dan ungkapan. Dengan demikian, tulisan ini sudah aku edit terlebih dahulu. Tunggu terbitannya dalam blog ini, beberapa waktu ke depan....

Jumat, 06 Maret 2009

Detik2 Akhir

Tulisan-tulisan milik kawanku ini, sudah memasuki tulisan-tulisan akhir. Terima kasih untuk semua saja yg berminat untuk bertaut di blog ini. Aku belum tau rencana ke depan. Apakah blog ini akan kudedikasikan buat dia dengan menutupnya. Ataukah akan kulanjutkan dengan tulisan-tulisanku sendiri.

Supratiknya, terima kasih atas sumbang tulisanmu.



Dari kiri ke kanan: Albert, Tri, dan Supratiknya saat reuni tahun 2005

Kamis, 05 Maret 2009

Sate di Siang Hari

Aku liburan kuliah. Hampir sebulan penuh aku di rumah dan mengerjakan berbagai tugas yang tak tersentuh selama kuliah berlangsung. Suatu hari, aku merasa penat dan 'sumpek'. Aku perlu istirahat dan rekreasi, pikirku. Aku berjalan-jalan di sepanjang Jalan A. Yani, Jalan Malioboro, dan Pasar Beringharjo. Ini tiga serangkainya kota Yogyakarta.
Kutelusuri jalan Panembahan Senopati. Para penjual akik berjajar berdampingan dan para penjual gambar dan bingkai di sebelahnya. Mereka mencari rejeki dari pagi sampai petang, bahkan malam. Mereka mencari nafkah untuk hidup mereka. Sebentar aku melihat-lihat akik. Ada berbagai warna akik dari harga yang murah sampai yang cukup mahal. Kita dapat menawarnya.
Aku melanjutkan perjalananku menuju ke perempatan Kantor Pos Besar. Aku belok ke arah utara, ke Jalan A. Yani. Melalui trotoar depan Benteng Vredebrug, kulihat para penjual bakso dan es berjajar. Lalu aku menyeberang ke sisi barat. Para penjual pakaian, aksesories, jam tangan, topi, gantungan kunci, tato, berjajar di depan toko di sepanjang Jalan A. Yani. Begitu juga di sepanjang Jalan Malioboro.
Ini siang hari. Aku yakin di antara orang yang berbelanja ada pula yang seperti aku ini. Apalagi di Mall Malioboro. Kalau di Mall, aku ke Gramedia untuk membaca buku. Tak perlu beli, aku dapat membaca berbagai buku yang tak bersegel. Lumayan! Terima kasih Gramedia! Kapan aku keluar dari Gramedia? Jika aku sudah merasa lelah dan atau cukup lama. Kadang-kadang, aku membeli buku, walaupun lebih mahal daripada di shopping. Tempat ini pusatnya penjualan buku di kota Yogyakarta. Apa sih yang menarik dan yang bermakna dari acara jalan-jalanku ini?
Coba pergilah dan berjalanlah di sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan A. Yani, baik menelusuri sisi barat maupun timur. Para pedagang kaki lima berjualan di depan toko-toko. Dapat dikatakan, di sepanjang Jalan A. Yani dan Malioboro penuh sesak dengan para pedagang. Mereka mencari nafkah dan rezeki untuk kebutuhan hidup mereka, untuk cita-cita ke depan, dan saat ini agar dapat makan. Sepertinya cita-cita ini sederhana, tetapi sebenarnya sarat dengan tantangan dan perjuangan yang mungkin malah tidak (pernah) tercapai.
Seperti para penjual akik itu, mereka berjualan dari pagi sampai petang, bahkan malam, dengan mengumpulkan keuntungan dari Rp 100,00 sampai Rp 1.000,00, syukur-syukur di atas Rp 10.000,00. Mereka dengan setia dan sabar menunggu para pembeli. Ya, mereka sabar menanti! Menanti dari tahun lalu ke tahun sekarang dan seterusnya. Mereka masih berjualan seperti itu. Ini menjadi soal hidup-bisnis-cita-cita. Mereka harus mempertahankan hidup, maka mereka perlu sarana untuk hidup. Mereka hidup bukannya sendirian, tanpa masyarakat, tanpa tata tertib dan hukum. Ini segi dimensional hidup. Karena ada tata tertib bermasyarakat, bukan berarti mereka tertib. Maka tak jarang mereka perlu ditertibkan. Pemerintah kota merasa bertanggung jawab atas ketertiban ini. Ini bukan hanya soal tertib, tetapi soal keindahan, kebersihan, dan sebagainya. Ini bukan barang baru, tetapi barang lama yang dapat selalu menjadi baru. Persoalannya tetap menjadi masalah. Artinya tak terselesaikan. Mengapa? Ini soal hidup. Coba jika mereka ditertibkan (digusur) dari Malioboro, maka Malioboro akan tertib, tertata rapi, dan indah. Ini Malioboro. Lha orang-orang yang ditertibkan itu? Mereka tetap hidup, tetap memerlukan rezeki, tentram, aman, dan sejahtera.
Akhirnya, mereka dari dulu sampai sekarang seakan-akan sudah ”ginaris” untuk menjadi orang kecil. Karena orang kecil, mereka perlu di ”besarkan” menurut orang-orang yang merasa bertanggung jawab. Akhirnya diusahakan dengan berbagai program. Kita hargai dan dukung program itu. Akan tetapi, sampai sekarang mereka tetap menjadi orang kecil, bukan menjadi orang besar. Mengapa? Lha wong yang mau menjadikan besar juga orang kecil. Orang-orang itu tetap manusia. Ini klasik saja. Mereka juga memerlukan rezeki. Program itu proyek besar yang ada rezekinya. Mereka ingat rezekinya itu dan lupa orang kecil yang sangat membutuhkan rejeki. Syukurlah kalau ada yang ingat. Ini berputar-putar dari dulu sampai sekarang. Nah, orang kecil tetap kecil. Cita-cita hidup tentram, aman, dan sejahtera tetap menjadi cita-cita karena belum tercapai. Padahal cita-cita itu milik orang kecil dan orang besar. Jadi orang besar pun belum merasa tentram, aman, dan sejahtera. Kalau mereka saja belum merasa tentram, aman, dan sejahtera, apalagi orang kecil. Orang kecil tetap orang kecil. Pada akhirnya, bisnis dan cita-cita orang kecil yang tetap kecil.
Aku kini melihat diriku yang sedang berekreasi di antara orang-orang kecil yang berjuang untuk menjadi ”besar”. Kalau begitu, aku menikmati orang-orang kecil, bukan? Lha ini! Aku berpikir begini karena aku ada dalam situasi ”memikirkan” mereka. Bagaimana aku menikmati ”kekecilan” mereka kalau aku sendiri orang kecil? Bagaimana aku menjadikan mereka sebagai objek rekreasi? Mereka objek tetapi tidak melulu, tetapi subjek juga. Mereka memerlukan keadilan. Kalau begitu apa yang dapat aku lakukan? Aku punya mulut untuk menyapa mereka, punya bibir untuk senyum pada mereka, punya iman untuk berdoa bagi mereka. Ini harta orang kecil sepertiku. Lha kamu, apa yang kamu lakukan? Salah satunya, jika punya uang, beli saja barang mereka. Tentu saja, jika barang yang kamu perlukan tersedia di sana.
Ini yang berat. Kita harus rendah hati. Artinya tidak gengsi. Kita harus menawar dan tidak malu dilihat orang lain, apalagi orang itu baru saja keluar dari Mall Malioboro. Siapa lagi kalau bukan kita yang memperhatikan mereka? Ini tidak mudah, tetapi keharusan. Antara pikiran, hati, dan perasaan bercampur baur. Kulanjutkan perjalananku.
Siang ini, Pasar Beringharjo penuh orang. Aku sampai di los penjual VCD. Aku berhenti di los itu dan melihat-lihat VCD. VCD lagu India dan film India dominan.
”Ini film India baru Mas. Murah kok. Yang di sana itu lagu-lagu India. Goyangnya asyik, Mas. Murah,” rayu seorang penjual kepadaku. Aku tersenyum saja mendengarnya.
”Lihat-lihat saja, Mas. Indianya laku keras, ya,” sahutku.
”Lumayanlah,” jawab penjaga los itu.
”Laku ni ye!” Suara cewek di los sebelah menyahut obrolan kami. Aku melirik sedikit. Lumayan seksi.
”Senang lho kalau laku. Di sini juga jualan, Mas! Ada bermacam-macam dagangan. Ini ada sate. Sate kambing muda, sapi muda, ayam muda. Ada sate kuda muda, Mas! Harganya murah dan bisa ditawar!” sambung gadis itu.
Aku terkejut. Jualan sate? Padahal itu los pakaian. Aku bingung. Mas yang di los VCD tersenyum.
”Mas, ini sate bergerak. Sate hidup. Sate hangat,” kata penjaga los itu sambil menerangkan padaku. Aku baru sadar. Itu ”sate” dalam tanda petik. Oh!
Aku pergi teratur dan berkata dalam hati. ”Inikah orang kecil yang tetap kecil? Yang mengejar asa tentram, aman, dan sejahtera. Demi asa, mereka bekerja keras, keras sekali, sampai lupa dan melupakan kalau yang diperdagangkan itu dirinya sendiri. Tapi aku bisa apa? Ya Tuahn, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Penuhilah mereka dengan rahmat-Mu dan berilah mereka hari ini ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan.


31 Januari 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada) disarikan dari file lain, 17 Desember 2002