Sabtu, 15 November 2008

Kisah Sang Guru Dan Murid



ilmu dan sesama

Dengarlah kisahku:
Pada suatu waktu yang telah berlalu, aku dididik dan dibimbing oleh sang Mpu Ilmu. Wejangan dan tempaan terus-menerus mengisi aku yang hidup pasrah atas kehendak Yang Maha Atas, bekerja keras, dan berdoa. Kata sang Mpu, ”Nak, ilmu tersedia di alam bebas. Ilmu mengalir bersama dan dalam air mengalir. Ilmu berhembus bersama dan dalam angin. Kematianlah yang menghentikan belajarmu.” Aku menaruh hormat pada sang Mpu. la bijak laksana Salomo dan kusebut suci.

Dalam kisah, aku murid yang dulu merangkak, berdiri tertatih-tatih, kini berdiri dan duduk, bersila dan bersujud bersama sang Mpu. Sang Mpu membuka hati, budi, roh, dan badanku yang sekarang lebih perkasa dari Sang Mpu yang telah bungkuk. Aku minta tolong dengan segala hormat dan rendah hati. Pada saat itu, aku mulai mengulum bibirku yang kering, pahit, manis, kecut, dan masam. Pundakku terasa berat dan jalanku tertatih-tatih sempoyongan. Ototku mekar. Sang Mpu membantu membentuk aku. Pada saat itulah aku merasakan adanya perubahan.

Pagi, siang, petang, dan malam Sang Mpu seperti tak mengenal lelah mewejangku. Suaranya berat. Tertunduk menantang bumi. Alam sebagaimana aku selalu rindu mendengarkan ajarannya yang bijak penuh cinta. Kini Sang Mpu telah sangat tua. Suaranya sangat serak dan parau. Tidak jelas. Berdiri tak mampu. Bergerak pun serasa enggan. Aku sang murid mati-matian membahasakan serak suaranya dan geraknya yang lambat dan halus. Aku tak ingin kehilangan ilmu darinya. Suatu saat pertentangan batin telah semi bersama keringat yang terus mengucur semakin deras, ladang-ladang hati yang haus dan kering. Berseminya bibit manusiawi sang murid terasa tumbuh.

Tahukah engkau tentang bibit-bibit itu? Bibit itu adalah sabda Sang Mpu yang kurenung dan kuselami ketika kitab Sang Mpu dibacakan dan sang murid menerjemahkan ke dalam bahasa bumi yang jujur dan polos. Mengapa? Sang Mpu mengajar dalam bahasa para malaikat dan bertindak dalam ilusi sang nabi. Kata sang Mpu, ”Nak, tiada sekat di antara kita. Nak, tua dan muda adalah ukuran yang kita kenakan. Nak, Sang Mpu dan murid itu sebutan kita saja. Semua adalah sesama. Inilah inti hidup kita. Karena kita berasal dari satu sang pencipta yaitu Sang Hyang Wasa.”

Sang murid berkata, ”Mpu, lihatlah di sana! Itu bos. Itu bawahan. Itu pemimpin. Itu anak buah. Itu majikan. Itu buruh. Itu rakyat. Itu kere. Sementara itu, Mpu mengatakan bahwa kita sesama. Kita satu ciptaan. Kita tanpa sekat. Ini struktur apa, Mpu?” Kata Mpu, ”Nak, Sang Yang Jagad Suci memberikan ciptaan-Nya kepada semua. Semua menjadi pengelola. Atas kemauan manusia, manusia menciptakan tatanan dunia manusia. Aku ingin mengajakmu untuk kembali berpikir atas pikiran Sang Pencipta. Kau akan kembali kepada sang Pencipta, bukan kepada manusia. Di dalam Sang Pencipta, engkau menemukan hakekat ciptaan dan sesama ciptaan. Di sana akan kau temukan arti hidupmu yang bebas dan menemukan inti kebebasanmu. Karena kamu menemukan inti kebebasanmu kamu juga akan menemukan sesamamu yangjuga bebas. Dalam kebebasan itu, manusia merdeka terhadap hidupnya, atas kehidupan yaitu hidup di hadirat Pencipta. Hidup di hadirat Pencipta berarti hidup di dalam sinar dan terang Pencipta. Jika demikian, hidup dalam kebebasan, terang dan sinar sang Pencipta adalah hakekat kebebasan ciptaan yang hidup di hadirat-Nya. Nak, kecerdasanmu menangkap ilmu Mpu membebaskan engkau dari kepicikan. Kamu katakan: ini bos, ini bawahan. Jika ini suatu keserasian hidup untuk berkembang bersama dalam hadirat-Nya perlakuan sebagai bos dan bawahan bukanlah perlakuan dunia yang terjadi tetapi perlakuan sebagai sesama ciptaan yang bakal terjadi. Nak, sebutan kere dan rakyat, kaya-miskin tidak ada jika mereka memandang dan hidup dalam terang Sang Pencipta. Karena Sang Pencipta adalah sang adil, tentram, damai, dan sejahtera. Keserasian dan keseimbangan adalah Dia.

Dan, hal ilmu aku ingin menyampaikan pesan untuk kamu olah. Adakah harta yang tidak akan binasa? Harta yang tidak binasa itu harus kamu temukan dalam hidupmu, bukan dalam hidupku. Harta itu tidak terpendam dan tidak tersembunyi, tetapi ada di setiap kamu berada. Masalahnya adalah apakah matamu melihat atau tidak, tanganmu dapat menggenggam atau tidak, hati-budi-rasamu dapat menangkap atau tidak. Ini hal biasa dan bisa menjadi tidak biasa. Akankah kamu berpikir aku akan bermimpi dan dalam mimpiku aku berhasil menangkap inti sejati cinta? Itu dalam mimpi. Nak, inilah ilmu yang tidak akan musna yang Mpu punya. Tapi ingat Mpu sesamamu yang lebih dulu hidup saja.”

Sang Mpu telah tiada. Di atas makamnya tumbuh bunga melati dan mawar yang setiap saat mekar. Murid berziarah atas hidupnya. Sang murid adalah murid dari murid-Nya. Kini murid itu tumbuh dewasa di setiap tempat. Murid itu adalah aku dan kamu.


Februari 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

Tidak ada komentar: