Kamis, 13 November 2008

Ayam Jantan Wiring* Kuning



Sore itu, 23 Desember 2001, aku dan bapakku menyaksikan suatu acara dalam TV Indosiar. Bapakku duduk di sebuah kursi dan aku duduk di tikar di depan bapak di samping timur. Ruang kecil tempat rekreasi keluarga kami. Sebuah TV Konka Sharp yang cukup besar berada di ruang itu. Kami bercakap-cakap ke sana-ke mari dengan sesekali menyaksikan acara di Indosiar.

Awal percakapan kami adalah tentang padi. Padi tanaman bapak di sawah belakang dusun. Padi Sari Wangi pemberian Rm. Joko telah ”meteng nom”.
”Rm. Joko itu mempunyai perhatian yang besar kepada umat, terutama petani. Beberapa tokoh umat diberi bibit Sari Wangi, di antaranya bapakmu. Aku tidak tahu, kok diberi. Sekarang yang ditanam itu yang hari Minggu lalu kamu semprot ulatnya. Aku senang. Padi itu bagus dan subur, lebih ’genjah’ dari 64,” kata Bapak.
”Kalau begitu, Rm. Joko disenangi umat, ya Pak!” kataku pada Bapak.
”Ya!,”, jawab Bapak pendek.
Lama kelamaan kami larut dalam percakapan. Ini kangen-kangenan kami. Sharing dan cerita kami. Rasanya semakin hangat dan mesra saja. Maklum sudah cukup lama aku tidak bertemu Bapak sejak tahun 1999 lalu. Kulihat Bapak menerawang jauh di atas TV. Seakan-akan ia mengingat sesuatu di masa lalu. la menghembuskan napas pelan dan memperbaiki posisi duduknya. Aku memandanginya dalam-dalam. Bapak tampak semakin tua, keriput pipinya tampak sekali, kerut dahinya menambah ketuaannya. Namun, rambutnya tetap hitam legam. Katanya, ia mempunyai doa khusus untuk rambut itu. la tetap tegas dan bijak. Penduduk desa segan dan hormat pada Bapak karena kebijaksanaannya.
”Aku ingin bercerita tentang kamu,” kata Bapak memecah keheningan. Aku terbangkitkan dari kekosongan.
”Tentang apa, Pak!,” tanyaku.
”Mengapa kamu dulu tidak boleh masuk tentara. Ini ada sebabnya. Aku ingin menceritakannya. Kamu biar semakin jelas,” kata Bapak mantap.
”Baiklah! Bagaimana ceritanya, Pak!” kataku sambil membenahi posisi dudukku. Aku sungguh tertarik untuk mendengarkannya. Berceritalah bapak kepadaku.
”Dulu sebelum kakak-kakakmu lahir, aku selalu mimpi. Aku mimpi mendapatkan burung. Maryuli burung Perkutut. Narlim burung Jalak. Mimpi itu kurenungkan. Pasti ada maknanya. Burung perkutut itu banyak dipelihara orang karena indah dan merdu suaranya. Ada kekuatan magis pada burung itu, menurut kepercayaan orang Jawa. Begitu pula burung Jalak. Indah, merdu, dan rumahan burung itu. Pastilah anak perempuan yang dikandung ibumu itu. Dan, benarlah demikian. Burung dalam mimpi itu aku tangkap sebagai wahyu. Wahyu yang memberikan tanda bahwa anakku akan lahir perempuan. Gusti Allah berbicara dalam mimpi itu. Wahyu itu juga aku terima ketika ibumu mengandung kamu. Begini ceritanya.” Bapakku memperbaiki posisi duduknya, mendehem dan mengangkat wajahnya.
”Waktu itu, dalam mimpi, aku berjalan di suatu pegunungan. Jalannya menanjak tinggi. Sungguh tinggi. Aku terus berjalan dan pada akhimya aku sampai pada puncak gunung yang tinggi itu. Di puncak itu kulihat sebuah rumah tua dari bambu dan di dalamnya ada seorang kakek tua berjenggot panjang dan berambut putih. Aku dipersilahkan mampir dan masuk. Aku diberinya segelas air. Sungguh segar dan sejuk. Di halaman rumah depan, kulihat seekor ayam jantan muda berwarna wiring kuning dalam kurungan yang terbuat dari bambu. Ayam itu trondol. Bagus dan menarik. Orang seperti begawan itu mengatakan kalau ayam itu untukku. la berkata berupa pesan, ’Peliharalah! Biarlah ia ada dalam kurungan. Jangan kamu lepas. Kalau kamu lepas, nanti liar dan berbahaya. Nanti menjadi besar. Apa kamu sanggup memeliharanya?’ Aku menyanggupi permintaan begawan itu. Aku mengingatnya selalu. Pesan itu tak kulupakan. Ayam jantan muda wiring kuning trondol aku bawa pulang. la aku kurung.”
Bapak terdiam sebentar. la mengingat sesuatu yang akan dikatakannya. la menerawang jauh ke dalam dirinya. Sementara itu sore semakin gelap. Neon kuhidupkan. Cahaya TV dan neon menjadi satu dan terang. Aku mengingat-ingat semua cerita Bapak. Aku mencoba memahaminya.
”Cerita ini ada kaitannya dengan hidupmu,” sambung bapak, ”mimpi itu aku tangkap sebagai wahyu sebagaimana mimpi pada kakak-kakakmu. Ayam jantan wiring kuning trondol, gagah, gede, bagus. Ini tanda bahwa aku akan mendapatkan anak laki-laki. Itu benar! Ibumu melahirkan kamu. Laki-laki. Lahirmu seperti lahirku di Rabu Legi. Kamu semakin besar. Kamu ingin menjadi tentara. Aku ’lelimbang’ bukan tentara bersenjata ’bedil’. Kamu tidak akan menjadi tentara. Aku tidak setuju. Kamu harus dikurung supaya tidak liar dan tidak berbahaya. Aku menangkap makna dikurung: artinya hidup di dalam biara. Dikurung itu artinya hidup membiara. Sebab itulah aku tidak setuju kamu menjadi tentara. Begitu juga ibumu. Aku sadar kamu tidak dapat kupegang sebagai milik pribadi, milik keluarga. Kamu milik banyak orang. Tetapi, aku rela dan bersyukur dapat menepati janjiku. Waktu itu sore hari seperti ini, kamu mengatakan kalau kamu ingin masuk bruder. Aku tidak berpikir banyak, langsung setuju. Aku memberi restu. Ini kulakukan karena wahyu itu. Aku janji ayam wiring kuning itu harus dikurung. Artinya harus dipersembahkan kepada Gusti Allah. Aku tidak berkeberatan.”
Bapak berhenti sejenak dan batuk kecil. la mengusap mulutnya dengan jemari tangan kanannya. Aku larut dalam emosi dan rasa cerita bapak. Aku mulai melihat perjalanan hidupku. Aku mengangguk.
”Mengapa Ibu juga tidak setuju kalau aku jadi tentara?” tanyaku.
”Ibumu trauma. Dulu sering melihat tentara latihan. Lari, merangkak, ditendang, dipukul, perang. Ibumu tidak tega, apalagi kamu anak laki seorang. Ibumu takut kehilangan kamu,” jawab bapak.
”Mengapa aku boleh jadi bruder?” tanyaku lagi.
”Ibumu ikut aku. Selanjutnya, ibumu melihat hidup Bruder Al. Marmo yang baik, sabar, dekat dengan umat, bijaksana, dan suci. la menjadi tidak berkeberatan kalau kamu jadi bruder. Aku selalu berdoa untukmu. Kamu ’ginaris’ sebagai biarawan,” jawab Bapak mantap.
Aku menghela napas panjang. Seluruh perasaanku tertuju pada cerita Bapak, pada diri Bapak, pada diri Ibu, dan pada diriku sendiri. Aku menyelami diriku. Cerita Bapak sungguh aku dengarkan. Aku tak ingin kehilangan cerita ini. Mataku berkaca-kaca.
”Terima kasih, Pak!” kataku dalam hati. Aku telah berziarah bersama cerita Bapak. Bapak menunjukkan cintanya padaku dan menjadi nabi bagiku.


30 Desember 2001 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)

*WIRING: Bulu ayam bangkok jantan yang paling populer dan berkelas adalah warna wiring. Corak warna ini adalah terdiri dari warna dasar hitam dengan bulu rawis leher dan rawis ekor berwarna kuning kemerahan. Jika warna rawis yang dominan adalah kuning keemasan, maka disebut sebagai WIRING KUNING. Jika warna rawis cenderung merah tua kecoklatan disebut WIRING GALIH.

Tidak ada komentar: