.jpg)
”Kalau gitu, nanti pulangnya lewat Solo Baru,” kata Mas Step. Akhirnya, karena akan melewati Solo Baru, perjalanan tentu membelah jantung kota Wonogiri. Perjalanan siang yang lumayan jauh dengan udara panas. Maklumlah, mobil sewaan murah, jadi tanpa pendingin udara. Panas plus lapar! Jadilan ngantuk! Penumpang lain seperti Mas Har, Mas Jito, Dik Djoko, termasuk aku, segera terbuai!
Selepas kota Wonogiri, tepatnya ketika melaju di Jalan RM. Said, aku memelekkan mata. Dik Djoko pun ternyata sudah bangun. Mas Step berceletuk, ”Mau mbakso, gak?” Tentu saja tawaran menggiurkan ini tak kulewatkan. “Mau! Kapan lagi kalau tidak sekarang,” jawabku cepat.
.jpg)
Begitu mobil diparkir, aku segera keluar
.jpg)
Inilah pengalaman menarik itu! Bukan masalah bakso dan warungnya ternyata! Namun, ada adegan yang benar-benar berbeda! Di pintu masuk warung, yang terbagi dua ruangan, satu ruang lesehan dan satunya ruang meja kursi, duduk dua orang kakek-nenek. Mereka bukan pengemis! Sang Kakek berpeci. Jemarinya asyik bermain-main di atas benda yang kutahu itu sebuah alat musik. Sebuah siter, alat musik Jawa! Jempol dan jari-jemari lainnya dengan lincah memetik-metik dawai siter itu, sehingga mendentingkan nada-nada lembut nan menggoda telinga. Merayu kaki untuk segera masuk dan berleseh di hamparan karpet. Seakan menarik kepala untuk disenderkan di dinding warung sambil menunggu pesanan datang.
Di sebelahnya, duduk sang Nenek sambil melantunkan tembang-tembang Jawa. Raut tuanya tak menggoreskan lagu fals! Nada-nadanya pas dan indah, seiring dengan petikan dawai siter itu. Terdengar kompak, serasi!
.jpg)
.jpg)
Saat aku menikmati bakso pesanan dan minuman dingin, kudengar ”senggakan” dari sang Kakek. Beberapa saat, ketika dentingan berhenti sementara, suara sang Nenek pun terdengar lembut, merdu. Tembang Caping Gunung mengalun dari mulut keriputnya.
Ah, paduan nuansa yang tak pernah kubayangkan akan kutemui di tempat ini!
”Kurang lebihnya tiga tahun saya di sini,” jawab Mbah Soyo, sang pemetik siter itu saat kuajak berbincang sejenak. Sementara, sang Nenek, Mbah Siti Suwarni, menimpali dengan sebuah senyuman tipis.
Menurut Mbah Soyo, kebiasaan menghibur para pembeli itu tak hanya di Warung Bakso Raksasa. Mereka juga menghibur pembeli di Warung Pecel Bu Sum, sebuah warung nasi pecel yang letaknya tak begitu jauh dari Warung Bakso Raksasa ini.
”Gantian harinya,” tambahnya sambil menghentikan permainan jemarinya di sela-sela barisan dawai siter dan menyambut uluran tanganku. Mbah Soyo kemudian menjelaskan hari-hari kapan dia berada di Warung Bakso Raksasa dan hari-hari kapan di Warung Pecel Bu Sum. Kuanggukkan kepala dengan timpalan sepotong-potong kata.
Aku hanya bisa menjabat tangan mereka dan hanya bisa menjatuhkan selembar uang seribuan di kotak yang ada di depan mereka. Sebenarnyalah, itu sungguh-sungguh bukan upah yang setimpal. Aku hanya bisa menambah dengan jabat tanganku.
Panas terik. Akan tetapi, dentingan siter itu serasa mengirimkan berlaksa angin segar dari puncak bukit hijau di punggung Pegunungan Seribu! Masih sampai kapan, Mbah Soyo dan Mbah Siti Suwarni bertahan untuk mendentingkan nada-nada jiwa selembut sutra itu? ***
Ah, paduan nuansa yang tak pernah kubayangkan akan kutemui di tempat ini!
”Kurang lebihnya tiga tahun saya di sini,” jawab Mbah Soyo, sang pemetik siter itu saat kuajak berbincang sejenak. Sementara, sang Nenek, Mbah Siti Suwarni, menimpali dengan sebuah senyuman tipis.
Menurut Mbah Soyo, kebiasaan menghibur para pembeli itu tak hanya di Warung Bakso Raksasa. Mereka juga menghibur pembeli di Warung Pecel Bu Sum, sebuah warung nasi pecel yang letaknya tak begitu jauh dari Warung Bakso Raksasa ini.
”Gantian harinya,” tambahnya sambil menghentikan permainan jemarinya di sela-sela barisan dawai siter dan menyambut uluran tanganku. Mbah Soyo kemudian menjelaskan hari-hari kapan dia berada di Warung Bakso Raksasa dan hari-hari kapan di Warung Pecel Bu Sum. Kuanggukkan kepala dengan timpalan sepotong-potong kata.
Aku hanya bisa menjabat tangan mereka dan hanya bisa menjatuhkan selembar uang seribuan di kotak yang ada di depan mereka. Sebenarnyalah, itu sungguh-sungguh bukan upah yang setimpal. Aku hanya bisa menambah dengan jabat tanganku.
Panas terik. Akan tetapi, dentingan siter itu serasa mengirimkan berlaksa angin segar dari puncak bukit hijau di punggung Pegunungan Seribu! Masih sampai kapan, Mbah Soyo dan Mbah Siti Suwarni bertahan untuk mendentingkan nada-nada jiwa selembut sutra itu? ***
4 komentar:
Mas, mbah2 sejoli pemain siter dan sindennya itu berhak mendapat lebih dari 1000 perak. Lha honornya sebagai "foto model", belum sampeyan bayar.
Wis, kalau ke sana lagi, bayaren sing akeh...
Btw, alamat emailku:
prihardianto@yahoo.co.id
Silahkan kalau mau kirim2 gambar, kabar atau apapun.
Salam.
Ha...ha...ha...! Bener je Om! Dadi gak enak kiii...! Suk neh ke sana lagi! Tapi bentar lagi bakalan adoh je Om! meh pindah nggon tempat kerjaku jeee...piye jal? Dikirim donga piye ya?
enak banget bang, makan2..
mana oleh2nya???
Wenz...
Ha...ha...ha...! Oleh2nya? Yaa...crita ini aja buatmu! Kik...kik...kik...!
Posting Komentar