Rabu, 01 April 2009

Dua Email

Aku gak tau lagi gimana caranya menghubungimu. Aku kirim email, gak ada balasan. Aku ke tempatmu, gak ada. Aku telpon, kamu pergi. Apa aku benar-benar sudah kehilangan seseorang yang pernah dekat dengan aku. Yang selalu panggil aku ”Teteh...” Aku memang pernah meninggalkanmu waktu aku ke B dulu. Aku berharap tidak ada yang berubah meski aku jauh (saat itu). Tapi ternyata harapanku hanya tinggal harapan. Aku gak tau apa ini hanya perasaanku saja, tapi yang jelas aku merasa kamu semakin jauh. Dulu aku yang pergi jauh, tapi hati kita dekat. Sekarang jarak kita sudah dekat, tapi kenapa justru ada rasa yang jauuuh banget. Sekali lagi, apa aku benar-benar sudah kehilangan seorang sahabat, seorang yang pernah dekat di hati? Maafkan, kalau aku sudah mengganggu ketenanganmu.

Dear my beloved Bro. Your email make me love you more. I will love you always. I knew now, how much you hate me. I'm so sorry. Membaca tulisan Bro membuatku tersentak. Aku tersadar atas semua kekhilafanku. Entah kenapa, aku benar-benar tak bisa menahan emosi jiwa saat itu. Apa yang Bro tulis sangat aku butuhkan. Selama ini aku belum pernah bisa untuk mengaca. Aku selalu egois. Selalu memikirkan diriku sendiri. Once again, thank you. I love you more...

Dua email itu aku terima dalam waktu yang berbeda. Jaraknya pun sangat berjauhan. Kedua-duanya aku dapatkan dari dua temanku. Mereka pun dua teman yang kukenal berbeda waktu dan berbeda tempat. Akan tetapi, pertemuan dengan mereka itu bener-benar memberi bekas bagi diriku. Bekas yang mendalam. Ah, ah!

Pribadi yang menulis pertama itu, ketika aku membaca emailnya, jujur saja aku terkejut. Mengapa bisa memiliki dugaan seperti itu? Selama ini, aku tidak pernah memiliki pemikiran yang terlalu jauh tentang kedekatan ini. Dulu memang, ketika masih dalam masa kebersamaan, ada saat-saat menyenangkan bersamanya. Aku masih ingat persis, perhatiannya banyak banget. Lebih-lebih kalau saat makan. Apa saja disiapkan, ditanya mau makan apa, minum apa. Semua diambilkan. Wah, dimanja banget. Ya..., senang juga sih! Lambat laun, cerita demi cerita pun mengalir. Akhirnya kami begitu dekat. Setelah acara kebersamaan itu, beberapa waktu memang masih ada kontak, namun juga tidak terlalu sering. Hingga suatu saat, dia pindah ke B. Selama dia di B itu, kontak juga jarang. Sempat juga menghubunginya ketika dia ulang tahun. Tidak lama dia di B, balik lagi. Meski sudah satu kota lagi, kontak pun jarang.

Sedangkan pribadi yang satu lagi, itu baru saja aku kenal. Mengikuti sebuah training yang akhirnya mengharuskan menjadi satu kelompok dengan dia. Justru ketika satu kelompok itu, kedekatan selama proses training dan latihan jarang terjadi. Hanya pada saat-saat tertentu saja, aku berkontak dengan dia. Masalahnya, di akhir training, ketika mendekati selesai, ada tugas yang harus diselesaikan bersama, dirinya terlalu memikirkan perasaannya. Ada hal yang jauh lebih indah, sehingga banyak waktu yang dihabiskan diluar kelompok. Untuk hal ini pun, aku tidak terlalu menyalahkan karena aku sendiri belum tentu benar. Rasa kecewaku sebagai penanggung jawab tugas dalam kelompok itu dirasakan. Memang kecewa! Karena pada saat selesai training, aku pergi di hadapannya dengan rasa dingin. Dirasakan itu!

Beberapa hari, dia kemudian mengontakku. Aku sendiri masih menyimpan perasaan tidak nyaman. Jengkel yang belum longgar. Kesempatan itulah yang kugunakan untuk menyampaikan beban yang ada dalam pikiranku. Segalanya kusampaikan dengan terbuka, termasuk penilaianku atau perasaanku pada dirinya selamat proses pembuatan tugas terakhir training itu. Barangkali, karena keterusteranganku atau apa, dia kemudian membalas dengan email pendek seperti itu. Aku juga tidak menyangka bahwa dia bisa menanggapi sedemikian dalam.

Mengenal banyak orang itu mudah. Begitu aku mau membuka mulut untuk menyapa, akan hadir di depanku orang yang mau berkawan. Akan tetapi, mengenal hati orang yang mau berkawan denganku itu tidak mudah. Tidak setiap orang yang menjadi kawan, akan memiliki perasaan untuk mampu membuka hati di hadapanku. Mengapa aku harus menyia-nyiakan hati yang sudah terbuka untuk berbagi denganku? Mengapa anugerah pribadi yang unik ini tidak aku pupuk sebagai kekayaan di dalam membentuk persaudaran dengan orang lain? Terkadang, dengan bersembunyi pada kesibukan, aku telah melalaikan hati yang telah terbuka itu. Padahal, jika hati itu terluka, tak akan mudah untuk sembuh dan menerima kehadiranku lagi.***


Semarang, 28 Maret 2009

Tidak ada komentar: