Sabtu, 28 Maret 2009

Telepon dari Seberang

Saudaraku tiba-tiba bilang kalau aku diminta untuk menelepon Liani. Liani? Ah, mengapa harus nelpon? Sudah lama aku tidak berkontak dengannya. Tetapi mengapa aku harus meneleponya? ”Mungkin dia masih menyimpan masalah sama kamu,” kata saudaraku itu sambil tertawa. Sialan, kataku.

Liani itu kawan lama. Dia kukenal kira-kira empat tahun yang lalu di kota S. Waktu itu, ada sebuah kegiatan yang membuat aku bisa berjumpa dengan dirinya. Nah, yang membikin hal mengesan bukan Liani, melainkan diriku yang bergulat dengan masa laluku. Kok Liani bisa terlibat? Ceritanya, waktu mengikuti kegiatan itu, acapkali berjumpa dengan Liani, aku selalu tidak bisa saling berkomunikasi. Diam-diaman. Jika berpapasan dengannya tak ada sapaan hangat. Padahal, dia kawan baru, mestinya aku memberi sapa yang hangat. Namun itu tidak kulakukan. Aku juga heran dengan diriku ini. Ada apa sebenarnya?

Selang satu bulan (kegiatan itu dilakukan selama dua bulan dengan tinggal di asrama), aku mulai menemukan akar persoalan. Akar persoalan itu ternyata ada dalam dirku sendiri. Sosok Liani itu ternyata mirip dengan seseorang di masa laluku yang membikin aku sakit hati. Oh, itu yang membuat komunikasiku dengan Liani terhambat. Menyadari itu, aku berusaha untuk menyelesaikan. Ternyata tidak mudah! Aku mencoba mendekati untuk menyampaikan segala ganjalan yang ada.

Suatu siang, selesai makan siang, aku mengajaknya untuk berbicara. Kepadanya kuungkapkan bahwa aku meminta maaf jika ada perilakuku yang membuatnya tidak nyaman. Kusampaikan apa adanya tentang alam bawah sadarku yang membenci seseorang namun tersalurkan pada sosok dirinya. Liani bisa mengerti. Aku berusaha untuk mengolah luka ini.

Lambat namun pasti, aku mulai mampu untuk berkomunikasi dengan Liani. Meski masih sulit, aku tetap berusaha berkontak dengan Liani. Saat-saat lain, jika bertemu, aku menyapanya. Bahkan, aku berusaha untuk duduk sebangku di ruang pertemuan. Hingga pada akhirnya, segala kebekuan itu mencair. Obrolan sudah terjalin dan senda gurau pun tercipta. Di saat-saat pertemuan di kelas, aku tukar bolpointku dengan milik Liani.

Ah, tiba-tiba saja sekarang dia memberi tahu saudaraku agar aku meneleponnya. Benarkah ada sesuatu masalah masa lalu yang belum selesai? Ah, mungkin bukan! Karena yang memiliki masalah adalah diriku, sementara Liani tidak ada masalah apa pun. Semuanya sudah berlalu!

Jam 20.45, aku hubungi Liani. Agak lama juga tersambung ke ponselnya. Sempat terputus. Ketika bisa tersambung, dengan ringan kusapa Liani.

”Haloo...met malam, met jumpa.”

”Hei! Pa kabar? Lama tidak kontak.”

”Ya begitulah....”

Obrolan pun terjalin. Ternyata benar! Bukan suatu masalah. Nyatanya, sampai 30 menit obrolan itu, segalanya berjalan dengan baik. Apa yang ingin disampaikan kepadaku? Sebuah undangan. Dia mengundangku untuk datang tanggal 8 September. Ada peristiwa yang sedang dirayakannya.

”Aduh, sori, aku tidak bisa kalau mendadak begini,” jawabku.

”Habisnya...., kamu tidak pernah berkirim kabar sama aku,” sahutnya.

”Iya maaf. Tapi nanti aku hubungi jika perayaan itu sudah selesai.”

”Bener lho! Aku tunggu.”

”Tapi aku tidak janji....”

”Lho, gimana sih? Pokoknya aku tunggu tanggal 8 malam telepon aku. Awas kalau tidak!” kata Liani.

Begitulah percakapan malam itu. Meski hanya bertukar kabar, perjumpaan dengan Liani lewat udara ini telah memberiku suatu pengalaman bahwa ada masa-masa ketika seseorang itu ternyata masih saling memerlukan. Paling tidak, saling menyapa. ***


September 2008

Tidak ada komentar: