Kamis, 02 April 2009

Upik Kecil


Lebaran tahun 2008 lalu, aku datang ke tempatmu. Sambil menyusuri jalanan beraspal kasar, ingatanku melayang ke masa sebelas tahun silam. Masa ketika aku tinggal di rumahmu untuk bisa berbaur dengan warga masyarakat karena sebuah tugas. Ah, suasana dusun yang selalu menyebarkan aroma alam: ladang, singkong, cabai, bebatuan, ternak, rumput!

Begitu aku tiba di depan rumahmu, suasana tampak sepi. Sejenak aku menunggu. Apakah kamu dan keluargamu sedang pergi? Aku mengetuk pintu, lalu kutunggu. Ketika aku hendak memutari rumahmu, barangkali ada anggota keluargamu yang berada di belakang rumah, pintu depan terbuka. Bapak! Ya! Ayahmu membuka pintu. Dengan tawa riang, ayahmu menyambutku dengan penuh kegembiraan. Tanganku disambutnya dengan erat. Jabatannya terasa kuat di jari-jemariku. Sesaat kemudian, ayahmu masuk dan mengundang ibumu. Ternyata, ibumu ketiduran di depan televisi. Dengan masih menahan malu, Emak (kebiasaan memanggil ibumu) menyambutku. Ah, pertemuan yang terasa menyenangkan dan menghangatkan.

Siapakah yang berbaring di depan televisi itu? Yang pasti tubuhnya adalah seorang gadis remaja. Namun siapa? Genduk, kakakmu? Namun, ayahmu yang kemudian menemaniku duduk bercerita bahwa kakakmu pada lebaran ini tidak pulang. Setelah sesaat berbincang-bincang, barulah aku tahu bahwa sosok yang tidur di depan televisi itu adalah dirimu. Upik!

Ah, Upik! Sudah besar rupanya! Beberapa tahun lalu, ketika aku tinggal di rumahmu, usiamu belum memasuki masa taman kanak-kanak. Dengan gerak badanmu yang menggemaskan, potongan poni rambutmu, dan kadang masih ada ingus yang meleleh di hidungmu, dirimu tak pernah bisa kudekati. Lari ke pelukan Emak dengan wajah memerah malu! Aku hanya bisa mengulurkan sebungkus permen kepadamu. Itupun kamu menerimanya dengan cepat dan segera bersembunyi.

”Eh, bilang terima kasih dulu,” tegur ibumu. Kamu hanya menatapku dengan mata jernihmu dan segera pula menyembunyikan wajahmu di punggung Emak. Tanpa kupikir panjang, kupanggil dirimu dengan ”Upik”. Nama tokoh dari sebuah film boneka lama yang dulu pernah diputar di salah satu stasiun televisi.

”Sejak itu, dia dipanggil Upik oleh semua orang,” kata Bapak dan Emak. Oh ya? Tidak akan terlintas dalam pikiranku bahwa panggilan spontan itu kemudian akan selamanya tersandang dalam dirimu. Ah, Upik, Upik!

Kini, kamu sudah remaja. Tak ada lagi sisa-sisa ingatan masa lalu tentang dirimu. Meski, rasa malu-malu itu masih ada, namun dirimu telah berubah. Tentu secara fisik adalah yang paling tampak. Upik, jika aku bertanya kepadamu, ingatan apakah yang muncul dalam dirimu tentang diriku? Aku tak akan pernah tahu. Akan tetapi bagiku adalah aku pernah menjadi bagian dari keluargamu. Aku pernah hidup di antara kamu, kakak-kakakmu, dan kedua orang tuamu. Aku pernah menikmati guyuran hujan tatkala pulang dari ladang bersama ayahmu. Aku pernah menikmati nafas ngos-ngosan ketika harus membawa rumput dan naik di tebing-tebing bukit. Aku pernah duduk mengitari meja makan bersama keluargamu. Bersenda gurau, berdoa bersama, berbincang bersama keluargamu. Ah, namun waktu itu kamu masih sangat kecil, Upik!

Seiring dengan beranjaknya waktu, kamu semakin besar dan aku telah lama meninggalkan desamu. Jika aku mengingatmu, aku hanya ingat bahwa kamu masih seorang anak kecil yang polos dan pemalu. Kini Upik kecil itu telah beranjak menjadi seorang remaja yang mulai menata perjalanan barunya. Berkelana dengan sebuah sepeda motor di jalanan terjal. Setiap hari menyusuri aspalan pecah menuju ke sebuah sekolah lanjutan tingkat pertama. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih bahwa nama ”Upik” itu masih tetap kamu sandang sampai hari ini. Ah, Upik, Upik!***


Semarang, 2 April 2009

2 komentar:

wencoolz mengatakan...

aktif banged bang!!!!
produktif abiz...
salut2!!!!

Pambajeng "Broer" Argaputra mengatakan...

makasih, wen... Kmu maju terus...!