Jumat, 27 Maret 2009

My Rumiyin!!!!!!!!!!!!!

Heran aku! Kai selalu memanggilku dengan kata-kata itu. Apa sih yang membuatnya selalu memanggilku dengan ”My Rumiyin, My Rumiyin” itu? Kalau diterjemahkan sesuai kata aslinya, bener-bener tak bakalan menjadi jelas, bahkan membingungkan. Apa coba, dengan maksud ”dulu-ku, dahulu-ku”.

”Apaan sih, my rumiyin, my rumiyin....,” tanyaku waktu itu.

”Lhah..., kan Bro emang my rumiyin. Piye toh?” jawabnya sekenanya.

”Kamu tahu artinya rumiyin?” lanjutku.

”Artinya: dulu, kan?” sahutnya dan lantas berlalu dari hadapanku.

Begitulah Kai. Penjelasan tentang ”My Rumiyin” itu tak pernah dia sampaikan kepadaku. Jika ngomong soal Kai, aku lalu ingat pertemuannya beberapa waktu lalu. Awal mulanya hanya karena persamaan tujuan untuk mengikuti suatu kegiatan di pinggiran kota Y. Bahkan ketika kegiatan itu aku jalani bersama teman baru lain, termasuk Kai, segalanya berjalan dengan lancar. Segalanya bisa terjadi dengan baik, dan hasil kegiatan itu pun dapat kubawa pulang dengan baik pula. Sampai pada penghujung kegiatan, Kai membuat pengakuan di hadapanku.

Apa sih yang salah tentang Kai? Jika ingat pengakuannya, aku sebenarnya tidak ingin menyudutkan bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah kesalahannya. Sebagai manusia, siapa yang tidak salah langkah karena kelemahan? Tak seorang pun bisa lepas dari kekeliruan.

Melihatnya bisa bergembira di pagi hari, bagiku sudah cukup untuk bisa memberinya kesejukan. Tak ada yang ingin kuminta banyak darinya. Jika dengan sentuhan udara dingin, basahnya tetesan embun, dan hangatnya sinar matahari pagi, Kai sudah bisa menikmati satu hari itu saja, itu adalah anugerah yang sangat besar bagiku. Meski aku hanya bisa mengajaknya menyusuri jalan-jalan setapak atau pematang-pematang sawah atau pinggiran sungai, itu adalah kesempatan yang sudah lebih dari cukup bagiku.

Sayangnya, aku begitu terganggu. Mengapa aku sulit untuk menerimanya? Apakah karena di dalam hatiku ada tuntutan agar dia tampil sebagai seorang Kai yang sempurna? Atau karena aku sendiri yang masih menipu diriku atas rasa cukup yang selama ini kupertahankan dalam diriku? Semestinya, ketika Kai berterus terang kepadaku atas segala tindakan yang menurutnya bodoh itu dilakukan, aku tak harus menyudutkannya.

”Waktu itu, entahlah. Aku gak tau...! Masih ingat sih perasaan aku saat itu. Amburadul banget! Ga tau aku juga kenapa...” katanya memulai percakapan.

”Trus ngapain harus ngajak ngomong aku dan akhirnya malah gak jadi?” tanyaku.

”Ah, Bro...! Aku juga ga tau...! Mungkin karena takut pisah sama Bro? Gak tau juga... Biasanya ada yang jagain aku... Terus sekarang gak ada! Gak tau...! Aku ngerasa salah sama kelompok karena gak ngapa-ngapain. Ngerasa.... ah...,” Kai terdiam.

Aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya. Ini penting karena aku perlu mengerti apa yang sebenarnya yang ingin dia sampaikan kepadaku. Itu semata-mata, agar aku bisa makin mengerti apa yang hidup dalam diri Kai saat itu. Kudengar, pelan Kai melanjutkan kata-katanya.

”Mungkin juga belum rela ninggalin acara jalan pagi yang begitu berarti untuk aku. Entahlah... Mungkin karena baru saat itu aku bisa bebas lepas, lepas berekspresi. Aku emang cengeng. Aku gak tau sebenernya aku kenapa? Kenapa? Makanya aku tanya Bro. Rasanya Bro udah kenal aku lebih dari aku sendiri. Aku ngerasa aman sama Bro karena yakin Bro gak akan suka orang lain ngapa-ngapain aku. I really need friend untuk ngobrol.”

Kai terisak. Berupaya untuk memahami gejolak perasaan Kai, bagiku adalah usaha yang tidak mudah. Bagaimana aku harus memahaminya, sedang dalam diriku bergejolak perasaan tidak suka atas apa yang dilakukan. Akan tetapi, mengapa aku tak menyukainya, jika dia di hadapanku berterus terang atas segala kesalahan yang telah dia lakukan?

”Seingat aku, ”lanjut Kai, ”waktu itu aku masih panik, sedikit bingung. Aku ngerasa bersalah banget karena aku suka sama En dan rasa sukaku itu ganggu kerja kelompokku. Kerjaanku jadi gak karuan. Semuanya amburadul. Aku menyadarinya dan aku harus menyudahinya. Memang semestinya aku gak usah tarik tangan Bro saat itu. Karena gak penting banget Bro ikutan urusanku. Tapi aku ngerasa cuma punya temen Bro aja. Aku mau ceritanya ke Bro. Karena Bro ketua kelompok yang aku bikin acakadul. Yang lebih bikin aku nyaman, Bro gak akan pernah suka sama aku. Itu yang bikin aku comfortable untuk bicara sama Bro, walau akhirnya gak ada yang keluar. Tuh kan bener? Gak ada yang penting, makanya waktu itu gak ada yang keluar. Masa, masalah kayak gitu aku gak bisa atasi sendiri? Tapi nyatanya emang aku gak bisa ngatasi hal sepele macam itu. I really need you, Bro. Untuk nampar aku, untuk mengguncang bahuku, untuk menunjukkan semua kelakuanku. Susah banget melihat dari sudut pandang orang lain ke diri sendiri. Aku belum pernah merasa nyaman sama cowok, selain sama Bro. Maksudnya untuk berusaha berbicara, walau akhirnya gak jadi.”

Susah payah Kai menyelesaikan kata-katanya. Aku menghela nafas. Terus mau apa sekarang? Jika Kai memanggilku, ”My Rumiyin......!” apakah aku juga harus tetap memalingkan wajahku ke arah lain dan meninggalkan cibiran kepadanya? Haruskah sebesar itu aku menghukum Kai, sementara dia telah membuat pengakuan di hadapanku?

Menghadapi Kai, bagiku adalah menghadapi pengalaman masa laluku. Aku harus berani mengakui dan menerima apa yang telah terjadi pada masa laluku. Kai bukanlah masa laluku. Dia adalah masa kini yang sedang memberiku sandungan-sandungan kecil pada ujung jari-jemari kaki dalam kancah jalan kehidupan ini. Ah, Kai. Kesalahan itu bukan hanya milikmu. Kesalahan itu tetap saja ada pada diriku. Bukan saja dirimu dan diriku, melainkan orang lain juga memilikinya.

Di ujung malam, aku hanya bisa membisikkan pada Kai, menyampaikan rasa salah dan maafku, karena sikap penyudutanku kepadanya. Seandainya dia bisa sedekat angin malam ini, akan kurengkuh dan kubisikan kata itu di dekat telinganya. Jangan pernah menyerah untuk berubah. Mari berupaya bersama aku. Aku selalu mendukungmu. Aku selalu menyayangimu.***



Agustus 2008

2 komentar:

wencoolz mengatakan...

oh, ini ceritanya si kai masih terus ngejar2 si "aku" ya?
boleh2....
cocok buat ussi

Pambajeng "Broer" Argaputra mengatakan...

waks? hue...hue...apa hubungan ama si Ussi to?