Selasa, 24 Maret 2009

Barisan Kata-kata

”Sorry aku baru ke kamar lagi. Tadi komputer kutinggalkan on karena ada mahasiswa yang curhat. Maaf beribu maaf, mungkin besok malam kita bisa curhat. Maaf, ya!” (3/27/2008)

Awalnya, malam itu aku hanya ingin melihat apakah dia sedang on line atau tidak. Maka, kubuka sarana chatting-ku dan kulihat dia sedang on line. Aku pun segera menuliskan satu baris ucapan padanya. Kubiarkan sebentar sambil aku browsing di internet. Beluma ada dua menit, tiba-tiba dia meninggalkan pesan padaku. Intinya, dia memang agak jarang untuk on line karena merasa tidak nyaman jika sedang on line ada beberapa sapaan lain yang masuk dan ini membuatnya ruwet. Kemudian ditinggalkannya pesan untuk lain kali menghubunginya.

Tiba-tiba saja, hatiku disergap rasa tersinggung. Rasa tersinggung yang tidak terlalu besar, namun cukup membuatku untuk segera mungkin memutuskan koneksi chatting-ku itu. Sepertinya, ketika aku on line, kehadiranku hanyalah menjadi salah satu dari pengganggu itu baginya. Mengapa bisa demikian? Aku tidak tahu.

Keesokan harinya, ketika aku iseng untuk melihat sarana chatting-ku lagi, kulihat beberapa baris pesan yang ditinggalkan kepadaku. Itulah pesan yang tertulis di atas!

Rasa tersinggungku belum sirna. Ada desakan dari dalam diriku untuk tidak mengacuhkannya. Meski dia mengajak untuk berbagi di lain waktu, aku tak ingin menanggapinya. Biar saja!

Di dalam hatiku, muncul dua kubu yang berperang. Satu kubu ingin mempertahankan perasaan tersinggungku. Satu kubu ingin memahami situasinya. Tak mudah. Perasaanku benar-benar terluka. Jujur saja, setelah lama aku tak berkontak dengannya, baru malam itu aku mencoba untuk menghubunginya. Itu pun tidak aku paksakan. Artinya, saat itu aku hanya menyampaikan sedikit ucapan. Terasa sekali, betapa tak diharapkannya sapaan dan kehadiranku baginya. Betapa tak berartinya kehadiranku malam itu baginya.

Sementara di sisi lain, setelah aku mengerti alasannya, aku berusaha untuk mengerti akan keberadaannya saat itu. Malam itu dia memang sedang diperlukan oleh sesama yang barangkali jauh lebih memerlukan dirinya. Itu artinya dia memiliki arti bagi sesama di sekitarnya.

Akan tetapi, entah mengapa aku masih sulit untuk bisa menerima itu. Mungkin pada saat kutuliskan ungkapan ini, perasaanku sedang larut dengan suasana ketiadaan arti dalam diriku sendiri. Barangkali aku masih dilingkupi rasa kecil karena memang tak mampu untuk hadir bagi sesama. Barangkali aku masih terkungkung dengan rasa iri akan talenta orang lain.

Dengan rendah hati, aku sungguh meminta maaf jika ungkapanku ini kemudian membuatnya merasa bersalah. Aku hanya ingin bersikap jujur atas perasaan yang tiba-tiba saja muncul.***


Semarang, 25 Maret 2009

Tidak ada komentar: