Senin, 16 Maret 2009

Karena Cinta, Kita Harus Berpisah? (2)


Aku tercenung ingat pengalaman lama itu. Pikirku, mengapa hal ini harus terjadi padaku dan pada dirinya? Apakah kehendak-Nya? Aku ragu. Aku tahu diri. Aku dan dia telah memilih jalan yang berbeda. Tetapi mengapa harus bertemu di tempat ini? Hujan sudah reda. Malam mulai larut. Situasi pun telah kembali di sini. Di ruang tamu kecil ini.

”Aku yakin kamu masih ingat awal jumpa kita. Baiklah kita saling mencintai sebagaimana awal kita kenal. Aku yakin Tuhan tak menginginkan selain kita saling mencinta dalam keadaan kita sebagai orang yang tak mungkin seterusnya bersama. Aku yakin itu. Sungguh, aku mencintaimu. Aku mendukungmu.”

Keheningan dipecahkan dengan suara lirihnya. ”Aku mencintaimu. Aku tahu hidup kita. Aku manusia!”

Dia memberontak pada dirinya. Tangannya tergenggam erat menahan perasaannya. Matanya memandang tajam kepadaku. Bibirnya bergetar. Tangisnya lirih terdengar olehku. Tiba-tiba, dia mendekapku. Aku tak kuasa menolaknya. Tubuhku terasa hangat. Kedua tangannya mendekap pundakku erat sekali. Dadaku dan dadanya bertemu. Jantungku berdegup kencang. Kencang sekali! Aku gemetar. Pipi halusnya menyapa pipi kiriku. Ini kali pertama aku merasakan.

”Kamu tidak sendirian. Cinta itu ada pada manusia. Manusia memilikinya. Karena memilikinya, manusia dapat memberikannya. Karena ada yang memberi dan menerima, itulah saling cinta. Kita juga begitu, kan? Bagaimana kita dapat berkata-kata tetang cinta dan bagaimana kita dapat mencintai orang-orang yang kita layani kalau kita tidak memiliki cinta. Milikilah cinta itu.”

Dia mengusap pipinya dengan sapu tangan. Matanya berkaca-kaca. Wajah cantiknya tidak layu karena tangis itu. Kini malam kian larut.

Aku dan dia bukan satu-satunya orang yang mempertanyakan dan meragukan hidup. Setidak-tidaknya, aku adalah temannya. Memang ada saat-saat tertentu yang sungguh mempertanyakan hidup ini. Saat cinta dua anak manusia yang mendalam dirasakan sebagai saat yang tepat untuk merencanakan hidup berkeluarga. Ini bisa dimengerti.

”Aku ingat ketika sore itu kita menjenguk pamanmu yang sakit. Dalam perjalanan, kita jatuh. Aku tak dapat menguasai motor sehingga oleng di belokan itu. Motorku remuk. Kita selamat. Luka pun tidak. Sungguh kita selamat. Coba kamu ingat! Lalu lintas sangat padat. Tapi kenpa kita tidak tertabrak kendaraan dari belakang kita? Mengapa kita terlempar ke tepi jalan? Mengapa kita selamat? Ini pertanyaan dari diriku yang selalu aku renungkan. Ternyata Tuhan sungguh mencintai dan mengasihi kita. Tuhan memperhatikan kita. Tuhan tidak menginginkan kita celaka. Kita masih harus hidup untuk mewartakan cinta dan kebaikan Tuhan itu. Inilah yang meyakinkan bahwa aku mencintaimu dalam hidup ini. Kamu masih dapat mendengarkan aku, kan?”

Dia membisu. Dia memandangiku dalam-dalam. Aku tak kuasa menolaknya. Kulihat dia menahan perasaan hatinya yang galau dan mungkin ruwet. Duduknya tak tenang.

”Aku tahu itu. Tuhan sungguh mencintai kita. Aku tidak meragukan-Nya. Peristiwa itu sudah kulupakan. Yang penting kita selamat. Bukankah begitu?” Aku tak menjawab. Aku menarik nafas panjang. Dia tak memahami maksudku.

”Aku harus menentukan pilihan. Doakan aku, ya.” Aku menghela nafas panjang dan menganggukkan kepala. Malam telah larut. Aku minta pamit. Dia mengantarku sampai di pintu gerbang.

Ini bulan Januari. Beberapa kali aku meneleponnya. Tetapi tidak ada tanggapan. Jauh hari yang lalu aku sudah merasa: Dia telah pergi dariku. Sementara itu, di sepanjang bulan Desember, doaku tiada hentinya buatnya. Kini sungguh terasa hambar. Dia terasa hambar di hati dan pikiranku. Rasanya sudah tiada lagi rohnya dalam diriku. Kehambaran itu semakin mendalam ketika kabar sampai di telingaku. Dia benar-benar telah pergi. Kini bukan lagi hambar, tetapi shock berat menimpaku. Kini dia telah pergi. Aku sadar walaupun aku dekat dengannya, ada banyak hal yang tidak aku mengerti pada dirinya. Aku yakin saja, dia telah memilih jalan yang tepat bagi hidupnya. Semoga bukan karena cinta itu, dia memilih pilihan hidupnya yang sekarang ini. Doaku untuknya dan keluarganya. (tamat)


30 Januari 2002

(disarikan dari file lain, 17 Desember 2002)

Tidak ada komentar: