Kamis, 05 Maret 2009

Sate di Siang Hari

Aku liburan kuliah. Hampir sebulan penuh aku di rumah dan mengerjakan berbagai tugas yang tak tersentuh selama kuliah berlangsung. Suatu hari, aku merasa penat dan 'sumpek'. Aku perlu istirahat dan rekreasi, pikirku. Aku berjalan-jalan di sepanjang Jalan A. Yani, Jalan Malioboro, dan Pasar Beringharjo. Ini tiga serangkainya kota Yogyakarta.
Kutelusuri jalan Panembahan Senopati. Para penjual akik berjajar berdampingan dan para penjual gambar dan bingkai di sebelahnya. Mereka mencari rejeki dari pagi sampai petang, bahkan malam. Mereka mencari nafkah untuk hidup mereka. Sebentar aku melihat-lihat akik. Ada berbagai warna akik dari harga yang murah sampai yang cukup mahal. Kita dapat menawarnya.
Aku melanjutkan perjalananku menuju ke perempatan Kantor Pos Besar. Aku belok ke arah utara, ke Jalan A. Yani. Melalui trotoar depan Benteng Vredebrug, kulihat para penjual bakso dan es berjajar. Lalu aku menyeberang ke sisi barat. Para penjual pakaian, aksesories, jam tangan, topi, gantungan kunci, tato, berjajar di depan toko di sepanjang Jalan A. Yani. Begitu juga di sepanjang Jalan Malioboro.
Ini siang hari. Aku yakin di antara orang yang berbelanja ada pula yang seperti aku ini. Apalagi di Mall Malioboro. Kalau di Mall, aku ke Gramedia untuk membaca buku. Tak perlu beli, aku dapat membaca berbagai buku yang tak bersegel. Lumayan! Terima kasih Gramedia! Kapan aku keluar dari Gramedia? Jika aku sudah merasa lelah dan atau cukup lama. Kadang-kadang, aku membeli buku, walaupun lebih mahal daripada di shopping. Tempat ini pusatnya penjualan buku di kota Yogyakarta. Apa sih yang menarik dan yang bermakna dari acara jalan-jalanku ini?
Coba pergilah dan berjalanlah di sepanjang Jalan Malioboro dan Jalan A. Yani, baik menelusuri sisi barat maupun timur. Para pedagang kaki lima berjualan di depan toko-toko. Dapat dikatakan, di sepanjang Jalan A. Yani dan Malioboro penuh sesak dengan para pedagang. Mereka mencari nafkah dan rezeki untuk kebutuhan hidup mereka, untuk cita-cita ke depan, dan saat ini agar dapat makan. Sepertinya cita-cita ini sederhana, tetapi sebenarnya sarat dengan tantangan dan perjuangan yang mungkin malah tidak (pernah) tercapai.
Seperti para penjual akik itu, mereka berjualan dari pagi sampai petang, bahkan malam, dengan mengumpulkan keuntungan dari Rp 100,00 sampai Rp 1.000,00, syukur-syukur di atas Rp 10.000,00. Mereka dengan setia dan sabar menunggu para pembeli. Ya, mereka sabar menanti! Menanti dari tahun lalu ke tahun sekarang dan seterusnya. Mereka masih berjualan seperti itu. Ini menjadi soal hidup-bisnis-cita-cita. Mereka harus mempertahankan hidup, maka mereka perlu sarana untuk hidup. Mereka hidup bukannya sendirian, tanpa masyarakat, tanpa tata tertib dan hukum. Ini segi dimensional hidup. Karena ada tata tertib bermasyarakat, bukan berarti mereka tertib. Maka tak jarang mereka perlu ditertibkan. Pemerintah kota merasa bertanggung jawab atas ketertiban ini. Ini bukan hanya soal tertib, tetapi soal keindahan, kebersihan, dan sebagainya. Ini bukan barang baru, tetapi barang lama yang dapat selalu menjadi baru. Persoalannya tetap menjadi masalah. Artinya tak terselesaikan. Mengapa? Ini soal hidup. Coba jika mereka ditertibkan (digusur) dari Malioboro, maka Malioboro akan tertib, tertata rapi, dan indah. Ini Malioboro. Lha orang-orang yang ditertibkan itu? Mereka tetap hidup, tetap memerlukan rezeki, tentram, aman, dan sejahtera.
Akhirnya, mereka dari dulu sampai sekarang seakan-akan sudah ”ginaris” untuk menjadi orang kecil. Karena orang kecil, mereka perlu di ”besarkan” menurut orang-orang yang merasa bertanggung jawab. Akhirnya diusahakan dengan berbagai program. Kita hargai dan dukung program itu. Akan tetapi, sampai sekarang mereka tetap menjadi orang kecil, bukan menjadi orang besar. Mengapa? Lha wong yang mau menjadikan besar juga orang kecil. Orang-orang itu tetap manusia. Ini klasik saja. Mereka juga memerlukan rezeki. Program itu proyek besar yang ada rezekinya. Mereka ingat rezekinya itu dan lupa orang kecil yang sangat membutuhkan rejeki. Syukurlah kalau ada yang ingat. Ini berputar-putar dari dulu sampai sekarang. Nah, orang kecil tetap kecil. Cita-cita hidup tentram, aman, dan sejahtera tetap menjadi cita-cita karena belum tercapai. Padahal cita-cita itu milik orang kecil dan orang besar. Jadi orang besar pun belum merasa tentram, aman, dan sejahtera. Kalau mereka saja belum merasa tentram, aman, dan sejahtera, apalagi orang kecil. Orang kecil tetap orang kecil. Pada akhirnya, bisnis dan cita-cita orang kecil yang tetap kecil.
Aku kini melihat diriku yang sedang berekreasi di antara orang-orang kecil yang berjuang untuk menjadi ”besar”. Kalau begitu, aku menikmati orang-orang kecil, bukan? Lha ini! Aku berpikir begini karena aku ada dalam situasi ”memikirkan” mereka. Bagaimana aku menikmati ”kekecilan” mereka kalau aku sendiri orang kecil? Bagaimana aku menjadikan mereka sebagai objek rekreasi? Mereka objek tetapi tidak melulu, tetapi subjek juga. Mereka memerlukan keadilan. Kalau begitu apa yang dapat aku lakukan? Aku punya mulut untuk menyapa mereka, punya bibir untuk senyum pada mereka, punya iman untuk berdoa bagi mereka. Ini harta orang kecil sepertiku. Lha kamu, apa yang kamu lakukan? Salah satunya, jika punya uang, beli saja barang mereka. Tentu saja, jika barang yang kamu perlukan tersedia di sana.
Ini yang berat. Kita harus rendah hati. Artinya tidak gengsi. Kita harus menawar dan tidak malu dilihat orang lain, apalagi orang itu baru saja keluar dari Mall Malioboro. Siapa lagi kalau bukan kita yang memperhatikan mereka? Ini tidak mudah, tetapi keharusan. Antara pikiran, hati, dan perasaan bercampur baur. Kulanjutkan perjalananku.
Siang ini, Pasar Beringharjo penuh orang. Aku sampai di los penjual VCD. Aku berhenti di los itu dan melihat-lihat VCD. VCD lagu India dan film India dominan.
”Ini film India baru Mas. Murah kok. Yang di sana itu lagu-lagu India. Goyangnya asyik, Mas. Murah,” rayu seorang penjual kepadaku. Aku tersenyum saja mendengarnya.
”Lihat-lihat saja, Mas. Indianya laku keras, ya,” sahutku.
”Lumayanlah,” jawab penjaga los itu.
”Laku ni ye!” Suara cewek di los sebelah menyahut obrolan kami. Aku melirik sedikit. Lumayan seksi.
”Senang lho kalau laku. Di sini juga jualan, Mas! Ada bermacam-macam dagangan. Ini ada sate. Sate kambing muda, sapi muda, ayam muda. Ada sate kuda muda, Mas! Harganya murah dan bisa ditawar!” sambung gadis itu.
Aku terkejut. Jualan sate? Padahal itu los pakaian. Aku bingung. Mas yang di los VCD tersenyum.
”Mas, ini sate bergerak. Sate hidup. Sate hangat,” kata penjaga los itu sambil menerangkan padaku. Aku baru sadar. Itu ”sate” dalam tanda petik. Oh!
Aku pergi teratur dan berkata dalam hati. ”Inikah orang kecil yang tetap kecil? Yang mengejar asa tentram, aman, dan sejahtera. Demi asa, mereka bekerja keras, keras sekali, sampai lupa dan melupakan kalau yang diperdagangkan itu dirinya sendiri. Tapi aku bisa apa? Ya Tuahn, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Penuhilah mereka dengan rahmat-Mu dan berilah mereka hari ini ketentraman, keamanan, dan kesejahteraan.


31 Januari 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada) disarikan dari file lain, 17 Desember 2002

Tidak ada komentar: