Selasa, 24 Maret 2009

Awan Untuk Denok

Aku berhenti di bibir jurang. Menghela nafas dan membuangnya dengan sekuat tenaga. Kemudian berbalik dan duduk di bawah pohon melinjo. Jurang ini bagian dari ladang milik Mbah Kakung. Berada di tepi sebelah selatan dan sekaligus menjadi batas. Batas segalanya. Batas milik dan juga batas pandangan! Karena di balik jurang itu tak akan ada lagi ladang milik orang lain. Di bawah jurang itu, sudah mengalir sebuah sungai.

Jika aku berada di bibir jurang ini, aku bukan untuk bunuh diri. Aku hanya ingin menyendiri. Menyendiri dan mengenang apa saja sambil berbaring di bawah rindangnya pohon melinjo yang tumbuh tak jauh dari bibir jurang itu. Mataku menatap arak-arakan awan yang seolah saling berkejaran. Awan putih bergelombang, bergulung, dan saling membaur satu sama lain. Kemudian menjadi bentuk yang beraneka ragam. Gumpalan-gumpalan itu bisa berbentuk binatang, pohon, orang. Pokoknya, sesuka mataku dalam memandangnya.
Tiba-tiba saja, segumpalan awan membentuk sosok manusia. Seakan berdiri, berkacak pinggang. Kok gendut ya? Lalu, sekelebat banyangan seraut wajah terlintas di benakku. Seraut wajah itu seakan-akan menempel di gumpalan itu. Wajah Denok!

Ah, mengapa harus wajah Denok yang tiba-tiba nongol di gumpalan awan itu? Mungkin karena Denok itu gendut. Atau mungkin karena aku masih ingat perbincanganku dengannya beberapa waktu lalu.

--00--


”Ada yang ingin aku katakan kepadamu. Beberapa kali aku bertemu teman di sini. Mereka bilang, kita memang bisa terus saling kontak dan berbagi. Namun, waktu dan keadaan bicara lain. Ketika ada kenyataan bahwa setiap orang memiliki kepentingan dan kesibukan beda, pertemuan ini tinggal kenangan. Tak ada sentuhan, tak ada sapaan, tak ada apapun. Maka, aku hanya ingin berkata padamu, meski hari ini kamu berbincang dan bertemu aku, sadarilah bahwa tak akan pernah ada waktu yang sama, yang dapat mempertemukan kita lagi. Seandainya masih ada hari dan waktu, itu adalah keajaiban dari Sang Pemberi Waktu.”

”Apa maksud Mas?” tanyanya.

”Mengapa bingung?” tanya balikku.

”Tidak bingung. Jadi sedih dengernya...! Ya, aku tahu maksud Mas, tapi aku tidak bakalan begitu kok. Selama aku masih bisa....,” jawabnya pelan.

”Aku hanya ingin memaparkan kenyataan kepadamu....,” kataku.

”Mas setiap saat bisa bicara sama aku.”

”Sekarang kamu bisa bilang begitu....”

”Kan, orang harus bermimpi dulu untuk bisa memiliki cita-citanya. Tidak ada salahnya kalau kita optimis.”

”Tapi, cobalah mengerti, kita akan menemukan banyak hal yang sering tidak bisa diatasi....”

”Menurut aku, tidak ada salahnya kita memiliki keyakinan, Mas.”

”Aku bisa terima. Bisa! Sekaligus aku memberi kamu kenyataan-kenyataan yang akan terjadi...”

”Kalaupun kenyataan itu berbicara lain, toh kita sudah maksimal mengusahakan. Atau mungkin Mas yang tidak mau berbicara dengan aku lagi, ya? Menyesal kenal aku yang cerewetnya kayak nenek-nenek?”

”Lho? Kok bilang begitu? Tidak, tidak! Kamu baik kok!”

”Kalau bukan tidak mau, apa alasannya? Aku tidak suka dengan orang yang pesimistis. Hidup harus yakin dan optimis...”

--00--

Arak-arakan awan itu semakin menjauh. Bentuk orang gendut berkacak pinggang itu sudah tercerai-berai dan berubah bentuk bersama arak-arakan awan lain.

Yakin! Optimis! Kuulang kata-kata Denok itu dalam hati! Aku hanya menghela nafas dengan lebih pelan. Bukan aku tidak mempercayai kata-kata Denok, aku hanya ingin menyampaikan kepadanya bahwa betapa tak mudahnya menyembuhkan luka akibat kegagalan demi kegagalan yang pernah kualami.

Aku harus bagaimana? Kekecewaan demi kekecewaan itu masih saja menggores di ujung hatiku. Meninggalkan bekas yang belum bisa disentuh dengan jari-jari pengharapan.

Di ujung senja ini, di bibir jurang ini, sekelebat bayangan wajah Denok mampir kembali. Mungkin, kata-kata yang meluncur dari bibirnya adalah kata-kata pengingat kepadaku. Pengingat bahwa meski kekecewaan itu selalu ada dalam hidup, namun seseorang perlu untuk tetap bertahan dalam pengharapan. Meski untuk bertahan dan menggapai harapan itu, harus mempertaruhkan perasaan-perasaan sakit yang masih ada.

Kuusap ujung mataku. Ingin rasanya dari buliran air mata itu, aku mengusap hatiku yang masih menahan pedih kekecewaan. Ingin rasanya dari sentuhan jari ini, aku mencoba menyembuhkan pedih itu dengan kata-kata Denok. Yakin! Optimis!

Kubangkit dari berbaringku. Dengan masih menatap arak-arakan awan yang berada di bibir jurang, aku ingin berkata pada Denok. Kapan ya, aku bisa menorehkan kata-kata optimis itu agar bisa tetap menghidupi pengharapanku?

Ketika aku berjalan meninggalkan ladang Mbah Kakung, bayangan Denok masih saja mengikuti. Serasa dia berlari dan mengejarku, menangkap lenganku. Rengekan manja begitu saja keluar dari mulutnya. Hidung peseknya yang membuatku gemas itu ingin kucubit!

Di senja ini, meski tak akan bisa aku memapasnya di ujung waktu saat aku bertemu dengannya, aku ingin membawakan sesuatu untuk Denok. Ingin kukirim segumpal awan untuknya. Biarlah Denok menatapnya dari ujung sana; sambil tetap berkacak pinggang dengan roman muka lucu dan konyol yang selalu kurindukan! ***


Semarang, 24 Maret 2009

Tidak ada komentar: