Sabtu, 21 Maret 2009

Perenang Cilik Itu Menikah!

Di sebuah siang, aku sedang duduk-duduk di ruang baca. Kuambil sebuah majalah dari tebaran di atas meja. Kubuka sampul majalah itu dari belakang. Mataku tertumbuk pada lembaran iklan satu halaman penuh di sampul belakang dalam! Ah, iklan pernikahan sepasang muda-mudi. Iklan full color itu hampir saja tak membuatku terhenti, karena sudah biasa di majalah ini terpasang iklan berbagai macam. Akan tetapi, ketika mataku terpaku pada wajah si mempelai wanita, tiba-tiba sebuah ingatan datang sekejap. Ingatan akan seseorang. Dan....akhirnya aku semakin yakin tatkala aku membaca deretan nama-nama sepasang pengantin itu.

Ya....itulah kamu! Itu namamu! Dan mataku dengan nanar menatap adegan demi adegan yang tercetak di lembaran itu. Aku semakin yakin ketika aku pun membaca nama kedua orang tuamu dan adik perempuanmu. Itulah kamu!

Ingatanku kemudian melayang ke sebelas tahun lalu. Ke masa ketika aku mengenalmu untuk kali pertama dan barangkali untuk kali terakhir.

Di tahun 1997, aku mengenalmu sebagai seorang gadis yang masih duduk di bangku sekolah dasar, tempatku bekerja waktu itu. Lambat laun, aku semakin tahu dirimu dari beberapa rekan kerjaku. Ternyata, kamu adalah salah seorang atlit renang cilik. Beberapa rekan kerjaku mengatakan bahwa dirimu telah berkali-kali menjuarai berbagai ajang kompetisi. Dari tuturan itulah, aku menjadi tahu dirimu yang atlit itu. Tidak hanya dirimu yang kukenal kemudian. Adikmu yang perempuan itu pun lama-lama juga semakin aku kenal, karena kalian berdua memang bersekolah di tempatku.
Hingga suatu saat, aku berkesempatan untuk sekedar tegur sapa dengan dirimu. Kadang hal-hal biasa menjadi bahan obrolan. Kemudian, tentang hobi renangmu pun menjadi bahan obrolan.

Suatu hari, aku memintamu untuk bercerita tentang pengalaman renangmu itu. Untuk apa? Aha, inilah aku! Aku senang menulis sesuatu untuk majalah. Ya, majalah yang sekarang ini memuat berita pernikahanmu itu! Jika kamu memperbolehkan, pengalaman renangmu itu akan kukirim ke majalah itu dan semoga saja dapat dimuat.

Rupanya, kamu tidak berkeberatan. Terkadang, saat-saat istirahat pelajaran, aku sempatkan untuk ngobrol dan bertanya-tanya padamu. Bahkan, kemudian kamu memberiku sederetan prestasimu yang telah kamu ketik rapi di lembaran kertas. Ya ampun! Banyak banget! Waduh....hebat bener, batinku waktu itu. Kau berikan pula dua lembar foto dirimu yang sedang berpose di antara piala dan medali-medali yang seabrek di atas meja. Kamu tahu tidak, satu lembar foto sampai sekarang masih aku simpan di album pribadiku.

Begitulah akhirnya! Lembaran naskah itu pun jadi dan kukirimkan bersama satu lembar fotomu itu. Beberapa waktu kemudian, dengan menunggu penuh harap, majalah itu kemudian memuatmu. Syukur, syukur, syukur!

Bagiku, bukanlah imbalan yang penting kudapat, melainkan naskah itu dapat diterima dan dimuat. Itulah yang utama. Aku sekedar mampu memberimu sesuatu yang sederhana: selembar naskah di salah satu edisi majalah itu.

Aku berterima kasih bahwa aku telah kamu beri kesempatan untuk menuliskan dirimu. Bahkan, aku pun berterima kasih bahwa di suatu hari, Mamamu datang dan mengucapkan terima kasih atas pemuatan naskah itu di majalah. Ah, apa yang hebat? Aku pun hanya mengatakan terima kasih pula diberi kesempatan untuk menuliskan tentang dirimu.

Tahun 1998, kamu lulus dari sekolah dasar. Sejak itu pula, aku tidak lagi berkontak dengan dirimu. Aku masih beberapa kali berkontak dengan adikmu. Bahkan di beberapa waktu, aku masih sempat mendampingi adikmu dalam pendampingan iman anak bersama seorang rekan guruku. Tahun 1999, aku mendapat tugas baru dan harus meninggalkan kotamu. Sejak itu pula, aku sudah tidak ada kontak denganmu. Akan tetapi, aku masih sempat pula mendengar bahwa beberapa waktu kemudian, aku lupa pastinya, engkau melanjutkan pendidikan di luar negeri. Aku pun sempat pula melihat sosok adikmu di majalah itu. Waktu itu, dia mendampingi Didik SSS. Oh, rupanya adikmu itu menjadi murid Didik SSS. Makanya, sebuah saksofon tampak tertiup di mulutnya. Itulah yang kulihat di sebuah edisi.
Jika sekarang ini kamu sudah menikah, itu adalah berita baru bagiku. Aku menjadi sadar bahwa ternyata umur seseorang itu akan semakin berjalan mendekati masa-masa dewasa yang tak akan bisa dicegah. Barangkali, aku masih merasa baru kemarin mengenalmu. Akan tetapi, ternyata beritamu itu menandakan bahwa kita memang pernah berjumpa bertahun-tahun lalu. Bertahun-tahun lalu sampai sekarang yang menandakan bahwa aku pun beranjak pada masa yang tak muda lagi.

Akhirnya, selamat berbahagia untukmu. Semoga keluarga yang akan kamu bangun bersama suamimu itu akan tetap langgeng. Tetaplah enerjik seperti beberapa tahun lalu ketika aku masih menjumpaimu sebagai perenang cilik itu. Tetaplah kuat seperti waktu kamu dengan rasa canda memukul perutku (padahal, sakit sekali, karena tenagamu yang memang di luar anak-anak biasa itu).

Salam dari kejauhan! Aku yang masih mengenangmu sebagai perenang cilik yang andal....***


Semarang, 22 Maret 2009

Tidak ada komentar: