Jumat, 13 Maret 2009

Karena Cinta, Kita Harus Berpisah? (1)


Aku ingat ketika kami bertemu. ”Inikah diri kita?” tanyanya kepadaku.
”Ya! Ini diri kita saat ini. Selanjutnya dapat berkembang,” jawabku. Dia berpikir keras dan merenung. Berkerutlah dahinya. Dia masih ragu. Sementara, aku melihatnya tak berkedip. Dan dia merasakan pandanganku. Dia menatapku. Kami saling tersenyum. Jarinya menunjuk ke mataku. Aku pun menunjuk ke wajahnya dengan jariku.
”Kamu nakal!” katanya.
”Kamu juga,” sahutku. Kami tertawa.
”Inikah kita?” tanyanya.
”Mungkin,” jawabku. Kami terdiam. Masing-masing menekuri diri sendiri. Sepi.

Ini sore hari. Tampaknya akan turun hujan. Kami duduk di ruang tamu kecil miliknya. Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Bertelepon pun tidak. Entahlah, pagi ini, aku merasa ada sesuatu dengan dirinya. Aku menelepon dan datang ke rumahnya. Kami terlibat dalam pembicaraan serius.

Dia harus membuat keputusan. Ini menyangkut kehidupan berikutnya. Masa depan harus dipikirkan. Aku merasa ikut bertanggung jawab atas masa depannya. Setidak-tidaknya, aku ikut membantu dalam menemukan jalan pemecahan yang lebih tepat. Aku sadar, keputusan sepenuhnya ada padanya. Bila aku merasa ikut bertanggung jawab dan terlibat, itu sebagai kawan akrab saja. Kami sampai pada pertanyaan, ”Siapakah aku ini?” Dari pertanyaan itu, kami berharap dapat menemukan jawaban yang benar dan baik buat dia.

Kilat sesekali menyambar. Hujan turun. Bau tanah menyebar ke ruang tamu. Petir menggelegar dan mengagetkan kami. Kami terbangun dari keterdiaman.
”Hujan,” kataku.
”Ya,” jawabnya pendek.
”Ini November. Sudah mulai musim penghujan,” sambungku yang seakan lebih berbicara pada diriku sendiri.

Dia membetulkan posisi duduk. Dia tampak cantik sekali. Baju warna putih tampak cocok untuknya. Kulitnya sawo matang. Namun, aku malah menyebut kulitnya berwarna putih. Matanya tampak lembut. Selembut bibir dan wajahnya. Dirinya tampak kalem. Pembawaannya tenang dan halus. Namun, semangatnya tinggi dan berkemauan keras. Orang banyak sering menyebutnya ”gadis ayu”. Aku merasa memiliki dirinya. Perasaan, pemikiran, sikap, dan pembawaannya amat cocok denganku. Dia pun mengatakan begitu tentang aku.

Dulu, kami bertemu di dusunnya. Dia sedang liburan kerja dan aku live in di dusunnya. Suatu pertemuan yang luar biasa dan membawaku jatuh cinta serta membuatnya jatuh hati. Pada suatu malam, aku dan teman-teman yang sama-sama live in sedang bermain gamelan di rumah sebelah rumahnya. Tetangga-tetangga dekat berdatangan ingin melihat kebolehan kami. Di antara mereka itu, ada dirinya. Ini untuk kali ketiga aku melihat dia di antara tetangga-tetangga yang biasanya kutemui di dusun ini.

Waktu istirahat pun tiba. Beberapa gelas teh manis aku sikat. Aku tak mengerti kalau dia memperhatikan tingkahku yang serakah itu.

”Tambah lagi,” sapanya halus. Aku terkejut dan malu. Dadaku deg-degan! Aduh, ketahuan kalau aku serakah. Tapi aku sungguh haus. Kutata nafasku dan berusaha menjawabnya.

”Cukup, Mbak. Terima kasih,” kataku. Aku melihat ke arahnya. Kulihat matanya menatapku dengan tajam. Aku dibuat grogi. Aku berpikir keras, apa yang harus kulakukan? Sialan, umpatku dalam hati. Tatapannya luar biasa. Apalagi senyumnya itu. Sungguh luar biasa! Putri kahyangan turun ke bumi dan anjlok di dusun yang jauh dari keramaian ini.

”Namaku N,” katanya sambil memperkenalkan diri. Aku gelagapan tak karuan. Aku semakin grogi saja. Sungguh tak kusangka ini akan terjadi.
”Namaku...e...e...M,” jawabku. Tanganku gemetar menyambut tangannya. Halus. Sungguh halus.
”Yuk, ke rumahku,” ajaknya.
”Ke rumahmu? Eh, latihan ini belum selesai, Mbak,” jawabku kaget dan sekenanya.
”Kita lewat belakang saja,” lanjutnya. Waduh!
”Sebentar lagi, ya Mbak. Eh, eh...sudah akan selesai kok,” jawabku. Kulihat dia mengangguk. Aku sudah tak dapat berkonsentrasi dalam latihan gamelan. Pikiranku kacau. Kok tiba-tiba ada gadis yang begitu saja mengajakku ke rumahnya? Begitu latihan selesai, aku meninggalkan arena latihan. Aku pun pergi ke rumahnya tanpa harus lewat pintu belakang. Ah, duhhh....!

Aku duduk berhadapan dengan dia! Beberapa saat, kawan-kawanku pun datang ke rumahnya. Mungkin, mereka mencarinya. Tapi nasib baik jatuh padaku. Aku masih tak mengerti, apa maksudnya untuk mengajakku ke rumahnya, padahal ini pukul 21. 45.

”Rasanya kita sudah pernah bertemu,” katanya, ”tapi di mana, ya?” Aku berpikir keras untuk mencari kata yang tepat.
”Mungkin di dalam mimpi, Mbak,” sahutku beberapa saat. Dia hanya tersenyum.
”Kamu mirip teman karibku di kota M sana. Sungguh mirip. Kita bisa berteman, kan?” tanyanya. Aku tak paham dengan apa yang dikatakan olehnya.
”Temanmu? Mirip?” tanyaku menegaskan.
”Ya!” tegasnya. Aku terhenyak. Wajahku terasa panas.
”Kamu kaget, ya?” sahutnya. Mati aku! Dia tahu perubahan wajahku.
”Jadi, bisa kan kita bersahabat?” ulangnya.
”Mbak, aku bukan teman Mbak itu. Aku orang baru bagi Mbak. Jika Mbak menganggapku orang baru, aku tak keberatan,” kataku. Ah, aku telah menemukan diriku. Cerdas! Dia sesekali menatapku tajam. Dia lalu bercerita tentang temannya di kota M itu.

”Namanya Sxxxx. Kami akrab. Tetapi sekarang dia sudah menikah,” katanya. Kulihat dia menarik nafas dalam-dalam. Ada kenangan yang diingatnya.
”Menikah dengan siapa, Mbak?” tanyaku ingin tahu.
”Kekasihnya.”
”Lah....terus...Mbak ini?”
”Aku hanya teman biasa. Ia dinikahkan dengan pilihan orang tuanya.”
Oh, begitu! Aku melihat dalam-dalam ke wajahnya. Dia memang ayu. Aku menikmatinya. Tampaknya, dia berusaha melupakan kenangan dengan teman biasanya itu.

”Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi. Kita bisa bersahabat, kan?”
”Saya kira, kita bisa bersahabat dengan siapa saja, Mbak. Tapi aku takut kalau Mbak menyamakan aku dengan teman Mbak itu. Nanti Mbak bisa kecewa. Aku yakin aku bukan dia. Aku orang baru bagi Mbak. Begitu pun Mbak bagiku.”
”Baiklah. Aku berjanji. Kamu orang baru bagiku. Kita bisa memulainya, kan?”
”Ya! Kita bisa berteman. Atau kita...eh...em...,” kata-kataku tak bisa kulanjutkan. Takut menyinggung perasaannya.
”Kita apa, hayo? Pacaran! Begitu?” sahutnya cepat sambil tertawa kecil
”Begitu juga kan maksudmu?” tanyaku tak ingin kalah.
”Mungkin....”
”Kok mungkin?
”Hei! Serius ya? Kamu kok ngejar?” sahutnya lagi. Aku malah menjadi penasaran. Aku tersipu malu. Tapi aku yakin, ini keinginannya yang sesungguhnya. Aku dibuatnya gelagapan. Penasaran! Ini rencananya! Ini skenarionya! Dia luar biasa cerdasnya!

(bersambung)

Tidak ada komentar: