Jumat, 13 Februari 2009

Membunuh Diri

Awal tahun 2002, koran, majalah, dan media elektronik ramai memberitakan banjir yang melanda beberapa daerah dan negara lain. (Di tahun 2008, saat tulisan ini aku upload, banjir itu masih tetap mengganas) Mungkin, di antara kita ada yang terkena banjir. Misalnya, banjir di Jakarta yang menyebabkan banyak warga mengungsi ke daerah lain yang dianggap lebih aman. Pembabatan dan penjarahan hutan yang semakin meluas yang mengakibatkan hutan menjadi gundul. Kompas (7/3/02) memberitakan tentang penambangan pasir yang menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi. Informasi-informasi ini juga membanjiri kita.
Banjir yang melanda beberapa daerah negara kita menimbulkan kerugian materi, teruma psikis, bahkan nyawa manusia. Ketenteraman dan kesejahteraan terusik, terganggu dan semakin membebani masyarakat yang sejak lama berjuang untuk keluar dari krisis multidimensi. Puncak, Bogor dituding sebagai salah satu penyebab banjir di Jakarta. Puncak sebagai daerah resapan air menjadi gundul akibat pembabatan pohon. Puncak menjadi ’hutan’ perumahan dan villa. Suatu kenyataan bahwa banjir melanda wilayah negara kita dan kita menderiat sebagai akibatnya.
Di pihak lain, banjir yang mengakibatkan penderitaan itu menumbuhkan sikap solider sesamanya. Misalnya, ada sekelompok masyarakat yang memberi bantuan berupa sembako dan obat-obatan. Beberapa stasiun televisi membuka dompet bantuan untuk korban banjir, dan ada pendirian posko-posko bantuan banjir. Bantuan-bantuan itu diharapkan mengurangi penderitaan sesama yang tertimpa bencana banjir. Pertanyaan yang dapat timbul adalah apakah banjir itu masih akan melanda daerah kita lagi? Atau daerah kita sudah tidak akan kebanjiran? (Pada kenyataannya, ketika tulisan ini aku upload, banjir malah semakin meluas di daerah lain!)
Kita dan pemerintah mengetahui bahwa akibat pembabatan hutan mengurangi daerah resapan air. Akibat selanjutnya adalah tanah gundul, erosi, sumber-sumber air kering dan banjir. Selain itu, keseimbangan ekosistem terganggu, panas meningkat, musim tidak teratur dan tidak menentu. Kita dan pemerintah mengerti dan dapat membuat kebijakan untuk menanggulangi banjir. Kita dan pemerintah tahu bahwa negara memiliki kekayaan alam dan ada income dari alam itu, baik materi maupun keseimbangan dan keserasian lingkungan. Kita dan pemerintah mengetahui bahwa banjir mengakibatkan penderitaan dan kerugian secara materi, jasmani, dan psikorohani. Penderitaan akibat banjir bukan hanya saat banjir saja, tetapi pascabanjir misalnya sarana prasaran rusak. KOMPAS (6 & 7/03/02) memberitakan beberapa warga terserang penyakit lepsospirosis dan di antaranya meninggal. Kita dan pemerintah mengetahui bahwa tindakan orang-orang yang tak bertanggung jawab mengakibatkan banjir melanda kita. Mungkin kita dan pemerintah mengetahui bahwa orang-orang itu melakukan tindakan bunuh diri dan kita kena akibatnya. Pertanyaannya adalah, sudahkah kita dan pemerintah mengetahui, tetapi tidak mengerti apa yang harus kita perbuat? Atau kita dan pemerintah mengetahui dan mengerti yang semestinya dilakukan, tetapi tidak mau mengerjakan dengan berbagai alasan? Yang jelas, ktia tidak berharap banjir melanda daerah kita.
Sebagai warga negara, kita dapat melakukan tindakan preventif terhadap bahaya banjir, baik perorangan maupun bersama-sama. Menurut saya, kita juga ikut bertanggung jawab untuk mengatasi banjir. Tidak bijak jika semua tanggung jawab dilimpahkan kepada pemerintah. Kita dapat membantu pemerintah. Misalnya mulai sekarang kita. Syukurlah kalau sudah, kita tertib membuang sampah. Bukahkah sampah dapat menyebabkan banjir? Membuang sampah sembarangan dapat menyebabkan saluran air, selokan, dan sungai tersumbat. Selain itu, lingkungan menjadi tidak sehat, air tercemar, dan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Dari keluarga, anak-anak, dan kenalan ktia, kita menanamkan sikap sadar akan rasa mencintai lingkungan, tananam, dan pohon. Tanaman dan pepohonan juga sesama kita yaitu sesama ciptaan Tuhan. Kita memperlakukan mereka sebagai sesama kita. Sebagai sesama mereka harus dihormati, dipelihara, dan dijaga. Kita tidak dapat sewenang-wenang terhadap mereka. Kita mulai dari tananam dan pohon di lingkungan rumah kita.
Syair lagu miliki Ebiet G. Ade berjudul ”Untuk Kita Renungkan” sangat mengesan. Begini bunyi cuplikannya, ”...ini bukan hukuman/hanya satu isyarat/bahwa kita mesti banyak berbenah”. Ebiet mengingatkan dan mengingatkan kita untuk sadar dan bertobat. Bukankah kita tak ingin menderita dan membunuh diri karena kecerobohan, ketamakan, dan kesewang-wenangan terhadap alam lingkungan? Apa kata Ebiet dalam ”Senandung Pucuk-pucuk Pinus”? Dia berkata, ” Bila kita tak segan mendaki/lebih jauh lagi/kita akan segera rasakan betapa bersahabatnya alam/bila kita tak segan menyatu/lebih erat lagi/kita akan segera percaya betapa bersahajanya alam”.


Yogyakarta, 08 Maret 2002 (Cinta itu ada-Ku; Ia Sang Pengada)
(disarikan dari file lain, 16 Desember)


Tidak ada komentar: