Sabtu, 18 Juni 2011

Aku Bangga Kalian

Udara panas bulan Mei masih menggeliat di sekitarku. Ketika itu, aku masih sibuk mengoreksi lembar-lembar kertas hasil ulangan murid-murid. Ketika aku masih mengoreksi kertas-kertas itu, sebuah ketukan di pintu terdengar di telingaku. Kuhentikan pekerjaanku dan kulihat ke arah pintu. Hendry dan Eko bergegas masuk ke ruanganku.

"Ada apa?" tanyaku sambil melihat wajah dua muridku itu. Hendri sang ketua kelas tampak malu-malu hendak menyampaikan sesuatu kepadaku.

"Gini, Bro. Kelas X G akan rekreasi bersama nanti sebelum kenaikan," kata Hendry segan-segan. Aku hanya tersenyum. Kegiatan rekreasi bersama seperti ini kadang menjadi kehendak beberapa kelas sebelum kenaikan. Maklumlah, mereka merasa bahwa kebersamaan selama dua semester bisa jadi akan berubah karena terpisah dengan kelas yang berbeda di kelas XI nanti.

"Sudah dipikirkan belum? Acaranya apa? Pengeluarannya bagaimana? Jangan sampai memberatkan nanti," sahutku.

"Kami iuran, Bro. Jadi sejak sekarang kami sudah mengumpulkan uangnya," kata Eko.

"Rencananya, kami nanti rekreasi ke pantai," tambah Hendry.

"Kalian kan banyak. Berangkatnya dipikirkan juga," timpalku.

"Ya, rencananya kami menggunakan bus, Bro. Makanya, kami iuran dari sekarang."

"Yang penting direncanakan sungguh-sungguh. Tapi, kalau rencana kalian nanti tidak disetujui Kepala Sekolah, jangan kecewa. Maka, selain saya sebagai wali kelas, kalian nanti tetap menyampaikan kepada Kepala Sekolah," tambahku sedikit panjang.

"Baik, Bro. Nanti kami rencanakan dengan kawan-kawan."

"Baiklah. Yang penting jangan memberatkan kalian."

"Ya, Bro. Terima kasih. Kami kembali ke kelas." Kedua muridku itu kemudian meninggalkan ruanganku. Aku mengangguk dan melanjutkan kegiatanku.

Rupanya, rencana itu memang mereka rencanakan. Dari beberapa murid lain, aku mendengar bahwa mereka memang ingin rekreasi sebelum penerimaan raport.

Juni, ujian akhir semester usai. Sekolah sibuk dengan pengolahan nilai raport para murid. Aku pun hanyut dalam kesibukan pengolahan nilai yang selalu menjadi pekerjaan lemburanku dan juga rekan-rekan guru yang lain.

Seperti siang-siang yang sama, siang itu aku juga tengah sibuk mengolah nilai mata pelajaran yang kuampu. Saat itulah, Ance dan Netty, dua muridku yang lain mengetuk pintu dan masuk ke ruanganku. Tak seperti Hendry dan Eko yang langsung menuju ke tempat dudukku, Ance dan Netty malah saling dorong untuk datang ke tempatku.

"Ada apa ini?" sapaku terlebih dahulu. Kuhentikan pekerjaanku dan melihat ke arah mereka. Dengan sambil tetap mengumpulkan keberanian, (ah, apa mereka ketakutan? tidak juga. hanya malu-malu) mereka berdua kemudian datang ke tempatku.

"Bro, gini...kami mau rekreasi ke Pantai Pulau Datok. Bisa menemani?" Ance memulai perbincangan.

"Oh, rencana rekreasi itu jadi?"

"Iya. Kami sudah menyiapkan. Bro ikut, ya? Kan wali kelas memang kami minta," tambah Netty.

"Wah, kalau aku tak ada kegiatan lain, bisa ikut. Tapi kalau ada, ya...tidak bisa ikut," sahutku.

"Yaa, ikutlah, Bro. Nanti tidak ada yang menemani kami. Bro kan wali kelas kami."

"Usahakanlah, Bro."

"Baik. Nanti aku pertimbangkan. Yang penting, saya tidak hanya ingin pergi sendiri. Kalau bisa, ada guru lain yang menyertai."

"Ada kok. Kelas lain kan juga ada rencana ke sana dengan ditemani wali kelas."

"Baiklah. Yang penting, rencana ini mesti dimatangkan. Tidak asal pergi." Mereka mengiyakan dan kemudian meninggalkan ruanganku.

Tak mudah memang membuat sebuah rencana yang dilandasi dengan kebersamaan. Akan tetapi aku menyadari bahwa mereka mau melakukan banyak hal karena dilandasi suatu kehendak yang menyenangkan. Wajar saja karena mereka masih remaja.

Meski demikian, aku ingat benar bahwa membentuk kebersamaan di awal perjumpaan dengan mereka bukanlah hal yang mudah. Murid-muridku di kelas XG berasal dari berbagai sekolah dengan latar belakang hasil pendidikan yang sangat beragam. Inilah hal yang selalu "berat" di awal semester jika harus memegang kelas X. Seakan-akan, di kelas X ini segala hal akan diolah dan dibentuk. Di kelas X inilah yang menjadi dasar di kelas berikutnya, kualitas murid itu akan tampak. Mutu tak selamanya dilihat dari hasil akademik yang mereka raih. Mutu juga akan terlihat bagaimana mereka berproses dalam kebersamaan dan menyusun suatu rencana, meski rencana itu dilandasi rasa kesenangan belaka.

Aku percaya bahwa dihadapkan pada suatu masalah tertentu, seseorang pun akan digiring kepada suatu pemecahan. Seperti juga yang terjadi pada murid-muridku itu.

Rencana itu telah mereka persiapkan. Mereka telah mengumpulkan uang jajan mereka sedikit demi sedikit. Mereka telah menyampaikan rencana itu pada orang yang dianggap sebagai wakil orang tua. Mereka sudah memberanikan diri untuk mendiskusikan dengan wali kelasnya.

Akan tetapi, kendala itu pun ternyata mereka hadapi. Satu kendala yang disampaikan kepadaku adalah sarana transportasi. Banyak pihak, termasuk kelas lain, yang memesan bus. Ini pulalah yang membuat murid-muridku pun terpaksa pontang-panting. Bus pesanan mereka, telah diambil oleh pemesan lain. Anak yang bertugas mencari bus mengatakan kalau pemesan itu berani membayar lebih mahal lagi. Ah, inilah sebuah pembelajaran bagi mereka. Siapa yang memiliki lebih banyak, itulah yang mendapat. Akan tetapi, murid-muridku jauh lebih memiliki daya. Meski mereka harus kalah, ternyata mereka masih memiliki usaha untuk mendapatkan pengganti. Kekalahan yang menyakitkan. Sama seperti situasiasi saat ini. Siapa yang memiliki banyak uang, dialah yang bisa membeli keadilan. Adilkah jika muridku yang sudah memesan terlebih dahulu, terpaksa gigit jari karena uang panjar mereka ditolak lantaran pihak penyedia layanan sewa kendaraan lebih menunggu pihak lain yang mau membayar lebih mahal?

Sampai menjelang malam, mereka masih terus mencari beberapa tempat yang bisa menyewakan kendaraan. Mereka masih mendiskusikan banyak rencana yang lebih matang.
Dari segala pengalaman itu, aku sebenarnya ingin memberikan penghargaan pada mereka. Inilah proses lama yang dulu tak mungkin akan berhasil jika tidak mereka alami dalam keberbedaan selama mereka menjadi satu kelas. Dari latar belakang sekolah dan tempat tinggal yang berbeda, mereka belajar untuk menyatukannya. Tak mudah memang. Perbedaan itu selalu ada. Mereka mengalami itu, entah sadar atau tidak, dan terus mengikuti dalam proses pembelajaran selama dua semester tersebut.

Tak ada yang bisa kukatakan kecuali rasa bangga. Kebanggaan ini bukan karena aku merasa berhasil mendampingi mereka. Aku lebih merasa bangga bahwa mereka akhirnya bisa melewati proses kebersamaan dalam pembelajaran itu dan menemukan banyak pelajaran bagi mereka.

Tak berlebihan jika aku ingin menyampaikan hal ini. Berproses itu tak gampang. Aku pun setiap saat selalu ada dalam situas tersebut. Bersama mereka ini pun aku berproses. Proses yang masih belum jelas akan berbuah seperti apa. Akan tetapi, melihat mereka itu, aku selalu mendapat harapan bahwa proses tersebut akan membuahkan nilai.

Sebentar lagi, mereka tak akan bersama dalam satu kelas. Mereka akan membentuk komunitas baru di kelas yang baru dengan tuntutan dan tantangan yang baru. Aku hanya berharap pembelajaran di kelas X ini nanti dapat menjadi bekal di kelas berikutnya. Semoga mereka masih tetap bertahan.


Aku bangga pada kalian. Aku mencintai kalian. Meski aku lebih sering bersikap bukan sebagai seseorang yang pantas membimbing kalian. Aku benar-benar bangga kepada kalian. Berkembanglah terus meraih asa di masa depan, Nak.

Tidak ada komentar: