Sabtu, 04 Juni 2011

Air Mata Sahabat Mudaku-1

Apa yang bisa kubanggakan?
Itulah pertanyaan kekecewaan yang mengikutiku di hari Rabu, hari pertama di bulan Juni ini. Sebuah peristiwa yang benar-benar membuatku serasa ingin mengutuki bahwa aku bukanlah orang yang pantas menjadi mengajar, apalagi sebagai mendidik. Jauh sekali dari kesan itu.

Dua jam terakhir, aku memasuki kelas yang saat itu hendak kuajar. Kelas ini, selama aku mengajar, belum pernah "bermasalah" dengan diriku. Ada satu kejadian, namun masih merupakan hal yang wajar dan masih bisa kuatasi. Akan tetapi, entah mengapa, peristiwa yang tak menyenangkan terjadi di kelas ini. Terlebih, ini adalah minggu-minggu terakhir aku mengajar kelas ini karena minggu berikutnya sudah memasuki masa ujian akhir semester.

Sehari sebelumnya, Selasa, murid kelas ini sudah kuminta untuk mengumpulkan tugas dariku. Tugas tersebut telah kuberikan satu minggu yang lalu. Hari itu, aku bermaksud mengumpulkan tugas itu. Begitu masuk kelas, aku menyampaikan kepada mereka untuk menyiapkan tugas yang musti dikumpulkan. Sayangnya, separo lebih murid ternyata salah di dalam mengerjakan tugas. Ketika kertas demi kertas kuperiksa, aku merasa kecewa. Beberapa murid kupanggil ke depan dan kutanya tentang perintah atau instruksi yang kuberikan kepada mereka. Ternyata, tak ada kesamaan jawaban. Tak ada! Maka, aku memutuskan bahwa bagi murid yang salah mengerjakan tugas, mereka wajib mengganti tugas baru yang bahannya hendak kubagikan hari itu. Sedangkan murid yang benar mengerjakan tugas itu, mereka lolos dan kuanggap memenuhi tugas dengan baik.

Inilah titik awal "bencana" pada diriku di hari Rabu itu. Mungkin salah mereka, mungkin bukan salah mereka. Aku yang bersalah. Bisa jadi! Aku yang tidak dapat menjelaskan tugas itu kepada mereka, sehingga mereka tak mampu mengerjakan sesuai permintaanku. Permintaanku! Berarti mereka mengerjakan tugas tersebut sesuai dengan kekuasaanku. Benar kan?

Rabu siang itu, aku masuk ke kelas itu lagi. Sesuai dengan "kuasaku", aku kemudian mengundi tugas untuk murid-murid yang harus mengganti tugas mereka. Setelah masing-masing murid mendapatkan undian tugas, barulah aku menjelaskan tugas tersebut kepada mereka. Sampai di sini, tak ada masalah. Aku memberikan penjelasan kembali agar mereka tidak keliru. Mereka kuberi kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal teknis berkaitan dengan tugas mereka.

Ketika tak ada lagi yang bertanya, barulah aku menjelaskan materi-materi yang nantinya memperkaya mereka di dalam mengerjakan tugas mandiri. Selama proses itulah, menit demi menit aku merasakan suasana yang berbeda. Murid-murid yang biasanya bisa berkonsentrasi (konsentrasi atau terpaksa?) mendengarkan penjelasanku, siang itu tidaklah demikian. Di sudut sana, dua murid berbincang. Di sebelah sini, dua murid berbisik-bisik. Di sana, seorang murid sibuk dengan sesuatu di tangannya. Di situ, sono, sana, sini, hampir semua sudut, tampak murid berbincang. Tak ada yang peduli dengan aku!

Aku diam. Ingatan tentang kejadian sehari bahwa mereka keliru mengerjakan tugas itu terbayang lagi. Rahangku terkatup. Aku menahan diri.

Kemudian aku melangkah ke meja guru dan duduk. Kutunggu beberapa saat, namun suara dengungan bagai lebah itu masih menggema di kelas dan diseling suara "sstttt" dari beberapa murid yang mulai menyadari situasi.

Kuraih buku jurnal kelas dan kutandatangani. Kulirik arlojiku. Waktu mengajar jam terakhir ini masih menyisakan waktu 45 menit. Masih cukup lama, pikirku. Entahlah, perasaan kecewa, jengkel, tak mampu apa-apa, menyusup ke ruang dadaku. Terasa sesak.

Kutata buku catatanku di meja. Dengan pelan, tanpa berkata, aku keluar kelas. Senyap. Aku melangkah di koridor sekolah. Gagal lagi, gagal lagi. Perasaan itulah yang kuat kurasakan.

Aku masuk ke ruanganku dan mulai mengerjakan tugas lain yang masih tersisa juga. Daripada omonganku tak mereka pedulikan, lebih baik aku mengerjakan tugas yang masih menumpuk ini. Harus membereskan administrasi pembelajaran, mengoreksi tugas, dan seabrek tugas lain.

Beberapa saat, kudengar ketukan di pintu. Beberapa murid sudah berdiri di sana dan siap masuk ke ruanganku. Aku sudah menduga, mereka adalah murid-murid yang datang dari kelas yang baru saja kuajar tadi. Pelan-pelan mereka masuk.

"Bro, maafkan kami. Kami tadi ribut. Kami mohon Bro mengajar di kelas lagi," kata salah seorang murid perempuan berambut panjang yang diikat di belakang, Lyanti.

"Iya, kami tahu, kami yang salah," sambung seorang murid perempuan gemuk murah senyum, Inez.

"Kami harap Bro ngajar lagi sekarang," tambah sang ketua kelas, Hansen. Aku masih terdiam. Kubiarkan mereka menyampaikan keinginannya. Ketika tak ada lagi yang berbicara, aku mulai bicara.

"Sudah? Kalian sudah selesai bicara?" tanyaku.

"Bro, jangan gitu. Masuk kelas lagi, ya?" sahut seorang murid berkacamata, Hellen. Kawan-kawannya yang lain pun menimpali. Aku menghela nafas.

"Kalau kalian sudah selesai berbicara, silakan masuk kelas," sahutku. Mereka masih tetap memintaku untuk masuk kelas lagi.

"Tidak," jawabku,"kalian sudah ada bahan yang bisa dipakai untuk belajar."

"Tapi kalau tidak diajari, nanti salah. Sedang kami diajari saja masih salah," sahut Lyanti yang memang paling banyak berbicara.

"Sudahlah. Masuk kelas sekarang," kataku tegas. Mereka berjalan keluar ruangan. Aku pun melanjutkan lagi membuka file pekerjaan di laptopku. Belum sempat aku membuka file yang ingin kukerjakan, pintu ruangan terdengar diketuk kembali. Mereka datang lagi. Lyanti, Hellen, dan sang juara kelas, Riestia.

"Broo....masuk kelas, ya?" suara Riestia mengawali kawan-kawannya. Kulirik wajah dengan pipi bulat itu masih menyisakan senyuman.

"Lho, kan tadi sudah kukatakan, tidak. Silakan kalian belajar lagi," sahutku.

"Yaaah, kami jadi merasa bersalah. Kami tadi memang tidak memperhatikan ketika Bro menjelaskan. Tapi, kami ingin Bro mengajar lagi," tambah Lyanti yang sejak awal paling keras untuk memintaku untuk masuk kelas. Pintar dan keras! Itulah yang kukenal tentang dia. Hellen masih belum berucap. Justru Riestia yang kembali berbicara.

"Jangan gitulah Bro. Masuk kelas, ya," mintanya pelan. Anak ini memang tak pandai berkata-kata banyak, namun otaknya yang encer mampu menutupi kekurangannya ini.

"Sudahlah, hari ini aku tidak masuk kelas. Termasuk nanti hari Jumat," kataku cepat. Mataku yang menatap file pekerjaan di laptop semakin menambah galau perasaan. Pekerjaan yang harus selesai kukerjaan secepatnya dan ditambah lagi dengan keributan di kelas mereka ini.

"Waaah, jangan! Masa Jumat juga tidak masuk," sahut Lyanti. Aku tidak mampu menahan senyum.

"Ihh, Bro bikin kami takut. Jangan marahlah," tambah Hellen.

"Hmm, gini aja. Bahan sudah ada di tangan kalian. Kalian bisa belajar sendiri. Jumat besok aku hanya ingin mengumpulkan tugas. Gitu ya? Jelas?" sahutku. Huh, aku ini memang kepala batu! Tak bergeming meski yang datang adalah murid-murid terbaik di kelas itu.

Lyanti dan Riestia hanya berpandangan saja. Bayangan kelegaan yang tadi sempat menyelinap di wajah mereka, hilang kembali. Senyumku tadi, rupanya bukan akhir dari semuanya.

Senyap. Tak ada lagi suara. Tiba-tiba bel jam terakhir berbunyi.

"Sudahlah, kembali ke kelas. Hari ini 'kan kalian piket kebersihan kelas," kataku. Mereka meninggalkan ruanganku.

Aku menghela nafas. File yang baru saja kubuka kututup lagi. Aku ingin cepat-cepat pulang. Sesak, jenuh, membosankan! Tiba-tiba, pintu ruanganku diketuk kembali. (bersambung)

Tidak ada komentar: