Senin, 10 Mei 2010

Mereka Itu...

Hampir satu tahun aku "belajar mengajar" di sekolah ini. Perjalanan hampir satu tahun itu tentulah penuh dengan riak-riak yang membuat hamparan pengalamanku semakin bertambah luas. Sejujurnya dapat kukatakan bahwa "belajar mengajar" ini belum membuatku puas. Aku merasa masih banyak hal yang harus kuperbarui dan kuolah kembali. Aku tidak tahu, kapan semuanya akan menjadi lebih baik.

Terkadang, terbersit rasa enggan untuk melanjutkan "belajar" ini. Ada saja lubang-lubang kelemahan yang membuatku untuk memilih "mundur". Akan tetapi, jika aku melihat para seniorku yang telah berjuang sekian tahun masih tetap bertahan, rasanya malu jika aku yang memilih mundur. Aku berpikir, lebih baik segi lain sajalah yang mengharuskan aku berhenti dari belajar ini.

Rasanya lelah dan capai, jika mengingat beberapa tugas yang harus aku kerjakan. Aku dituntut untuk mempersiapkan bahan pembelajaran yang sepertinya tak pernah habis. Ini sudah jamak, umum! Setiap orang yang berposisi seperti diriku, pasti akan berbuat seperti itu. Entah senang atau tidak! Aku juga harus dituntut untuk bersikap dewasa menghadapi anak-anak muda yang baru menginjak masa-masa remaja ini. Tingkah dan perilaku mereka, terkadang membuatku harus berpikir: apa yang bisa aku perbuat untuk membantu mereka? Sementara, aku menyadari bahwa tak banyak bekal yang bisa aku berikan di dalam mendampingi mereka.

Jika di sela-sela aku menyelesaikan tugas, sambil mendengarkan alunan lagu-lagu, selalu saja terbersit dalam pikiranku suatu tanda tanya: Apa yang sudah kuperbuat bagi mereka itu?

Akan tetapi, jika hanya melihat sisi-sisi tugas yang seolah menjadi beban, aku sadar bahwa itu hanya akan mengurangi hariku dengan suasana muram dan tak memberi semangat. Berat pasti berat! Masalahnya, aku tidak mau mati konyol dengan segala keluhan yang spontan selalu muncul dari sisi lemahku. Aku ingin memberi warna dalam hidup ini. Sama seperti mereka itu yang tetap memiliki warna cemerlang meski harus menghadapi banyak hal yang belum jelas di hadapan mereka.

Sering aku harus berjibaku dengan perasaanku sendiri. Ketika aku harus menegakkan aturan di antara mereka, sementara aku sendiri adalah orang yang berjiwa bebas. Antara aku harus membiarkan segala kebebasan itu merekah di tengah jiwa-jiwa muda itu dan aku harus "membelenggu" dengan pasal-pasal yang mengatur mereka. Sudah bisakah aturan itu hidup dalam diriku juga?

Lepas dari itu semua, aku kembalikan diriku pada makna kedekatan hati yang pantas dibangun sebagai orang yang hidup di tengah riuhnya orang muda yang mencari identitas. Ketika mereka memprotes tindakanku, menyangkal kata-kataku, menyanggah penjelasanku, aku tersudut dalam ketidakmampuan. Akan tetapi, dalam satu kesempatan aku bisa menyadari bahwa di situlah letak hati itu. Ketika mereka memprotes, menyanggah, dan menyangkal, mereka "berbicara" denganku. Mereka menjalin hati denganku. Aku harus menyimpulkan ini. Aku harus melihat ini sebagai dasar bahwa mereka adalah sosok-sosok yang patut untuk memprotes, menyangkal, dan menyanggah. Hingga pada suatu saat, entah kapan, mereka akan tahu bahwa proses itu merupakan satu langkah keberhasilan mereka di dalam menapaki kehidupan.

Aku tersenyum geli. Aku harus mengakui ini. Aku tidak bermaksud untuk menindas mereka. Aku hanya ingin membuka hati kepada mereka. Dengan cara apakah aku bisa "berbicara" dengan mereka, kalau bukan dengan membuka mata dan telinga dari suara dan mulut mereka.

Mungkin aku hanya akan berkata kepada mereka itu, "Nak, berbicaralah! Aku akan 'belajar' mendengarkanmu!"

Tidak ada komentar: