Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 April 2011

Peri Kecil, Izinkan Aku...

Entahlah! Aku begitu menyukai wajahnya. Wajahnya yang bulat seakan memberikan kesan wajah anak-anak yang tanpa salah. Terlebih, aku suka pada kedua pipinya yang meranum, menyerupai buah apel segar kemerahan.

Jika aku menjadi Kevin, akan kugambar wajah bulat kemerahan itu di sampul bukuku atau di buku gambarku. Jika aku menjadi Hilda, akan kutorehkan puisi-puisi kekagumanku di lembaran-lembaran buku harianku. Jika aku menjadi Pania, akan kudendangkan lagu-lagu bernuansa cinta setiap saat. Jika aku menjadi Pak Amir, akan kuciptakan melodi indah yang menyentuh kalbu.

Namun...
Aku bukan mereka yang bisa menggambar, berpuisi, bernyanyi, atau bermelodi.
Aku hanyalah aku yang bisa menyukai wajah bulat dengan kedua pipi kemerahan itu.

Maka, aku menorehkan rasa-rasaku itu di halaman ini dengan segala ungkapan yang terbatas. Kurangkai kata demi kata dengan desakan rasa yang serba terbatas.

Ah, seandainya aku bisa...
Akan kugambar dia layaknya Peri Kecil yang terbang dengan sayap mungilnya
Akan kupuisikan dia layaknya Peri Kecil yang tersenyum ramah pada hewan-hewan di hutan kecil
Akan kunyanyikan dia sebuah lagu di antara rerimbunan pohon bunga melati
Akan kurangkai nada-nada menyentuh hati layaknya Daud merangkai Mazmur

Sayang...
Aku hanyalah aku
Yang hanya bisa memanggil "Peri Kecil" tanpa suara
Yang hanya bisa berbisik tanpa suara

"Peri Kecil, izinkan aku menyentuh kedua pipi ranummu itu sebelum ajal menjemputku..."

Rabu, 30 Maret 2011

Sate


Cak Jo berjalan keliling
Di pundaknya terpikul dua bakul
Satu bakul berisi pemanggang
Satu bakul berisi irisan daging
Cak Jo berjalan keliling
Menjajakan sate dari kampung ke kampung
Memang,
Cak Jo penjual sate madura

"Tee....Satee....!"
Teriaknya setiap lewat di depan rumah, di kerumunan orang, di perempatan, di lapangan, di bawah pohon, di depan toko
Di mana dia ada, Cak Jo berteriak!
"Tee....Satee...!"

Sate Cak Jo
Itu yang tertulis di sisi bakulnya
Sate ayam, ada
Sate kambing, ada
Kalau sate yang lain?
Janganlah ditanya!

Itu dia!
Cak Jo lewat di depan lapangan kampung
Tetapi, kenapa tak membawa pikulan satenya, Cak?
"Sate beserta pikulannya sudah laku dibeli orang, Dik," jawabnya.
"Lho? Terus, Cak Jo gimana?"
"He...he...he...! Aku tak mau jual te-sate lagi, takhiye!"
"Lho? Terus, Cak Jo mau apa?"
"He...he...he...! Aku mau kerja di penambangan! Biar kaya! Biar bisa beli mobil! Biar bisa beli hape! Biar bisa beli rumah gede!"
"Lho? Cak Jo kerja di mana itu?"
"Timah hitam, Dik"

Ooo...Cak, Cak!


22 Desember 2010

Bakmi Goreng


Adem, adem! Hawane adem! Wetenge ngelih! Dingin, dingin! Udara dingin, perut lapar!

Aku selalu berpikir...Jika lapar, lebih baik makan!
Tapi, kalau sedang lapar yang lewat gerobak bakmi goreng Bang Jo?
Ya, terus beli saja!

Ha...ha...ha...!
Bang Jo selalu tertawa sambil mendorong gerobaknya!
"Laku satu piring disyukuri, laku sepuluh piring disyukuri, Dik"
Begitu katanya setiap kutanya, "Laku berapa, Bang?"

Bakmi goreng Bang Jo
Terkenal karena halal!
Bener-bener halal!
Ayamnya, ayam kampung tulen! Asli ayam kampung! Wong aku yang nyediain ayamnya!
Tepung terigunya, terigu asli bikinan mamakku! Terigu tangan wong cilik!
Beli bumbunya, dari Pasar Sentap! Ke tempat Makayu Markonah! Asli Madura yang merantau ke Ketapang!
He...he...he...!
Bang Jo selalu tertawa!

"Hidup itu indah, kok Dik, jika disyukuri."
Maka, meski biaya gas tinggi, Bang Jo tetap tertawa
Meski, biaya sekolah Trindil dan Mindil, kedua anaknya, tinggi, Bang Jo tetap tertawa
Meski, rumah kontrakannya di jalan Matan setiap pasang tergenang air, Bang Jo tetap tertawa
Meski, kampungnya di hulu sana telah berubah jadi kebun sawit, Bang Jo tetap tertawa

"Yang membuat Bang Jo sedih apa e?"
"Tadak mah! Hidup te ndak perlu dibikin sedih akh!"

Justru aku yang sedih
Ketika tak lagi bisa menikmati Bakmi Goreng Bang Jo
Ketika Bang Jo meninggal mendadak
Kena malaria yang terlambat dibawa ke rumah sakit

"Mane kami ada biaya lah, Dik."
Bisik istri Bang Jo di sela tangisnya.

Ohh...


22 Desember 2010

Selasa, 16 Februari 2010

Sedang Membuat Puisi!

Saya sedang memberi tugas pada anak-anak untuk menyiapkan puisinya sendiri-sendiri. Temanya masih saya batasi seputar dunia sekolah, guru, dan relasi mereka dengan orang tua. Saya pikir, dengan pembatasan ini, fokus pemaknaan akan jauh lebih mudah dikaji bersama.

Tak mudah sebenarnya buat saya mengajarkan puisi kepada mereka. Persoalannya, saya musti bisa memberi contoh pada mereka. Ya, contoh puisi-puisi saya. Ya, contoh bagaimana saya membawakan puisi-puisi saya.

Memang sih, saya berusaha untuk memberikan pengantar pada anak-anak itu tentang puisi. Intinya, menikmati puisi itu tidak sebatas pada teorinya saja. Puisi baru dapat dinikmati ketika seseorang bisa mengapreasiasikannya. Berekspresi dan membuat.

Berpuisi! Berpuisilah! Berpuisi adalah menyampaikan perasaan yang berangkat dari pengalaman diri. Puisi, puisi! Biasanya cinta adalah tema puisi yang paling banyak dipilih. Kira-kira kalau puisi seperti ini, apa ya cukup bagus....!

Nak, buatlah puisi tanpa cinta
Buatlah puisi tentang apa saja
Namun bukan puisi cinta!

Nak, menarilah tanpa cinta
Menarilah dengan apa saja
Namun, bukan tarian cinta

Aku ingin melihatmu membahana bukan dengan cinta
Aku ingin menatapmu melayang bukan dengan cinta
Aku ingin menyaksikanmu melambung bukan dengan cinta


Saya memang sedang belajar. Membuat puisi juga sedang belajar. Mengajarkan puisi juga sedang belajar! Apa saja sedang saya pelajari. Termasuk mengagumi seorang murid saya yang sangat pandai membuat puisi, menyusun puisi, membawakan puisi, dan menghayati puisi!

Saya ingin belajar padanya!

Sama seperti saya belajar pada tumbuhan di halaman sekolah yang ingin mengatakan, "Aku perlu siraman air."

Senin, 12 Oktober 2009

Puisi Saya Untuk Dia...

Saya punya puisi. Puisi ini saya buat sejak saya mempunyai kawan di dunia maya. Sebelumnya, saya jarang sekali membuat puisi. Hal barangkali karena saya lebih suka menyampaikan maksud yang ada di dalam hati saya dengan segala keterusterangan tanpa harus dimanis-maniskan. Nah, sejak saya akrab dengan internet yang memberi fasilitas chating, blog, fesbuk, dan emel, saya tiba-tiba saja menjadi suka sekali beromantis ria! Berlebihan? Ah, tidak juga! Masalahnya, jika saya menyampaikan sesuatu kepada kawan saya dengan bahasa harian saya, tentu akan ditangkap dengan biasa pula. Padahal, ada kalanya saya ingin menyampaikan perasaan saya secara lebih mendalam. Dalam arti, agar kawan saya memahami benar bahwa kedekatan kami ini benar-benar ikhlas! Melalui tulisan inilah saya berusaha untuk membagi perasaan saya kepada kawan-kawan saya.

Satu pengalaman pernah saya alami. Dalam suatu masa, kawan di fesbuk saya itu menghilang. Dia tidak bilang ke mana perginya. Padahal sebelumnya, dia merupakan kawan saya berbincang tentang apa saja. Sering saya menikmati kebersamaan ini. Meski perjumpaan saya ini hanya difasilitas internet, namun saya bisa merasakan kesungguhan setiap berbincangan kami.

Saya menunggu! Lama! Tak ada juga kontak darinya. Maka, saya pun membuat puisi untuk mengungkapkan kerinduan saya kepadanya. Saya berharap, jika memang saya tak dapat berkontak lagi, masih ada kenangan atas perasaan yang pernah saya alami.

Inilah puisi itu!
Ketika di sebuah senja,
aku bertanya pada sekawanan burung bangau
yang terbang rendah di dahan pohon dekat rumahku.

"Burung, pernahkah kalian bertemu dengan kekasihku yang menghilang?"

Mereka tak memberi jawaban!

Ketika aku bertanya pada arak-arakan awan yang melayang di atap rumahku.

"Awan, pernahkah kau berjumpa dengan kekasihku yang menghilang?"

Mereka tak memberi anggukan

Sekarang...
Aku bertanya kepadamu!

Masih bisakah kau dengar bisikan angin dari tebing tinggi?
Bahwa aku menunggumu!
Bahwa aku merinduimu!

Ini salah
puisi yang pernah saya buat untuk salah seorang kawan saya. Dari pengalaman ini, saya bisa belajar untuk mengungkapkan perasaan saya. Saya tidak bermaksud menghambur-hamburkan romantisme picisan yang tampak pasaran. Bukan! Saya hanya ingin mengungkapkan perasaan saya dan membagikan kepada kawan saya. Melalui ungkapan itu, saya belajar untuk jujur pada diri saya. Saya berusaha jujur bahwa setiap pribadi memperkaya saya dan memberikan andil dalam kehidupan saya. Entah dengan cara bagaimana, pribadi-pribadi itu turut mengembangkan diri saya dan memupuk hati saya. Hati agar bisa lebih peka akan arti kehadiran sesama dalam segi kehidupan ini.***

Selasa, 12 Mei 2009

Rindu.... Seperti Apakah?


Selama aku masih bisa bernafas
Masih sanggup berjalan
Ku kan slalu memujamu
Meski ku tak tau lagi
Engkau ada di mana
Dengarkan aku, ku merindukanmu

Merindukanmu? Rasanya asing sekali kata itu hinggap di dalam hatiku. Merindukanmu? Bagaimana aku bisa merindukanmu? Sedang aku masih saja selalu sangsi apakah aku bisa mempunyai perasaan cinta? Kadang aku bertanya pada diri sendiri: Cinta yang seperti apa yang sebenarnya aku rindukan? Cinta yang senyata apa yang ingin aku rasakan?

Aku masih bernafas! Aku masih sanggup berjalan! Aku pun masih selalu memujamu. Memuja kelebihanmu! Memuja kekuatanmu! Memuja kepintaranmu! Meski aku tahu keberadaanmu! Meski aku tahu bahwa engkau berdiri di sana! Meski aku tahu engkau berjuang di sana! Namun...

Mengapa aku tak bisa merindukanmu?
Sering aku bercanda dengan malam. Hai malam, mengapa engkau selalu berwarna hitam? Malam hanya akan tertawa mendengar kata-kataku. Mungkin dia membatin: bodoh sekali pertanyaan itu! Kadang aku mengganggu goyangan dedaunan. Kubertanya: hai daun hijau, apakah kau rindu hujan? Daun itu hanya tertawa mendengar pertanyaanku. Mungkin dia membatin: bodoh sekali pertanyaan itu!

Aku ingin merasakan rindu. Aku ingin merindukanmu! Namun..., rindu seperti apa yang yang sebenarnya aku rindukan?

Akan tetapi, aku benar-benar ingin tahu, rindu itu seperti apa? Mengapa aku tak bisa merasakan kerinduan itu?



Semarang, 12 Mei 2009 (titip rindu buat dia....)

Sabtu, 04 April 2009

Goresan Buat ”Kak S”


Goresan Satu
Sepasang mata bening

Menatap penuh tanya
Pada sesosok wajah teduh
Yang berjongkok di depannya dengan senyum selapis menggurat tipis di bibir hitamnya

Sepasang mata bulat bening tak lepaskan tatapan
"Ayah, kenapa namaku pendek?"
"Ah, namamu itu sebuah nama yang cantik, Cah Ayu."
"Secantik apa?"
"Secantik bintang-bintang yang bertaburan di hamparan karpet biru negeri Italia..."

"Ah, Ayah..."
"Ya, Cah Ayu."
"Benarkah aku cantik?"
"Iya tentu saja."
"Tapi kenapa namaku pendek, Yah? Kenapa?"

Sepasang mata bening bulat tak lepaskan tatapannya
Sepasang mata tua meredup tak lepaskan selarit senyuman

"Nak, namamu pendek. Tetapi, jika kau bisa memberi cinta pada selaksa makhluk, kau akan menerima keharuman nama yang tak akan pernah lekang. Suatu saat, kau akan mengerti, mengapa aku beri kau nama yang pendek.

"Gadis kecil tertunduk kelu
Dengan desakan tanya penuh talu
Gadis kecil berlari ke kaki cakrawala...

Lelaki separuh baya tak pernah lepas dari harap dalam sanubarinya...
"Jadikan bumi penuh kecantikan, Cah Ayu"

Bisiknya pada angin, pada awan, pada pucuk-pucuk kamboja!


Goresan Dua
Sepasang tangan mungil

Menggenggam jemari rapuh
Yang terbaring lemah di bibir dipan

"Ayah..."
Raut wajah tua kelelahan. Terdiam dalam haribaan

"Ini aku ayah. Mengapa Ayah diam saja?"

Seutas senyum terjulur di bibir pucat tua
Seakan berkata penuh kasih sayang
"Aku selalu mendengarmu, Cah Ayu! Bicaralah!"

Seraut wajah mungil bersaput mendung
Sepasang mata bening bersaput telaga hijau
Hampir sudah bendungan rasa mendedah dada
Tak kuasa jiwa menahan gejolak
Hampir pecah kalbu menahan tangisan

"Ayah...Sampai kapan rasa ini terhimpit batu? Sementara Ayah terdiam tenang di peraduan abadi?"


Sepasang cicak bergerak perlahan. Tak ingin mendengar keluh kesah dari bibir mungkil kepucatan. Di angkasa, sepasang bangau terbang melintas dengan sunyi. Di ufuk barat, sebutir matamalam melayang pelan.


Semarang, 5 April 2009
(Perarakan Maut)