"Masuk, Len," suruhku pada siswi itu. Len, siswi yang tadi mengetuk pintu ruanganku, bergegas mendekatiku.
"Mau menanyakan tugas rumah yang saya kerjakan. Boleh, Bro?" katanya setelah mendekat. Aku menyingkirkan beberapa buku dan laptop ke sudut meja sambil melihat ke arah kertas yang disodorkan Len. Waktu aku hendak meraih kertas itu, sekilas mataku melihat ke arah pintu. Aku terhenyak sebentar. Bayangan tiga murid tadi sekilas tertangkap sudut mataku. Masih mau apa lagi, batinku.
"Mana tugasmu," kataku mengalihkan perhatian pada kertas Len yang masih terulur. Aku melihat sejenak dan kemudian memberikan beberapa koreksi.
"Yang salah ini masih perlu diperbaiki."
"Terima kasih, Bro." Aku mengangguk dan Len pun meninggalkan ruanganku. Kuikuti langkah-langkahnya dengan maksud ingin melihat ketiga muridku masih berdiri di pintu ataukah telah pulang setelah aku berdiskusi dengan Len. Ternyata mereka masih ada di sana. Begitu Len meninggalkan ruanganku, mereka bertiga masuk. Rasa pepatku mulai muncul lagi.
"Ada apalagi?" tanyaku. Lyanti yang berjalan paling depan membuka suara.
"Kami minta maaf. Kami tahu kami salah. Tapi kalau Bro tak mau lagi masuk kelas kami, kami makin merasa bersalah...," katanya pelan. Kutatap mata muridku ini. Semburat warna merah telah membayang di bola matanya. Kedip-kedip kelopaknya, akhirnya menumpahkan butiran-butiran air mata yang mengalir cepat di pipinya. Aku tercekat. Aku belum sempat menjawab, ketika sayup-sayup terdengar isak tangis. Baru aku sadar bahwa Lyanti tidak sendiri. Dia bersama Riestia dan Hellen. Mereka berdua tanpa dikomando, bagaikan kor tanpa dirigen menumpahkan air mata dan isak tangis.
Ruangan panas. Dengung kipas angin serasa menyobek-nyobek rasa. Aku hanya menghela nafas. Melihat mereka menangis, rasanya aku tak ada lagi alasan untuk menolak mereka. Akan tetapi, aku harus nyata memaparkan situasi yang ada bagi mereka.
"Maaf kalian aku terima. Aku juga tidak menyalahkan kalian. Lebih-lebih, kalian sudah mau menemuiku. Tapi, ini tidak menyelesaikan masalah."
"Tapi kami mau Bro masuk kelas kami lagi," sela Riestia di sela isak tangisnya. Aku terdiam. Aku mesti menyampaikan segala alasan. Barangkali ini sekedar alasanku saja. Barangkali ini sekedar kekerasan hatiku saja. Akan tetapi, aku memang benar-benar tak bisa menerima. Kelas yang selama ini kurasa tidak ada masalah, kenapa di akhir tahun tahun pelajaran ini mencoreng arang?
"Aku tahu. Aku menghargai usaha kalian. Tapi, cobalah kalian mengerti. Kelas kalian ini bagiku tak pernah ada masalah yang cukup menggangguku. Tapi kenapa hampir selesai dan tinggal satu minggu saja, sikap kalian bisa serti itu? Seingatku, hanya kelas kalian ini yang justru paling lengkap jumlah jam tatap mukaku dengan kalian dibandingkan kelas lain. Sayangnya kalian seolah-olah tidak menganggap perlu."
"Ya, kami salah, Bro. Tadi kami ngobrol."
"Itu aku telah tahu. Masalahnya, ini tak cukup hanya dengan cara kalian ini. Aku paham maksud kalian membantu kawan-kawan lain dengan datang kepadaku dan meminta maaf padaku. Tapi, coba nanti kalian lihat, apakah usaha kalian ini bagi mereka memiliki makna? Apa mereka, paling tidak dengan sikap, mereka mau menunjukkan terima kasih kepada kalian yang telah menemuiku dan mewakili mereka untuk meminta maaf?"
"Terus, Bro memang tak ingin mengajar kami lagi?"
"Seperti kata-kataku tadi. Lebih baik kalian belajar sendiri saja. Hari Jumat depan, aku hanya ingin meminta tugas yang mesti kalian kumpulkan. Selebihnya, silakan kalian belajar sendiri."
"Ya sudah kalau itu yang Bro inginkan. Kami tak bisa maksa. Kami hanya ingin Bro mengajar kami," sahut Hellen yang suaranya berjibaku dengan isaknya yang mendera.
Aku menghela nafas. Diam. Isak tangis mereka masih terdengar. Manusia apa aku ini, kok tidak luluh juga dengan upaya murid-murid itu. Mereka membuang rasa malu mereka dan terpaksa harus meledakkan perasaan dengan isakan tangis yang tak kunjung berhenti.
"Sudahlah. Tak perlu menangis lagi. Sudah selesai. Tidak apa-apa. Kalian boleh pulang sekarang. Lihat, sudah tidak ada kawan-kawan lain. Sekolah sudah sepi," kataku memecah kebekuan. Aku tak tahu lagi, hal apa yang bisa kusampaikan kepada mereka.
"Tapi Bro belum janji mau masuk kelas kami," kata Riestia.
"Ya, nanti melihat keadaan. Aku masih akan meminta tugas dari kelas kalian. Begitu, ya? Sekarang kalian boleh pulang." Aku bangkit dari kursiku dan mereka pun bergegas melangkah ke luar ruanganku. Sisa-sisa isak tangis itu masih terdengar. Sambil berjalan, tangan mereka sibuk menyeka air mata yang belum mengering di kelopak mata dan bersimbah di pipi mereka.
Kuantar mereka sampai di pintu. Sekali lagi kupesankan agar tak lagi memikirkan hal ini lagi. Kuanggap semuanya telah selesai. Ketika mereka hilang di balik pintu gerbang, aku berjalan ke arah ruang Tata Usaha. Ada sedikit urusan dengan Pak Marijo, karyawan TU sekolah kami.
Mengingat air mata mereka itu, aku serasa ditampar berkali-kali. Apa yang bisa aku lakukan sebagai guru? Terlebih, dengan kejadian ini, aku merasa tak bisa mengatasi suatu persoalan di kelas yang sebenarnya hal sepele. Murid berbicara dengan kawan dan tak mendengarkan guru menjelaskan. Itu kan hal yang umum terjadi? Terlebih, jika penjelasan guru tak mengena pada hati mereka, tentu mereka akan mengalihkan perhatian pada aktivitas lain. Mengapa aku bisa menjadi begini kalut?
Kalau dipikirkan lebih mendalam, tindakan yang dilakukan oleh murid-muridku itu benar-benar upaya yang jempolan. Jujur saja, seusia mereka ini, aku yakin tak memiliki keberanian untuk menghadap guru dan mengakui kesalahan. Mungkin aku dan teman-teman waktu itu hanya akan diam saat kena marah dan tak menyadari bahwa kami tak berusaha berubah lebih baik. Akan tetapi, mereka ini memiliki keberanian untuk datang dan meminta maaf. Tak hanya ucapan semata. Tangisan.
Ah, rasa-rasanya aku sungguh melukai hati mereka. Mungkin benar kata-kataku bahwa tangis mereka ini tak berarti apa-apa untuk kawan-kawan yang lain. Mungkin kawan-kawan yang lain itu sikapnya masih seperti diriku yang pengecut dan tak mengakui kesalahan. Namun demikian, mereka ini telah diwakili oleh tiga orang siswi yang dengan upaya sendiri rela datang kepadaku, meminta maaf dengan disertai tangisan.
Masih memiliki jiwa welas asihkan aku, dengan membiarkan tangis mereka pecah membuncah dan berhamburan di pipi-pipi mereka? Masih memiliki maknakah aku sebagai pendidik jika aku tak bisa memberikan sikap yang tepat di hadapan mereka. Marah. Diam. Tak menegur. Kemudian meninggalkan kelas dan tak mau mengajar murid-murid itu?
Itukah tindakah seorang guru? Pendidik?
Kadang terselip rasa jengah, bosan, putus asa. Aku ingin mengakhiri tugasku yang tak bisa menunjukkan jiwa sebagai pendidik ini. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada hiruk pikuknya dunia sekolah. Hiruk pikuknya kelas. Gelak tawanya orang muda dengan jiwa mudanya yang sulit ditebak.
Diam dan berhenti. Aku ingin berhenti dan kemudian menyepi di tepi sungai. Di sebuah lembah sunyi dan hanya suara gemericik air sungai serta kicauan burung yang menemani. Kemudian, mati dengan tenang. Entah diketahui orang atau tidak tak perlu kucemaskan.
"Msh marah dg kmi? Bro prnh ksih semngat aq bwt gak putus asa & slalu blajr brani bicara d dpn umum. Tapi knapa Bro mlah b'sikap ptus asa kaya' gini?"
Aku tercekat. Pesan singkat itu kuterima beberapa waktu lalu dari salah satu muridku. Tamparan itu datang lagi. Kini semakin pedas di pipiku sendiri. Sekarang, apa yang musti aku lakukan? Sebuah persimpangan ada di depanku! (tamat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar