Udara panas bulan Mei masih menggeliat di sekitarku. Ketika itu, aku masih sibuk mengoreksi lembar-lembar kertas hasil ulangan murid-murid. Ketika aku masih mengoreksi kertas-kertas itu, sebuah ketukan di pintu terdengar di telingaku. Kuhentikan pekerjaanku dan kulihat ke arah pintu. Hendry dan Eko bergegas masuk ke ruanganku.
"Ada apa?" tanyaku sambil melihat wajah dua muridku itu. Hendri sang ketua kelas tampak malu-malu hendak menyampaikan sesuatu kepadaku.
"Gini, Bro. Kelas X G akan rekreasi bersama nanti sebelum kenaikan," kata Hendry segan-segan. Aku hanya tersenyum. Kegiatan rekreasi bersama seperti ini kadang menjadi kehendak beberapa kelas sebelum kenaikan. Maklumlah, mereka merasa bahwa kebersamaan selama dua semester bisa jadi akan berubah karena terpisah dengan kelas yang berbeda di kelas XI nanti.
"Sudah dipikirkan belum? Acaranya apa? Pengeluarannya bagaimana? Jangan sampai memberatkan nanti," sahutku.
"Kami iuran, Bro. Jadi sejak sekarang kami sudah mengumpulkan uangnya," kata Eko.
"Rencananya, kami nanti rekreasi ke pantai," tambah Hendry.
"Kalian kan banyak. Berangkatnya dipikirkan juga," timpalku.
"Ya, rencananya kami menggunakan bus, Bro. Makanya, kami iuran dari sekarang."
"Yang penting direncanakan sungguh-sungguh. Tapi, kalau rencana kalian nanti tidak disetujui Kepala Sekolah, jangan kecewa. Maka, selain saya sebagai wali kelas, kalian nanti tetap menyampaikan kepada Kepala Sekolah," tambahku sedikit panjang.
"Baik, Bro. Nanti kami rencanakan dengan kawan-kawan."
"Baiklah. Yang penting jangan memberatkan kalian."
"Ya, Bro. Terima kasih. Kami kembali ke kelas." Kedua muridku itu kemudian meninggalkan ruanganku. Aku mengangguk dan melanjutkan kegiatanku.
Rupanya, rencana itu memang mereka rencanakan. Dari beberapa murid lain, aku mendengar bahwa mereka memang ingin rekreasi sebelum penerimaan raport.
Juni, ujian akhir semester usai. Sekolah sibuk dengan pengolahan nilai raport para murid. Aku pun hanyut dalam kesibukan pengolahan nilai yang selalu menjadi pekerjaan lemburanku dan juga rekan-rekan guru yang lain.
Seperti siang-siang yang sama, siang itu aku juga tengah sibuk mengolah nilai mata pelajaran yang kuampu. Saat itulah, Ance dan Netty, dua muridku yang lain mengetuk pintu dan masuk ke ruanganku. Tak seperti Hendry dan Eko yang langsung menuju ke tempat dudukku, Ance dan Netty malah saling dorong untuk datang ke tempatku.
"Ada apa ini?" sapaku terlebih dahulu. Kuhentikan pekerjaanku dan melihat ke arah mereka. Dengan sambil tetap mengumpulkan keberanian, (ah, apa mereka ketakutan? tidak juga. hanya malu-malu) mereka berdua kemudian datang ke tempatku.
"Bro, gini...kami mau rekreasi ke Pantai Pulau Datok. Bisa menemani?" Ance memulai perbincangan.
"Oh, rencana rekreasi itu jadi?"
"Iya. Kami sudah menyiapkan. Bro ikut, ya? Kan wali kelas memang kami minta," tambah Netty.
"Wah, kalau aku tak ada kegiatan lain, bisa ikut. Tapi kalau ada, ya...tidak bisa ikut," sahutku.
"Yaa, ikutlah, Bro. Nanti tidak ada yang menemani kami. Bro kan wali kelas kami."
"Usahakanlah, Bro."
"Baik. Nanti aku pertimbangkan. Yang penting, saya tidak hanya ingin pergi sendiri. Kalau bisa, ada guru lain yang menyertai."
"Ada kok. Kelas lain kan juga ada rencana ke sana dengan ditemani wali kelas."
"Baiklah. Yang penting, rencana ini mesti dimatangkan. Tidak asal pergi." Mereka mengiyakan dan kemudian meninggalkan ruanganku.
Tak mudah memang membuat sebuah rencana yang dilandasi dengan kebersamaan. Akan tetapi aku menyadari bahwa mereka mau melakukan banyak hal karena dilandasi suatu kehendak yang menyenangkan. Wajar saja karena mereka masih remaja.
Meski demikian, aku ingat benar bahwa membentuk kebersamaan di awal perjumpaan dengan mereka bukanlah hal yang mudah. Murid-muridku di kelas XG berasal dari berbagai sekolah dengan latar belakang hasil pendidikan yang sangat beragam. Inilah hal yang selalu "berat" di awal semester jika harus memegang kelas X. Seakan-akan, di kelas X ini segala hal akan diolah dan dibentuk. Di kelas X inilah yang menjadi dasar di kelas berikutnya, kualitas murid itu akan tampak. Mutu tak selamanya dilihat dari hasil akademik yang mereka raih. Mutu juga akan terlihat bagaimana mereka berproses dalam kebersamaan dan menyusun suatu rencana, meski rencana itu dilandasi rasa kesenangan belaka.
Aku percaya bahwa dihadapkan pada suatu masalah tertentu, seseorang pun akan digiring kepada suatu pemecahan. Seperti juga yang terjadi pada murid-muridku itu.
Rencana itu telah mereka persiapkan. Mereka telah mengumpulkan uang jajan mereka sedikit demi sedikit. Mereka telah menyampaikan rencana itu pada orang yang dianggap sebagai wakil orang tua. Mereka sudah memberanikan diri untuk mendiskusikan dengan wali kelasnya.
Akan tetapi, kendala itu pun ternyata mereka hadapi. Satu kendala yang disampaikan kepadaku adalah sarana transportasi. Banyak pihak, termasuk kelas lain, yang memesan bus. Ini pulalah yang membuat murid-muridku pun terpaksa pontang-panting. Bus pesanan mereka, telah diambil oleh pemesan lain. Anak yang bertugas mencari bus mengatakan kalau pemesan itu berani membayar lebih mahal lagi. Ah, inilah sebuah pembelajaran bagi mereka. Siapa yang memiliki lebih banyak, itulah yang mendapat. Akan tetapi, murid-muridku jauh lebih memiliki daya. Meski mereka harus kalah, ternyata mereka masih memiliki usaha untuk mendapatkan pengganti. Kekalahan yang menyakitkan. Sama seperti situasiasi saat ini. Siapa yang memiliki banyak uang, dialah yang bisa membeli keadilan. Adilkah jika muridku yang sudah memesan terlebih dahulu, terpaksa gigit jari karena uang panjar mereka ditolak lantaran pihak penyedia layanan sewa kendaraan lebih menunggu pihak lain yang mau membayar lebih mahal?
Sampai menjelang malam, mereka masih terus mencari beberapa tempat yang bisa menyewakan kendaraan. Mereka masih mendiskusikan banyak rencana yang lebih matang.
Dari segala pengalaman itu, aku sebenarnya ingin memberikan penghargaan pada mereka. Inilah proses lama yang dulu tak mungkin akan berhasil jika tidak mereka alami dalam keberbedaan selama mereka menjadi satu kelas. Dari latar belakang sekolah dan tempat tinggal yang berbeda, mereka belajar untuk menyatukannya. Tak mudah memang. Perbedaan itu selalu ada. Mereka mengalami itu, entah sadar atau tidak, dan terus mengikuti dalam proses pembelajaran selama dua semester tersebut.
Tak ada yang bisa kukatakan kecuali rasa bangga. Kebanggaan ini bukan karena aku merasa berhasil mendampingi mereka. Aku lebih merasa bangga bahwa mereka akhirnya bisa melewati proses kebersamaan dalam pembelajaran itu dan menemukan banyak pelajaran bagi mereka.
Tak berlebihan jika aku ingin menyampaikan hal ini. Berproses itu tak gampang. Aku pun setiap saat selalu ada dalam situas tersebut. Bersama mereka ini pun aku berproses. Proses yang masih belum jelas akan berbuah seperti apa. Akan tetapi, melihat mereka itu, aku selalu mendapat harapan bahwa proses tersebut akan membuahkan nilai.
Sebentar lagi, mereka tak akan bersama dalam satu kelas. Mereka akan membentuk komunitas baru di kelas yang baru dengan tuntutan dan tantangan yang baru. Aku hanya berharap pembelajaran di kelas X ini nanti dapat menjadi bekal di kelas berikutnya. Semoga mereka masih tetap bertahan.
Aku bangga pada kalian. Aku mencintai kalian. Meski aku lebih sering bersikap bukan sebagai seseorang yang pantas membimbing kalian. Aku benar-benar bangga kepada kalian. Berkembanglah terus meraih asa di masa depan, Nak.
Sabtu, 18 Juni 2011
Aku Bangga Kalian
Sabtu, 04 Juni 2011
Air Mata Sahabat Mudaku-1
Apa yang bisa kubanggakan?
Itulah pertanyaan kekecewaan yang mengikutiku di hari Rabu, hari pertama di bulan Juni ini. Sebuah peristiwa yang benar-benar membuatku serasa ingin mengutuki bahwa aku bukanlah orang yang pantas menjadi mengajar, apalagi sebagai mendidik. Jauh sekali dari kesan itu.
Dua jam terakhir, aku memasuki kelas yang saat itu hendak kuajar. Kelas ini, selama aku mengajar, belum pernah "bermasalah" dengan diriku. Ada satu kejadian, namun masih merupakan hal yang wajar dan masih bisa kuatasi. Akan tetapi, entah mengapa, peristiwa yang tak menyenangkan terjadi di kelas ini. Terlebih, ini adalah minggu-minggu terakhir aku mengajar kelas ini karena minggu berikutnya sudah memasuki masa ujian akhir semester.
Sehari sebelumnya, Selasa, murid kelas ini sudah kuminta untuk mengumpulkan tugas dariku. Tugas tersebut telah kuberikan satu minggu yang lalu. Hari itu, aku bermaksud mengumpulkan tugas itu. Begitu masuk kelas, aku menyampaikan kepada mereka untuk menyiapkan tugas yang musti dikumpulkan. Sayangnya, separo lebih murid ternyata salah di dalam mengerjakan tugas. Ketika kertas demi kertas kuperiksa, aku merasa kecewa. Beberapa murid kupanggil ke depan dan kutanya tentang perintah atau instruksi yang kuberikan kepada mereka. Ternyata, tak ada kesamaan jawaban. Tak ada! Maka, aku memutuskan bahwa bagi murid yang salah mengerjakan tugas, mereka wajib mengganti tugas baru yang bahannya hendak kubagikan hari itu. Sedangkan murid yang benar mengerjakan tugas itu, mereka lolos dan kuanggap memenuhi tugas dengan baik.
Inilah titik awal "bencana" pada diriku di hari Rabu itu. Mungkin salah mereka, mungkin bukan salah mereka. Aku yang bersalah. Bisa jadi! Aku yang tidak dapat menjelaskan tugas itu kepada mereka, sehingga mereka tak mampu mengerjakan sesuai permintaanku. Permintaanku! Berarti mereka mengerjakan tugas tersebut sesuai dengan kekuasaanku. Benar kan?
Rabu siang itu, aku masuk ke kelas itu lagi. Sesuai dengan "kuasaku", aku kemudian mengundi tugas untuk murid-murid yang harus mengganti tugas mereka. Setelah masing-masing murid mendapatkan undian tugas, barulah aku menjelaskan tugas tersebut kepada mereka. Sampai di sini, tak ada masalah. Aku memberikan penjelasan kembali agar mereka tidak keliru. Mereka kuberi kesempatan untuk bertanya tentang hal-hal teknis berkaitan dengan tugas mereka.
Ketika tak ada lagi yang bertanya, barulah aku menjelaskan materi-materi yang nantinya memperkaya mereka di dalam mengerjakan tugas mandiri. Selama proses itulah, menit demi menit aku merasakan suasana yang berbeda. Murid-murid yang biasanya bisa berkonsentrasi (konsentrasi atau terpaksa?) mendengarkan penjelasanku, siang itu tidaklah demikian. Di sudut sana, dua murid berbincang. Di sebelah sini, dua murid berbisik-bisik. Di sana, seorang murid sibuk dengan sesuatu di tangannya. Di situ, sono, sana, sini, hampir semua sudut, tampak murid berbincang. Tak ada yang peduli dengan aku!
Aku diam. Ingatan tentang kejadian sehari bahwa mereka keliru mengerjakan tugas itu terbayang lagi. Rahangku terkatup. Aku menahan diri.
Kemudian aku melangkah ke meja guru dan duduk. Kutunggu beberapa saat, namun suara dengungan bagai lebah itu masih menggema di kelas dan diseling suara "sstttt" dari beberapa murid yang mulai menyadari situasi.
Kuraih buku jurnal kelas dan kutandatangani. Kulirik arlojiku. Waktu mengajar jam terakhir ini masih menyisakan waktu 45 menit. Masih cukup lama, pikirku. Entahlah, perasaan kecewa, jengkel, tak mampu apa-apa, menyusup ke ruang dadaku. Terasa sesak.
Kutata buku catatanku di meja. Dengan pelan, tanpa berkata, aku keluar kelas. Senyap. Aku melangkah di koridor sekolah. Gagal lagi, gagal lagi. Perasaan itulah yang kuat kurasakan.
Aku masuk ke ruanganku dan mulai mengerjakan tugas lain yang masih tersisa juga. Daripada omonganku tak mereka pedulikan, lebih baik aku mengerjakan tugas yang masih menumpuk ini. Harus membereskan administrasi pembelajaran, mengoreksi tugas, dan seabrek tugas lain.
Beberapa saat, kudengar ketukan di pintu. Beberapa murid sudah berdiri di sana dan siap masuk ke ruanganku. Aku sudah menduga, mereka adalah murid-murid yang datang dari kelas yang baru saja kuajar tadi. Pelan-pelan mereka masuk.
"Bro, maafkan kami. Kami tadi ribut. Kami mohon Bro mengajar di kelas lagi," kata salah seorang murid perempuan berambut panjang yang diikat di belakang, Lyanti.
"Iya, kami tahu, kami yang salah," sambung seorang murid perempuan gemuk murah senyum, Inez.
"Kami harap Bro ngajar lagi sekarang," tambah sang ketua kelas, Hansen. Aku masih terdiam. Kubiarkan mereka menyampaikan keinginannya. Ketika tak ada lagi yang berbicara, aku mulai bicara.
"Sudah? Kalian sudah selesai bicara?" tanyaku.
"Bro, jangan gitu. Masuk kelas lagi, ya?" sahut seorang murid berkacamata, Hellen. Kawan-kawannya yang lain pun menimpali. Aku menghela nafas.
"Kalau kalian sudah selesai berbicara, silakan masuk kelas," sahutku. Mereka masih tetap memintaku untuk masuk kelas lagi.
"Tidak," jawabku,"kalian sudah ada bahan yang bisa dipakai untuk belajar."
"Tapi kalau tidak diajari, nanti salah. Sedang kami diajari saja masih salah," sahut Lyanti yang memang paling banyak berbicara.
"Sudahlah. Masuk kelas sekarang," kataku tegas. Mereka berjalan keluar ruangan. Aku pun melanjutkan lagi membuka file pekerjaan di laptopku. Belum sempat aku membuka file yang ingin kukerjakan, pintu ruangan terdengar diketuk kembali. Mereka datang lagi. Lyanti, Hellen, dan sang juara kelas, Riestia.
"Broo....masuk kelas, ya?" suara Riestia mengawali kawan-kawannya. Kulirik wajah dengan pipi bulat itu masih menyisakan senyuman.
"Lho, kan tadi sudah kukatakan, tidak. Silakan kalian belajar lagi," sahutku.
"Yaaah, kami jadi merasa bersalah. Kami tadi memang tidak memperhatikan ketika Bro menjelaskan. Tapi, kami ingin Bro mengajar lagi," tambah Lyanti yang sejak awal paling keras untuk memintaku untuk masuk kelas. Pintar dan keras! Itulah yang kukenal tentang dia. Hellen masih belum berucap. Justru Riestia yang kembali berbicara.
"Jangan gitulah Bro. Masuk kelas, ya," mintanya pelan. Anak ini memang tak pandai berkata-kata banyak, namun otaknya yang encer mampu menutupi kekurangannya ini.
"Sudahlah, hari ini aku tidak masuk kelas. Termasuk nanti hari Jumat," kataku cepat. Mataku yang menatap file pekerjaan di laptop semakin menambah galau perasaan. Pekerjaan yang harus selesai kukerjaan secepatnya dan ditambah lagi dengan keributan di kelas mereka ini.
"Waaah, jangan! Masa Jumat juga tidak masuk," sahut Lyanti. Aku tidak mampu menahan senyum.
"Ihh, Bro bikin kami takut. Jangan marahlah," tambah Hellen.
"Hmm, gini aja. Bahan sudah ada di tangan kalian. Kalian bisa belajar sendiri. Jumat besok aku hanya ingin mengumpulkan tugas. Gitu ya? Jelas?" sahutku. Huh, aku ini memang kepala batu! Tak bergeming meski yang datang adalah murid-murid terbaik di kelas itu.
Lyanti dan Riestia hanya berpandangan saja. Bayangan kelegaan yang tadi sempat menyelinap di wajah mereka, hilang kembali. Senyumku tadi, rupanya bukan akhir dari semuanya.
Senyap. Tak ada lagi suara. Tiba-tiba bel jam terakhir berbunyi.
"Sudahlah, kembali ke kelas. Hari ini 'kan kalian piket kebersihan kelas," kataku. Mereka meninggalkan ruanganku.
Aku menghela nafas. File yang baru saja kubuka kututup lagi. Aku ingin cepat-cepat pulang. Sesak, jenuh, membosankan! Tiba-tiba, pintu ruanganku diketuk kembali. (bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)