Selasa, 25 Mei 2010

Pemain Opera Itu Telah Pergi


Selasa petang (25/5) sekitar pukul 18.00, Bu Hera datang ke tempat kami dengan mata sembab. Aku baru saja membuat minum, ketika beliau datang dan kemudian disambut oleh saudara-saudaraku yang lain. Melihat kedatangannya yang mendadak, tiba-tiba saja perasaanku sudah menduga hal yang tidak enak. Sesuatu yang kurang baik mungkin terjadi. Beberapa saat kemudian, aku keluar dari ruang makan dan mendatanginya.

"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil mendekat kepadanya yang duduk di ruang tamu kami.
"Anak kita (maksudnya, salah satu siswa di sekolah kami), meninggal. Reko..." sahutnya dengan suara tersendat.
"Reko?" tanyaku menegas.
"Iya. Anak kelas sebelas."
"Saya mendapat kabar dari Bu Kasih," lanjut Bu Hera, "ketika saya mengunjungi petang ini tadi. Katanya, Reko meninggal kena aliran listrik. Tapi saya belum tahu, apakah saat kerja di sekolah atau tidak. Anak ini memang sering membantu para guru kalau ada kesibukan di sekolah."

Deg! Aku langsung berdebar. Sekelebat, aku teringat pada seorang anak remaja yang sudah aku kenal. Reko! Reko yang aku kenal sama dengan kata-kata Bu Hera. Orangnya memang aktif dalam beberapa kegiatan, termasuk salah satunya kemarin baru saja mendukung acara pementasan "Opera Perjalanan Lima Sahabat".

"Sekarang masih di RS Fatima," lanjut Bu Hera. Aku masih diam. Seorang saudaraku datang dari ruang makan mengangsurkan segelas air putih untuk Bu Hera.
"Kita ke sana petang ini," kata Bu Hera setelah beberapa saat meneguk air putih untuk menghilangkan rasa shock yang menderanya.
"Baik, Bu," jawabku.

Bu Hera kemudian pamitan untuk lebih dahulu menuju ke RS Fatima. Aku pun bergegas berganti baju di kamar. Ketika keluar kamar, kulihat mendung makin tebal. Belum sempat menuju garasi motor, hujan turun. Aku kembali ke kamar mengambil mantol. Begitu mantol kupakai, aku segera men-stater sepeda motor dan kupacu membelah tetesan hujan yang makin deras. Langit gelap. Jalan A. Yani dan Sudirman agak lengang karena hujan yang deras tiba-tiba turun. Aku melajukan motor agak pelan karena kaca helm yang gelap.

Begitu masuk kompleks RS Fatima, aku segera menuju ke tempat parkir. Selesai menaruh sepeda motor dan mantol, Bu Hera menyongsongku.

"Reko meninggalnya tidak di sekolah, namun di rumah Pak Jani saat membantu membetulkan kabel listrik," katanya. Aku pun mengiyakan sambil bergegas menuju ke kamar jenazah.

Di sana, sudah ada beberapa teman sekelas Reko yang datang. Ada juga kawan-kawan di OMK yang kemarin sama-sama mementaskan opera itu. Aku menyibak kerumunan dan terus masuk ke ruang dalam. Di dalam, di atas bangku dengan terbungkus kain, seseorang yang kuduga telah kukenal itu terbaring. Aku mendekat dengan diiringi Bu Hera. Agak ragu aku membuka kain yang menutup kepala jenazah itu. Bagaimana kalau wajah ini benar-benar Reko yang aku kenal? Atau jika bukan, anak ini tetap salah satu siswaku. Bagaimana kalau wajah ini adalah Reko yang kemarin baru saja bersama-sama berpentas? Bagaimana jika wajah ini adalah Reko yang sedang menyiapkan kegiatan di bulan Juni nanti?

Aku masih menahan jari-jemariku untuk membuka kain itu. Ketika kulihat rambutnya, aku agak mulai yakin. Rambut yang agak berdiri. Rambut yang tidak bisa disisir lurus. Rambut itu persis milik Reko. Kulanjutkan untuk membuka kain itu ke bawah, sepasang alis mata, sepasang mata yang terpejam. Ah, debaran jantungku makin kencang. Luka kecil di pipinya tak mampu lagi menyamarkan bahwa wajah tanpa ekspresi dan sedang kuamati ini adalah Reko!

Aku terhenyak. Jariku agak gemetar menahan kain. Reko....! Ini sungguh Reko yang kukenal! Aku mengembalikan kain itu dengan pelan. Wajah yang kukenal itu tertutup lagi. Aku berpaling.

Di sekitar ruangan, beberapa kawan OMK sudah ada dan duduk di kursi. Aku mendekat ke mereka. Kurangkul Aten yang masih berdiri. Kudekati Jojo yang sedang duduk termangu di kursi.

"Aku kaget sekali," bisik Jojo setelah aku duduk di sampingnya. Aku hanya terdiam. Sepertinya, kenyataan ini benar-benar bukan suatu kenyataan. Aku teringat dengan tulisanku, "Antara pertemuan dan perpisahan itu berbatas tipis!" Tipis....

Sepertinya baru kemarin aku mengenal Reko. Akan tetapi, sekarang dia sudah terbaring tanpa helaan nafas. Terbaring dalam diam yang tak akan bisa lagi kutemui dalam kegiatan-kegiatan kami lagi.

Sambil duduk dan memandang tubuh Reko yang terbujur kaku, anganku melayang pada masa-masa aku mengenalnya. Dia adalah aktivis di OMK. Itu yang aku ingat. Setelah aku tahu dia aktivis di OMK, barulah aku kenal dia adalah siswa kelas XI di sekolah kami. Sebenarya, Reko saat ini sedang menyiapkan kegiatan baru. Bulan Juni nanti, OMK akan mengadakan acara "Ekspresi Ceria OMK" dan Reko menjadi ketua panitianya. Gambaran acara itu pun hinggap di benakku. Bagaimana kelanjutan acara ini? Hal yang akan terjadi adalah jika acara ini dapat dilangsungkan, ingatan akan selalu tertuju pada Reko. Selintas aku berpikir, jika acara itu terlaksana, aku ingin mengajak kawan-kawan di OMK mendedikasikan acara itu untuk Reko.

Ingatan yang tak bisa kuelakkan adalah peran Reko ketika dia menjadi salah satu pemain opera itu. Sangat jelas! Bahkan rekaman videonya pun ada! Gerak geriknya! Cara menanggapi ketika aku harus mengarahkan gayanya. Antusiasnya ketika latihan! Usulan-usulannya ketika kuajak mendiskusikan jalan cerita. Semuanya hinggap di benakku. Bulan April lalu, tanggal 25, pukul 18.00, kami mementaskan opera itu. Reko beraksi dengan ekspresif! Tampil maksimal dengan inisiatif gayanya yang sudah dia persiapkan jauh-jauh hari. Dia tampil bersama Jojo, Apri, Selvi, dan Vali.

Sekarang, dia terbaring diam. Tanpa ekspresi dengan mata terpejam! Segalanya yang dia tampilkan sebulan lalu, petang ini hilang! Tepat! Tanggal 25 Mei! Persis satu bulan yang lalu dia tampil penuh gaya, saat ini dia tampil dalam diam!

Desis tangisan tertahan menyusup ke telingaku. Aku palingkan mukaku. Seorang kawan Reko baru saja menyibak kain penutup wajah Reko. Dengan tangisnya yang tertahan, dia berlari ke luar ruangan. Tangisnya pecah di luar ruangan. Aku menghela nafas. Antara pertemuan dan perpisahan ini berbatas tipis...

Lantas, ingatanku melayang ke sekolah. Saat-saat ketika aku mengetahui bahwa Reko memang siswa di sekolah kami. Kuingat salah satu kejadian ketika Riko dipanggila Bu Eka, salah satu rekan guruku yang menjadi wali kelasnya. Juga, kuingat perjumpaan dengannya di sudut dan halrey sekolah. "Selamat pagi, Bro!" atau "Selamat siang, Bro!" Sapaannya mengiang di telingaku. Aku menghela nafas kembali.

"Mohon keluar dari ruangan karena jenazah hendak dimandikan." Suara suster memecah keheningan dan membuyarkan lamunanku. Semua yang berada di ruangan pun bergegas keluar. Aku pun beranjak ke luar ruangan mengikuti langkah Jojo yang sudah lebih dahulu beranjak.

Di luar, kulihat kawan-kawan Reko makin banyak. Di sudut, beberapa kawan Reko sudah terisak dalam tangisan. Di sudut lain, beberapa guru dan orang tua yang kenal baik dengan Reko sedang membicarakan urusan selanjutnya.

Melihat situasi yang ada di sekitarku, aku hanya bisa berdiam. Isak tangis kawan-kawan Reko, semakin keras ketika teras ruang jenazah itu semakin penuh.

Tak ada yang bisa kusampaikan lebih banyak lagi. Yang ada adalah gambaran kehilangan. Kehilangan sahabat, kehilangan teman, kehilangan anak. Gambaran itu pecah dan menyatu bagai mozaik yang membuat nuansa malam itu makin kelam. Kilat menyambar di atap RS Fatima beberapa kali. Hujan deras pun turun dengan cepat. Hujan dan kilat itu tak menghentikan niat kawan-kawan Reko untuk berdatangan ke RS Fatima.

Hujan terus turun! Sepertinya, langit turut mengiringi kepergian seorang kawan yang benar-benar membekas. Selamat jalan, Reko! Kami akan mengenangmu sebagai seorang anak didik, seorang sahabat, seorang kawan, dan seorang pemain opera yang andal!***

Senin, 10 Mei 2010

Mereka Itu...

Hampir satu tahun aku "belajar mengajar" di sekolah ini. Perjalanan hampir satu tahun itu tentulah penuh dengan riak-riak yang membuat hamparan pengalamanku semakin bertambah luas. Sejujurnya dapat kukatakan bahwa "belajar mengajar" ini belum membuatku puas. Aku merasa masih banyak hal yang harus kuperbarui dan kuolah kembali. Aku tidak tahu, kapan semuanya akan menjadi lebih baik.

Terkadang, terbersit rasa enggan untuk melanjutkan "belajar" ini. Ada saja lubang-lubang kelemahan yang membuatku untuk memilih "mundur". Akan tetapi, jika aku melihat para seniorku yang telah berjuang sekian tahun masih tetap bertahan, rasanya malu jika aku yang memilih mundur. Aku berpikir, lebih baik segi lain sajalah yang mengharuskan aku berhenti dari belajar ini.

Rasanya lelah dan capai, jika mengingat beberapa tugas yang harus aku kerjakan. Aku dituntut untuk mempersiapkan bahan pembelajaran yang sepertinya tak pernah habis. Ini sudah jamak, umum! Setiap orang yang berposisi seperti diriku, pasti akan berbuat seperti itu. Entah senang atau tidak! Aku juga harus dituntut untuk bersikap dewasa menghadapi anak-anak muda yang baru menginjak masa-masa remaja ini. Tingkah dan perilaku mereka, terkadang membuatku harus berpikir: apa yang bisa aku perbuat untuk membantu mereka? Sementara, aku menyadari bahwa tak banyak bekal yang bisa aku berikan di dalam mendampingi mereka.

Jika di sela-sela aku menyelesaikan tugas, sambil mendengarkan alunan lagu-lagu, selalu saja terbersit dalam pikiranku suatu tanda tanya: Apa yang sudah kuperbuat bagi mereka itu?

Akan tetapi, jika hanya melihat sisi-sisi tugas yang seolah menjadi beban, aku sadar bahwa itu hanya akan mengurangi hariku dengan suasana muram dan tak memberi semangat. Berat pasti berat! Masalahnya, aku tidak mau mati konyol dengan segala keluhan yang spontan selalu muncul dari sisi lemahku. Aku ingin memberi warna dalam hidup ini. Sama seperti mereka itu yang tetap memiliki warna cemerlang meski harus menghadapi banyak hal yang belum jelas di hadapan mereka.

Sering aku harus berjibaku dengan perasaanku sendiri. Ketika aku harus menegakkan aturan di antara mereka, sementara aku sendiri adalah orang yang berjiwa bebas. Antara aku harus membiarkan segala kebebasan itu merekah di tengah jiwa-jiwa muda itu dan aku harus "membelenggu" dengan pasal-pasal yang mengatur mereka. Sudah bisakah aturan itu hidup dalam diriku juga?

Lepas dari itu semua, aku kembalikan diriku pada makna kedekatan hati yang pantas dibangun sebagai orang yang hidup di tengah riuhnya orang muda yang mencari identitas. Ketika mereka memprotes tindakanku, menyangkal kata-kataku, menyanggah penjelasanku, aku tersudut dalam ketidakmampuan. Akan tetapi, dalam satu kesempatan aku bisa menyadari bahwa di situlah letak hati itu. Ketika mereka memprotes, menyanggah, dan menyangkal, mereka "berbicara" denganku. Mereka menjalin hati denganku. Aku harus menyimpulkan ini. Aku harus melihat ini sebagai dasar bahwa mereka adalah sosok-sosok yang patut untuk memprotes, menyangkal, dan menyanggah. Hingga pada suatu saat, entah kapan, mereka akan tahu bahwa proses itu merupakan satu langkah keberhasilan mereka di dalam menapaki kehidupan.

Aku tersenyum geli. Aku harus mengakui ini. Aku tidak bermaksud untuk menindas mereka. Aku hanya ingin membuka hati kepada mereka. Dengan cara apakah aku bisa "berbicara" dengan mereka, kalau bukan dengan membuka mata dan telinga dari suara dan mulut mereka.

Mungkin aku hanya akan berkata kepada mereka itu, "Nak, berbicaralah! Aku akan 'belajar' mendengarkanmu!"