Kamis, 30 April 2009

Kehilangan


Daun rontok dan meninggalkan ranting yang dulu erat menggenggamnya. Jatuh melayang. Berserakan di atas tanah. Kemudian, lambat laun akan menghilang di dalam tanah. Hilang!

Berjalan mengayuh langkah di bawah bayang-bayang pepohonan. Menari di antara perdu-perdu ilalang. Melompat di antara bebatuan terjal! Jika memang sudah saatnya kaki menapak, entah di atas lumpur atau di atas tanah, kaki akan menapak! Bisa membekas dan ataupun hilang. Jika kaki itu menapak di atas tanah basah, maka akan membekas! Akan tetapi, jika hinggap di atas aliran air, maka jejak itu akan sirna. Hilang!

Kehilangan itu terasa menyakitkan. Namun, kehilangan itu akan bisa berarti bila kau pernah merasa memilikinya. Jika kau ingin menggenggamnya selamanya, maka kehilangan itu semakin kuat untuk meninggalkanmu. Kamu tidak percaya? Aku tidak ingin memaksa! Berapa di antaramu yang sudah terlalu banyak kehilangan? Tak akan terhitung!

Jika kau pernah mengalami kehilangan, aku pun pernah. Jika kau pernah mengalami kehilangan, mereka pun pernah. Apakah jika aku dan kau mengalami kehilangan, kehidupan akan hilang pula! Tak akan! Yaa...hidupnya yang barangkali terasa hampa! Sepi! Kosong! Akan tetapi, apakah hidupmu akan terus kau korbankan hanya demi kehilangan itu? Sementara, kehilangan itu akan terus melayang dan terbang di antara manusia demi manusia untuk menebarkan racun-racun keputusasaan!

Aku mengertimu ketika kau mengatakan bahwa dia meninggalkanmu. Aku mendengarkanmu ketika kau mengatakan bahwa dia memutuskan dirimu. Aku memahamimu ketika kau mengatakan bahwa dia lebih memilih hati lain daripada hatimu. Dan kau akan merasa terlempar ke sudut kebinasaan! Tenggelam dalam rasa kehampaan yang sulit diisi oleh rasa berpengharapan yang baru.

Namun, setelah sekian detik kau bergulat dengan racun kehilangan itu, bisakah kau mengatakan, ”Aku ingin memiliki kehilangan itu!” Aku ingin memiliki rasa kehilangan itu sebagai bagian dari kehidupanku? Beranikah dirimu untuk menggandengnya dalam setiap langkahmu? Pasalnya, kehilangan ini tak akan pernah bisa melepasmu. Meski kau berusaha untuk menghindarinya. Karena, jika kau berkesan menghindarinya, dia akan bersorak gembira dan memenangkan pertempuran! Akan tetapi, jika kau berani menariknya mendekat, menggenggamnya, dan mendekat erat di dalam hatimu, dia akan menjadi bagian hidupmu dan tak akan menyakiti hatimu lagi. Karena di balik kehilangan itu ada rasa baru yang tumbuh dan memberimu kekuatan baru. ”Pernahkah kau mengira kalau dia akan sirna. Walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa. Rasa kehilangan hanya akan ada jika kau pernah merasa memiliknya.”

Jika kau membuka matamu, kau akan melihat seorang malaikat kecil menyongsongmu di tengah padang bunga bakung. Dia berlari dan memeluk pinggangmu dengan erat. Ketika kau pandang bola matanya yang bening, kau akan melihat isi hatinya. Dia akan berkata kepadamu dengan jiwa penuh nyanyian.

”Aku ingin mendekapmu karena kuingin memberimu kekuatan yang tak sanggup kuucapkan dengan kata-kata. Aku ingin mendekapmu karena kuingin memberimu semangat di saat dan dan pikiranmu sedang galau. Aku ingin mendekapmu karena kau sungguh berarti. Jangan sia-siakan hidupmu hanya untuk satu cinta yang tak pasti!”***

Untuk jiwa-jiwa yang telah terbang!
Pemuatan ulang dari tulisan yang sama pada blog yang lain.

Kamis, 16 April 2009

Ungkapan Nov


Seperti biasa, jika aku sedang browsing, kusempatkan untuk melihat halaman friendster-ku (ato facebook-ku). Barangkali, ada pesan atau komentar yang datang dari teman-temanku. Kulihat ada tulisan yang baru saja diposting dari Nov. Demikian dia menuliskannya:

Saat itu aku tak tahu apa itu cinta. Yang aku tahu, cinta itu, kita suka sama cowok yang kita kagumi. Tak terhitung berapa cowok yang pernah kusukai, tapi tak perah kumiliki karena rasa takut akan kata ”tolak”. Pada akhirnya, rasa suka itu terbalas dengan satu cowok yang sangat aku kagumi. Di situ, aku mulai kehidupan cintaku (020503).

Dia mengajari aku arti kesatuan. Walaupun di antara kami banyak perbedaan, tetapi dari perbedaan itu kami bisa menjadi satu. Dia mengajari aku apa arti sayang. Kehidupanku sangat indah yang selalu dipenuhi rasa kangen akan kehadirannya. Apakah ini yang disebut cinta pertama? Dia juga mengajari aku apa arti cinta. Cinta di mana kuterima dia apa adanya. Walaupun aku mencoba untuk mengubahnya, tetapi aku juga harus ingat kalau cinta tak harus mengubah dia menjadi apa yang kuinginkan.

Dia juga mengajari ku rasa sakit hati. Dia tak pernah melukaiku. Tetapi kadang pada suatu hubungan itu pasti ada bertengkarnya. Dia mengajari aku arti kejujuran. Saat kami menjalin hubungan, kata ”jujur” itu menjadi sangat penting. Tak pernah sedikit pun aku bohong kepadanya.

Dia juga mengajari aku arti perpisahan. Di mana ada pertemuan, di situ pula ada perpisahan. Susah untuk menerima semua itu. Walaupun aku menjalin hubungan dengannya sangat singkat, tapi bagiku itu adalah seumur hidup. Dan pada akhirnya aku tahu kalau cinta itu tak harus memiliki (190904).

Akan tetapi, ada satu hal yang dia tidak tahu. Aku menduakan cintanya. Aku menodai cinta kami yang suci itu. So, sorry...

Aku sejenak membaca. Memaknai atas apa yang ditulis Nov. Mataku terpaku pada satu kalimatnya. "Saat kami menjalin hubungan, kata 'jujur' itu menjadi sangat penting. Tak pernah sedikit pun aku bohong kepadanya. "

Dalam situasi apa pun, sikap jujur itu tetap perlu dipertahankan. Bukan hanya karena demi cinta, sikap jujur tetap harus diperjuangkan. Apalagi cinta, untuk bekerja saja, seorang pimpinan selalu menekankan sikap jujur pada bawahannya. Jika sikap jujur itu sudah tak dihidupi oleh pimpinan, bagaimana bawahan mau mencontoh atau meneladan?

Kejujuran adalah bintang. Dia berada di awang-awang dan tak dapat diraih. Akan tetapi, taburannya yang berlaksa-laksa dan sinarnya yang berkerlap-kerlip, memberikan mozaik indah yang tak pernah bisa dilukis manusia.

Bisakah seseorang berkata jujur jika pada kenyataannya kejujuran itu seperti bintang? Seperti kata Nov sendiri, pada saat dia menjalin hubungan, kata jujur itu sangat penting dan dia tak pernah sedikit pun berbohong pada kekasihnya. Akan tetapi, di tempat lain, Nov pun mengakui bahwa dia tak pernah bisa berkata sebenarnya tentang satu hal. Nov bilang, ”Aku menduakan cintanya. Aku menodai cinta kami yang suci itu”. Kejujuran itu menyakitkan.
Apakah aku sudah bisa mengedepankan kata jujur? Bisakah aku mengatakan kepada kekasihku, ”Meski aku berjalan bersamamu, jujur kuakui bahwa aku pun menduakan dirimu dengan orang lain.” Ah, siapa yang bisa mengatakan ini? Ah, siapa yang tahan akan rasa sakit hati. Siapa yang mau mendengar kata ”khianat, jahat, menodai” dan kata-kata lain yang akhirnya mengantar pada kata, ”selamat tinggal, selamat berpisah, selamat jalan, aku pergi”.

Kejujuran adalah landasan dalam hidup. Meski berat untuk meletakkan sebagai landasan sendi-sendi hati, namun manusia harus tetap memperjuangkannya. Nov tidak salah! Karena Nov, seperti aku juga, adalah manusia yang masih selalu berjuang untuk menebarkan kejujuran itu di hamparan permadai kehidupan.

Nov, jika kamu menyampaikan isi hatimu ini, kuanggap bahwa aku pun berkesempatan membawa ungkapanmu ini dalam perjalanan hidupku. Kuharap kamu masih tetap berjuang demi cinta dan kejujuran. ***


Semarang, 6 April 2009

Senin, 06 April 2009

Kejahatan Itu....


Sebuah email dikirim dalam milis yang kuikuti. Pengalaman bentuk kejahatan yang berbeda lagi. Inilah bunyi email itu!

Guyzzzzzzzzzzzzzz! Gw mo sharing kejadian yg gw alami sendiri kemarin malam. Semoga ga ada lagi yg jadi korban kejahatan ala TISSUE BASAH yg hampir menimpa gw.

Jadi, jam 21.30 gw naek bus dr UKI ke arah Blok M. Gw naek P 45 yang busnya mirip bus Jepang. Naaahh, waktu itu bus memang dlm keadaan agak sepi. Hanya beberapa orang saja di dalamnya, termasuk gw. Waktu bus sedang ngetem, naik seorang bapak dan dia sempat melihat keadaan sekeliling bus. Lalu dia duduk di samping gw. Di situ gw mulai curiga. Coz, sebenernya masih banyak tempat duduk kosong, tp yaahh gw no hard feeling lahhh.Awalnya emang ga ada apa-apa. Saat bus mulai jalan, dia mengeluarkan tissue basah merk yg lumayan terkenal. Dia gosok-gosokkan tissue itu ke telapak tangan dan lengannya, seolah mengelap keringat. Di situ gw mulai mencium bau agak aneh. Apalagi untuk gw yg memang sering pake tissue bassah merek itu. Baunya berbeda seperti bau aseton plus spritus bakar. Gw mulai mual. Pada saat itu emang posisi gw deket kaca dan kaca terbuka lebar. Lalu dia berkata,”Mbak, maaf kacanya boleh ditutup dikit, ya? Anginnya kenceng banget.” Lalu dia menutup kaca itu dan lengannya otomatis melewati hidung gw. Saat itu, bau aseton plus spritusnya makin menyengat hidung gw. Gw bener-bener pusing mendadak. Ketika dia melihat gw mual dan pucat, dia menawarkan tissue basah yg tadi digunakan. Langsung dia menyodorkan tissue itu di depan hidung gw dalam posisi setengah terbuka. Baunya langsung bikin mata gw kunang-kunang.Saat itu Tuhan masih baik sama gw. Seolah-olah otak gw sedikit disadarkan untuk segera turun dari bus itu. Dia berusaha mencegah dengan berpura-pura baik. ”Mbak gpp? Kok pucat?” Langsung gw tepis tangannya. Gw langsung berlari ke pintu keluar dan gw turun persis di depan patung Pancoran. Saat gw turun, gw bener-bener mual dan ga ngeliat tangga. Untung ditolong sama kondektur serta beberapa pengamen di situ. Saat itu gw dah pasrah karena gw dikerubutin pengamen-pengamen yg khawatir sama gw. Bahkan, salah satu dari mereka berpostur preman. Tapiii... dont judge a book from the cover. Gw malah ditolong sama mereka. Gw dikasih minyak angin sampe gw bener-bener muntah dan diberi air putih. Saat gw mulai baikan, gw cerita sama mereka. Mereka bilang itu memang kerap terjadi di bus P 45 jurusan Cililitan – Blok M. Biasanya incaran mereka adalah wanita yg duduk sendiri di dekat jendela. Sudah banyak yg jadi korban perampokan ala tissue basah dan memang benar dugaan gw tissue basah itu dicampur sama aseton dan alkohol 85%.

Dari situ, gw baru dicariin taksi Bluebird. Para pengamen itu bahkan sempat mencatat nomor taksi dan nama si pengemudi untuk memastikan gw aman. Gw sempet mo ngasih duit buat mereka, tapi mereka nolak. Mereka cuma kasian sama gw dan ikhlas bantu gw.
Jakarta oh Jakartaaaaaa! Kita bener-bener ga bisa nebak orang berdasarkan fisik. Orang yg keliatannya bejat malah mereka yg baik sama kita. So be carefull, girls! Itu bener-bener kejadian. Gw ngalamin sendiri. Selesai!

Masihkan aku harus memberi pendapat akan pengalaman ini?



Semarang, 7 April 2009

Sabtu, 04 April 2009

Goresan Buat ”Kak S”


Goresan Satu
Sepasang mata bening

Menatap penuh tanya
Pada sesosok wajah teduh
Yang berjongkok di depannya dengan senyum selapis menggurat tipis di bibir hitamnya

Sepasang mata bulat bening tak lepaskan tatapan
"Ayah, kenapa namaku pendek?"
"Ah, namamu itu sebuah nama yang cantik, Cah Ayu."
"Secantik apa?"
"Secantik bintang-bintang yang bertaburan di hamparan karpet biru negeri Italia..."

"Ah, Ayah..."
"Ya, Cah Ayu."
"Benarkah aku cantik?"
"Iya tentu saja."
"Tapi kenapa namaku pendek, Yah? Kenapa?"

Sepasang mata bening bulat tak lepaskan tatapannya
Sepasang mata tua meredup tak lepaskan selarit senyuman

"Nak, namamu pendek. Tetapi, jika kau bisa memberi cinta pada selaksa makhluk, kau akan menerima keharuman nama yang tak akan pernah lekang. Suatu saat, kau akan mengerti, mengapa aku beri kau nama yang pendek.

"Gadis kecil tertunduk kelu
Dengan desakan tanya penuh talu
Gadis kecil berlari ke kaki cakrawala...

Lelaki separuh baya tak pernah lepas dari harap dalam sanubarinya...
"Jadikan bumi penuh kecantikan, Cah Ayu"

Bisiknya pada angin, pada awan, pada pucuk-pucuk kamboja!


Goresan Dua
Sepasang tangan mungil

Menggenggam jemari rapuh
Yang terbaring lemah di bibir dipan

"Ayah..."
Raut wajah tua kelelahan. Terdiam dalam haribaan

"Ini aku ayah. Mengapa Ayah diam saja?"

Seutas senyum terjulur di bibir pucat tua
Seakan berkata penuh kasih sayang
"Aku selalu mendengarmu, Cah Ayu! Bicaralah!"

Seraut wajah mungil bersaput mendung
Sepasang mata bening bersaput telaga hijau
Hampir sudah bendungan rasa mendedah dada
Tak kuasa jiwa menahan gejolak
Hampir pecah kalbu menahan tangisan

"Ayah...Sampai kapan rasa ini terhimpit batu? Sementara Ayah terdiam tenang di peraduan abadi?"


Sepasang cicak bergerak perlahan. Tak ingin mendengar keluh kesah dari bibir mungkil kepucatan. Di angkasa, sepasang bangau terbang melintas dengan sunyi. Di ufuk barat, sebutir matamalam melayang pelan.


Semarang, 5 April 2009
(Perarakan Maut)

Kamis, 02 April 2009

Upik Kecil


Lebaran tahun 2008 lalu, aku datang ke tempatmu. Sambil menyusuri jalanan beraspal kasar, ingatanku melayang ke masa sebelas tahun silam. Masa ketika aku tinggal di rumahmu untuk bisa berbaur dengan warga masyarakat karena sebuah tugas. Ah, suasana dusun yang selalu menyebarkan aroma alam: ladang, singkong, cabai, bebatuan, ternak, rumput!

Begitu aku tiba di depan rumahmu, suasana tampak sepi. Sejenak aku menunggu. Apakah kamu dan keluargamu sedang pergi? Aku mengetuk pintu, lalu kutunggu. Ketika aku hendak memutari rumahmu, barangkali ada anggota keluargamu yang berada di belakang rumah, pintu depan terbuka. Bapak! Ya! Ayahmu membuka pintu. Dengan tawa riang, ayahmu menyambutku dengan penuh kegembiraan. Tanganku disambutnya dengan erat. Jabatannya terasa kuat di jari-jemariku. Sesaat kemudian, ayahmu masuk dan mengundang ibumu. Ternyata, ibumu ketiduran di depan televisi. Dengan masih menahan malu, Emak (kebiasaan memanggil ibumu) menyambutku. Ah, pertemuan yang terasa menyenangkan dan menghangatkan.

Siapakah yang berbaring di depan televisi itu? Yang pasti tubuhnya adalah seorang gadis remaja. Namun siapa? Genduk, kakakmu? Namun, ayahmu yang kemudian menemaniku duduk bercerita bahwa kakakmu pada lebaran ini tidak pulang. Setelah sesaat berbincang-bincang, barulah aku tahu bahwa sosok yang tidur di depan televisi itu adalah dirimu. Upik!

Ah, Upik! Sudah besar rupanya! Beberapa tahun lalu, ketika aku tinggal di rumahmu, usiamu belum memasuki masa taman kanak-kanak. Dengan gerak badanmu yang menggemaskan, potongan poni rambutmu, dan kadang masih ada ingus yang meleleh di hidungmu, dirimu tak pernah bisa kudekati. Lari ke pelukan Emak dengan wajah memerah malu! Aku hanya bisa mengulurkan sebungkus permen kepadamu. Itupun kamu menerimanya dengan cepat dan segera bersembunyi.

”Eh, bilang terima kasih dulu,” tegur ibumu. Kamu hanya menatapku dengan mata jernihmu dan segera pula menyembunyikan wajahmu di punggung Emak. Tanpa kupikir panjang, kupanggil dirimu dengan ”Upik”. Nama tokoh dari sebuah film boneka lama yang dulu pernah diputar di salah satu stasiun televisi.

”Sejak itu, dia dipanggil Upik oleh semua orang,” kata Bapak dan Emak. Oh ya? Tidak akan terlintas dalam pikiranku bahwa panggilan spontan itu kemudian akan selamanya tersandang dalam dirimu. Ah, Upik, Upik!

Kini, kamu sudah remaja. Tak ada lagi sisa-sisa ingatan masa lalu tentang dirimu. Meski, rasa malu-malu itu masih ada, namun dirimu telah berubah. Tentu secara fisik adalah yang paling tampak. Upik, jika aku bertanya kepadamu, ingatan apakah yang muncul dalam dirimu tentang diriku? Aku tak akan pernah tahu. Akan tetapi bagiku adalah aku pernah menjadi bagian dari keluargamu. Aku pernah hidup di antara kamu, kakak-kakakmu, dan kedua orang tuamu. Aku pernah menikmati guyuran hujan tatkala pulang dari ladang bersama ayahmu. Aku pernah menikmati nafas ngos-ngosan ketika harus membawa rumput dan naik di tebing-tebing bukit. Aku pernah duduk mengitari meja makan bersama keluargamu. Bersenda gurau, berdoa bersama, berbincang bersama keluargamu. Ah, namun waktu itu kamu masih sangat kecil, Upik!

Seiring dengan beranjaknya waktu, kamu semakin besar dan aku telah lama meninggalkan desamu. Jika aku mengingatmu, aku hanya ingat bahwa kamu masih seorang anak kecil yang polos dan pemalu. Kini Upik kecil itu telah beranjak menjadi seorang remaja yang mulai menata perjalanan barunya. Berkelana dengan sebuah sepeda motor di jalanan terjal. Setiap hari menyusuri aspalan pecah menuju ke sebuah sekolah lanjutan tingkat pertama. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih bahwa nama ”Upik” itu masih tetap kamu sandang sampai hari ini. Ah, Upik, Upik!***


Semarang, 2 April 2009

Rabu, 01 April 2009

Dua Email

Aku gak tau lagi gimana caranya menghubungimu. Aku kirim email, gak ada balasan. Aku ke tempatmu, gak ada. Aku telpon, kamu pergi. Apa aku benar-benar sudah kehilangan seseorang yang pernah dekat dengan aku. Yang selalu panggil aku ”Teteh...” Aku memang pernah meninggalkanmu waktu aku ke B dulu. Aku berharap tidak ada yang berubah meski aku jauh (saat itu). Tapi ternyata harapanku hanya tinggal harapan. Aku gak tau apa ini hanya perasaanku saja, tapi yang jelas aku merasa kamu semakin jauh. Dulu aku yang pergi jauh, tapi hati kita dekat. Sekarang jarak kita sudah dekat, tapi kenapa justru ada rasa yang jauuuh banget. Sekali lagi, apa aku benar-benar sudah kehilangan seorang sahabat, seorang yang pernah dekat di hati? Maafkan, kalau aku sudah mengganggu ketenanganmu.

Dear my beloved Bro. Your email make me love you more. I will love you always. I knew now, how much you hate me. I'm so sorry. Membaca tulisan Bro membuatku tersentak. Aku tersadar atas semua kekhilafanku. Entah kenapa, aku benar-benar tak bisa menahan emosi jiwa saat itu. Apa yang Bro tulis sangat aku butuhkan. Selama ini aku belum pernah bisa untuk mengaca. Aku selalu egois. Selalu memikirkan diriku sendiri. Once again, thank you. I love you more...

Dua email itu aku terima dalam waktu yang berbeda. Jaraknya pun sangat berjauhan. Kedua-duanya aku dapatkan dari dua temanku. Mereka pun dua teman yang kukenal berbeda waktu dan berbeda tempat. Akan tetapi, pertemuan dengan mereka itu bener-benar memberi bekas bagi diriku. Bekas yang mendalam. Ah, ah!

Pribadi yang menulis pertama itu, ketika aku membaca emailnya, jujur saja aku terkejut. Mengapa bisa memiliki dugaan seperti itu? Selama ini, aku tidak pernah memiliki pemikiran yang terlalu jauh tentang kedekatan ini. Dulu memang, ketika masih dalam masa kebersamaan, ada saat-saat menyenangkan bersamanya. Aku masih ingat persis, perhatiannya banyak banget. Lebih-lebih kalau saat makan. Apa saja disiapkan, ditanya mau makan apa, minum apa. Semua diambilkan. Wah, dimanja banget. Ya..., senang juga sih! Lambat laun, cerita demi cerita pun mengalir. Akhirnya kami begitu dekat. Setelah acara kebersamaan itu, beberapa waktu memang masih ada kontak, namun juga tidak terlalu sering. Hingga suatu saat, dia pindah ke B. Selama dia di B itu, kontak juga jarang. Sempat juga menghubunginya ketika dia ulang tahun. Tidak lama dia di B, balik lagi. Meski sudah satu kota lagi, kontak pun jarang.

Sedangkan pribadi yang satu lagi, itu baru saja aku kenal. Mengikuti sebuah training yang akhirnya mengharuskan menjadi satu kelompok dengan dia. Justru ketika satu kelompok itu, kedekatan selama proses training dan latihan jarang terjadi. Hanya pada saat-saat tertentu saja, aku berkontak dengan dia. Masalahnya, di akhir training, ketika mendekati selesai, ada tugas yang harus diselesaikan bersama, dirinya terlalu memikirkan perasaannya. Ada hal yang jauh lebih indah, sehingga banyak waktu yang dihabiskan diluar kelompok. Untuk hal ini pun, aku tidak terlalu menyalahkan karena aku sendiri belum tentu benar. Rasa kecewaku sebagai penanggung jawab tugas dalam kelompok itu dirasakan. Memang kecewa! Karena pada saat selesai training, aku pergi di hadapannya dengan rasa dingin. Dirasakan itu!

Beberapa hari, dia kemudian mengontakku. Aku sendiri masih menyimpan perasaan tidak nyaman. Jengkel yang belum longgar. Kesempatan itulah yang kugunakan untuk menyampaikan beban yang ada dalam pikiranku. Segalanya kusampaikan dengan terbuka, termasuk penilaianku atau perasaanku pada dirinya selamat proses pembuatan tugas terakhir training itu. Barangkali, karena keterusteranganku atau apa, dia kemudian membalas dengan email pendek seperti itu. Aku juga tidak menyangka bahwa dia bisa menanggapi sedemikian dalam.

Mengenal banyak orang itu mudah. Begitu aku mau membuka mulut untuk menyapa, akan hadir di depanku orang yang mau berkawan. Akan tetapi, mengenal hati orang yang mau berkawan denganku itu tidak mudah. Tidak setiap orang yang menjadi kawan, akan memiliki perasaan untuk mampu membuka hati di hadapanku. Mengapa aku harus menyia-nyiakan hati yang sudah terbuka untuk berbagi denganku? Mengapa anugerah pribadi yang unik ini tidak aku pupuk sebagai kekayaan di dalam membentuk persaudaran dengan orang lain? Terkadang, dengan bersembunyi pada kesibukan, aku telah melalaikan hati yang telah terbuka itu. Padahal, jika hati itu terluka, tak akan mudah untuk sembuh dan menerima kehadiranku lagi.***


Semarang, 28 Maret 2009